Oleh: Titin Surtini
Muslimah peduli umat
Tidak bisa dimungkiri bila tiba waktu liburan seperti libur Lebaran, libur sekolah atau libur yang lainnya menjadi waktu yang digunakan oleh mayoritas masyarakat untuk mengunjungi tempat rekreasi. Alhasil, nyaris di semua tempat rekreasi, orang-orang berjubel sesak guna melepas kegembiraan. Namun, tidak jarang kegembiraan masyarakat itu berubah menjadi bencana. Mengapa hal itu kerap terjadi?
Seperti tragedi yang terjadi di Surabaya, berdasarkan keterangan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Surabaya, sambungan seluncuran air di kolam renang Kenpark tiba-tiba ambrol jatuh ke bawah.
Pada saat ambrol, banyak pengunjung yang bermain di wahana tersebut sehingga sebagian pengunjung berjatuhan dari seluncuran yang ambrol dari ketinggian 10 meter. Dugaan sementara penyebab ambrol sambungan dikarenakan seluncuran tersebut telah lapuk.
Tragedi sebelumnya pernah terjadi, saat putusnya jembatan gantung di obyek wisata Baturaden yang menewaskan 4 orang pengunjung saat libur Lebaran, tenggelamnya perahu wisata di danau Singkarak, kasus air bah di Tabalong, Kalimantan Selatan, yang merenggut 7 nyawa wisatawan domestik, plus sederet kasus serupa lainnya.
Pengawasan Kendor
Saat liburan, volume pengunjung tempat wisata tentu meningkat tajam. Bahkan, lebih dari 100 persen dibanding hari biasa. Semangat aji mumpung dari pengelola rekreasi tersebut seringkali membiarkan fasilitas di tempat wisata digunakan hingga melebihi kapasitas. Tentu saja, keuntungan yang diraup akan makin berlipat-lipat. Terlebih, harga tiket masuk biasanya dinaikkan saat momen liburan.
Kurangnya perawatan fasilitas yang ada juga menjadi pemicu. Bahkan, tidak jarang fasilitas yang ada pun sudah uzur, seperti halnya tragedi di kolam renang Kenpark tersebut. Ketika usia teknis fasilitas sudah uzur, kurang terawat, pemakaian melebihi kapasitas, plus frekuensi pemakaian meningkat, jelas akan mempercepat terjadinya bencana.
Kendornya pengawasan oleh aparat pemerintah daerah (Pemda) juga menjadi penyebab yang tidak boleh diabaikan. Padahal, petugas Pemda rajin memungut biaya retribusi, tetapi malas melakukan pengawasan dan membuat standar keselamatan tempat rekreasi.
Lemahnya Penegakan Hukum
Secara normatif, sebagai konsumen jasa wisata, wisatawan mempunyai hak yang amat mendasar, terutama yang diakomodir oleh Undang-undang (UU) No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan. Dan relevan dengan Undang-undang no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Yang notabene akan menjamin pasilitas dan kenyamanan pengunjung yang berwisata. Dan itu menjadi jaminan buat para konsumen yang sengaja berekreasi, baik secara pribadi maupun berkelompok/rombongan.
Namun demikian, aturan yang telah tertuang tidak sinkron, penegakan hukum atas persoalan ini justru memble. Kepolisian dan aparat terkait lainnya sering kali setengah hati memproses kasus kecelakaan yang merenggut korban jiwa. Tidak ada upaya untuk memberikan efek jera.
Pihak pengelola (manajemen) bahkan tidak jarang menyelesaikan perkara tersebut dengan uang, atau hanya petugas lapangan yang tersandung pidana. Padahal jelas, terjadinya kecelakaan, selain karena faktor human error, juga dipicu oleh management error pihak pengelola. Sangat tidak adil kalau yang diproses secara pidana hanya petugas lapangan. Sementara, pihak manajemen dibiarkan melenggang bebas.
Abainya Negara
Tragedi ini memberikan pelajaran bagi kita untuk mempertanyakan peran negara. Bila diserahkan pada standar swasta sebagai pemilik atau pengelola maka orientasi keuntungan akan mendominasi, dan mengalahkan pertimbangan keamanan apalagi kenyamanan
Padahal, negara memanfaatkan bidang rekreasi sebagai salah satu sumber perekonomiannya. Sektor ini dikembangkan menjadi salah satu keran sumber pendapatan negara. Negara sejatinya yang paling bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan warga, khususnya terkait fasilitas rekreasi yang dibuka untuk publik ini.
Rekreasi untuk Dakwah, Bukan Eksploitasi
Bidang rekreasi atau sektor pariwisata dalam sistem Islam di Negara Khilafah meski bisa menjadi salah satu sumber devisa, tetapi tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian negara. Sebab, negara Khilafah memiliki sumber perekonomian yang bersifat tetap.
Tujuan utama bidang ini adalah sebagai sarana dakwah. Objek wisata dalam Khilafah akan didesain untuk membuat manusia, baik muslim maupun nonmuslim, untuk tunduk dan takjub ketika menyaksikan keindahan alam.
Hal inilah yang digunakan untuk menumbuhkan keimanan pada Zat yang menciptakan alam semesta dan seisinya bagi seseorang yang belum beriman. Sedangkan, bagi mereka yang sudah beriman bisa digunakan untuk mengukuhkan keimanannya.
Tempat rekreasi bukan semata-mata untuk meraup keuntungan seperti dalam sistem kapitalisme. Perbedaan tujuan utama ini mewujudkan perbedaan dalam kebijakan masing-masing terhadap bidang rekreasi. Dengan dijadikannya bidang ini sebagai sarana dakwah maka Khilafah tidak akan mengeksploitasi bidang ini untuk kepentingan ekonomi dan bisnis.
Perekonomian negara Khilafah tidak akan bertumpu pada bidang pariwisata ini karena Khilafah memiliki empat sumber tetap bagi perekonomiannya, yaitu pertanian, perdagangan, industri, dan jasa. Keempat sumber inilah yang menjadi tulang punggung bagi negara Khilafah dalam membiayai perekonomiannya.
Dengan demikian, Khilafah yang memiliki motif me-riayah umat atau menjadi pelayan bagi seluruh urusan masyarakat akan benar-benar mewujudkan keselamatan bagi masyarakat, khususnya di tempat rekreasi. Negara Khilafah akan menjaga sarana dan fasilitas di tempat rekreasi dengan semaksimal mungkin karena penjagaan ini merupakan amanah yang tidak hanya dipertanggungjawabkan di dunia ini, melainkan juga di hadapan Allah ï·» di akhirat nanti.
Wallahu'alam bissawab.
0 Komentar