Oleh: Siti Aminah
Pada tanggal 6 Desember kemarin telah diputuskan RUU KUHP menjadi undang-undang. Salah satu pasal dalam undang-undang ini mengancam keberlangsungan pariwisata di Indonesia.
Pariwisata di Indonesia masih berupaya pulih dari dampak buruk pandemi Covid-19, pada saat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Selasa (06/12). KUHP baru ini dikhawatirkan dapat menjauhkan turis asing karena salah satu substansinya memidanakan pelaku hubungan seks di luar nikah. Undang-undang kontroversial itu, yang oleh para pengkritiknya disebut sebagai "bencana" bagi hak asasi manusia, juga melarang pasangan belum menikah untuk hidup bersama serta membatasi kebebasan politik dan agama.
Aksi protes telah berlangsung pada pekan ini. KUHP yang baru disahkan itu diperkirakan akan digugat ke Mahkamah Konstitusi. KUHP yang baru disahkan DPR ini akan berlaku dalam tiga tahun bagi warga negara Indonesia, penduduk asing yang menetap di Indonesia, serta turis asing.
Larangan seks di luar nikah dianggap mengancam keberlangsungan pariwisata, bahkan investasi. Hal ini jelas menunjukkan keberpihakan kepada perilaku sesat yang diharamkan agama, dan menggambarkan dengan jelas bagaimana aturan dalam sistem sekuler kapitalis.
Namun di sisi lain juga menunjukkan sekulernya cara berpikir anggota dewan karena memasukkan zina dalam delik aduan dan membatasi pelapor hanya keluarga dekat. Hal ini secara tidak langsung berarti membolehkan perzinaan, bahkan negara pun mentolerir. Begitulah sistem hidup yang diatur bukan oleh pencipta. Mereka mengaturnya sesuai keinginan bahkan berusaha menjauhkan peran agama dari aturan yang dibuat.
Pariwisata Sekuler vs Pariwisata Islam
Banyak negara memanfaatkan bidang pariwisata sebagai salah satu sumber perekonomiannya. Dengan memanfaatkan potensi keindahan alam, baik yang alami maupun buatan, serta keragaman budaya yang ada, dunia pariwisata dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Namun, di sisi lain pariwisata ini juga mempunyai dampak negatif kepada negara, khususnya masyarakat setempat. Dampak itu terlihat melalui invasi budaya di dalam negara, khususnya masyarakat yang hidup di sekitar obyek wisata. Berlainan dengan sistem Islam, wisata justru dijadikan sarana untuk berdakwah, orang-orang yang sedang menikmati keindahan alam juga diajak berpikir tentang penciptaan, kehidupan dan kematian.
Obyek yang dijadikan tempat wisata ini, bisa berupa potensi keindahan alam, yang nota bene bersifat natural dan anugerah dari Allah ï·», seperti keindahan pantai, alam pegunungan, air terjun dan sebagainya. Bisa juga berupa peninggalan bersejarah dari peradaban Islam. Obyek wisata seperti ini bisa dipertahankan, dan dijadikan sebagai sarana untuk menanamkan pemahaman Islam kepada wisatawan yang mengunjungi tempat-tempat tersebut.
Ketika melihat dan menikmati keindahan alam, misalnya, yang harus ditanamkan adalah kesadaran akan Kemahabesaran Allah, Dzat yang menciptakannya. Sedangkan ketika melihat peninggalan bersejarah dari peradaban Islam, yang harus ditanamkan adalah kehebatan Islam dan umatnya yang mampu menghasilkan produk madaniah yang luar biasa. Obyek-obyek ini bisa digunakan untuk mempertebal keyakinan wisatawan yang melihat dan mengunjunginya akan keagungan Islam.
Dengan begitu itu, maka bagi wisatawan Muslim, obyek-obyek wisata ini justru bisa digunakan untuk mengokohkan keyakinan mereka kepada Allah, Islam dan peradabannya. Sementara bagi wisatawan non-Muslim, baik Kafir Mu’ahad maupun Kafir Musta’man, obyek-obyek ini bisa digunakan sebagai sarana untuk menanamkan keyakinan mereka pada Kemahabesaran Allah. Di sisi lain, juga bisa digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan kepada mereka akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat Islam dan peradabannya.
Menjadi sarana dakwah, karena manusia, baik Muslim maupun non-Muslim, biasanya akan tunduk dan takjub ketika menyaksikan keindahan alam. Pada titik itulah, potensi yang diberikan oleh Allah ini bisa digunakan untuk menumbuhkan keimanan pada Dzat yang menciptakannya, bagi yang sebelumnya belum beriman. Sedangkan bagi yang sudah beriman, ini bisa digunakan untuk mengokohkan keimanannya. Di sinilah, proses dakwah itu bisa dilakukan dengan memanfaatkan obyek wisata tersebut.
Menjadi sarana propaganda (di’ayah), karena dengan menyaksikan langsung peninggalan bersejarah dari peradaban Islam itu, siapapun yang sebelumnya tidak yakin akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat dan peradabannya akhirnya bisa diyakinkan, dan menjadi yakin. Demikian juga bagi umat Islam yang sebelumnya telah mempunyai keyakinan, namun belum menyaksikan langsung bukti-bukti keagungan dan kemuliaan tersebut, maka dengan menyaksikannya langsung, mereka semakin yakin.
Tidak semua peninggalan sejarah bisa dijadikan tempat wisata, Islam mengaturnya dalam beberapa syarat.
Pertama, jika obyek-obyek tersebut merupakan tempat peribadatan kaum kafir, maka harus dilihat: Jika masih digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan dibiarkan. Tetapi, tidak boleh dipugar atau direnovasi, jika mengalami kerusakan. Namun, jika sudah tidak digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan ditutup, dan bahkan bisa dihancurkan.
Kedua, jika obyek-obyek tersebut bukan merupakan tempat peribadatan, maka tidak ada alasan untuk dipertahankan. Karena itu, obyek-obyek seperti ini akan ditutup, dihancurkan atau diubah. Ini seperti dunia fantasi yang di dalamnya terdapat berbagai patung makhluk hidup, seperti manusia atau binatang. Tempat seperti ini bisa ditutup, patung makhluk hidupnya harus dihancurkan, atau diubah agar tidak bertentangan dengan peradaban Islam.
Ketika Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel, karena waktu itu hari Jumat, maka gereja Aya Shopia pun disulap menjadi masjid. Gambar-gambar dan ornamen khas Kristen pun dicat. Setelah itu, gereja yang telah disulap menjadi masjid itu pun digunakan untuk melakukan shalat Jumat oleh Muhammad al-Fatih dan pasukannya.
Meski bidang pariwisata, dengan kriteria dan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas tetap dipertahankan, tetapi tetap harus dicatat bahwa bidang ini tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian Negara Khilafah. Selain karena tujuan utama dipertahankannya bidang ini adalah sebagai sarana dakwah dan propaganda, Negara Khilafah juga mempunyai sumber perekonomian yang bersifat tetap.
Dengan dijadikannya bidang ini sebagai sarana dakwah dan propaganda oleh pemerintah Islam, maka Negara Khilafah tidak akan mengeksploitasi bidang ini untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Ini tentu berbeda, jika sebuah negara terutama negara kapitalisme yang menjadikannya sebagai sumber perekonomian, maka apapun akan dilakukan demi kepentingan ekonomi dan bisnis. Meski ia harus mentolelir berbagai praktik kemaksiatan, hukumnya jadi boleh.
Keempat, pemerintahan Islam telah mempunyai empat sumber tetap bagi perekonomiannya, yaitu pertanian, perdagangan, industri dan jasa, sumber inilah yang menjadi tulang punggung bagi Negara Khilafah dalam membiayai perekonomianya. Selain keempat sumber tetap ini, Negara Islam juga mempunyai sumber lain, baik melalui pintu zakat, jizyah, kharaj, fai’, ghanimah hingga dharibah. Semuanya ini mempunyai kontribusi yang tidak kecil dalam membiayai perekonomian Negara Islam.
Pemerintahan Islam sebagai negara pengemban ideologi dan negara dakwah, akan tetap bisa menjaga kemurniaan ideologi dan peradabannya dari berbagai invasi budaya yang datang dari luar. Pada saat yang sama, justru Negara Khilafah bisa mengemban ideologi dan dakwah, baik kepada mereka yang memasuki wilayahnya maupun rakyat negara kafir di luar wilayahnya.
Umat butuh sistem Islam untuk mengatur segala aspek kehidupan, dalam sistem Islam hukum diambil dari Al-Qur'an dan As-sunah yang tidak bisa di rubah sampai kiamat, sedangkan hukum buatan manusia bisa berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan para kapital.
0 Komentar