Oleh: Titin Surtini
Semua orang tua pasti akan bersedih hati ketika melihat putra tercintanya meregang nyawa, terlebih anak itu meninggal akibat aksi kekerasan. Begitulah yang dirasakan orang tua dari Daffa Adziin Albasith (18). Putranya menjadi korban klitih (aksi kekerasan atau kejahatan dengan senjata tajam di jalanan yang dilakukan oleh anak-anak muda) di Yogyakarta.
Sekilas apa itu klitih? Klitih sebelumnya dimaknai sebagai kegiatan untuk jalan-jalan atau keliling kota tanpa tujuan yang jelas untuk mengisi waktu luang. Namun makna itu belakangan berubah sebagai aksi kekerasan jalanan dengan menyasar pengendara sepeda motor, kemudian berubah menjadi perselisihan antar pelajar. Fenomena klitih telah menjadi hal yang meresahkan masyarakat Yogyakarta dan juga bagi wisatawan yang akan berkunjung pasti menjadi takut.
Bukan kali ini kasus klitih mencuat. Pada tahun 2021 tercatat ada 58 kasus, bahkan sampai memakan korban nyawa pada tahun 2016.
Sanksi yang diberikan pun tidak cukup membuat pelaku jera. Rata-rata pelakunya dibebaskan setelah mendapat pembinaan karena masih berusia di bawah 18 tahun. Bagi pelaku yang diadili, umumnya hanya dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. Bahkan, terakhir sempat beredar wacana dari pejabat untuk menghapus istilah “klitih”.
Tindakan preventif juga sudah coba diambil oleh pihak berwenang, yaitu berupa program Jaga Warga dan Penyuluhan Berkala. Akan tetapi, semua itu tidak cukup untuk memberantas aksi klitih yang semakin marak terjadi.
Permasalahan klitih dan juga aksi kriminalitas anak lainnya bukanlah sesuatu yang ujug-ujug ada dengan sendirinya. Ini adalah imbas dari sistem sekuler liberalisme yang tengah mengangkangi negeri ini.
Dicampakkannya agama (Islam) dari kehidupan, bahkan pelan tetapi pasti mulai diamputasi dari sistem pendidikan, telah membentuk generasi yang bingung akan jati dirinya yang berujung nihilnya rasa takut pada Allah Sang Penguasa kehidupan.
Akibatnya, mereka menjadikan hawa nafsu sebagai tolok ukur perbuatan. Para pelaku klitih seolah mewujudkan gharizah baqo’ rasa ingin berkuasa dan menguasainya dengan aksi kekerasan.
Liberalisme yang mendewakan kebebasan juga telah membentuk generasi yang miskin rasa tanggung jawab. Mereka bebas melakukan apa saja tanpa berpikir dampak perbuatannya sehingga dengan mudah menimpakan kesalahan pada pihak lain. Sering kali justru orang tualah yang harus menanggungnya.
Hal ini pula yang menjadi dilema jika penanganan pelaku klitih diserahkan pada orang tua. Alih-alih anak patuh, orang tua yang justru bisa jadi korban kekerasannya. Bukankah telah banyak terjadi anak menyakiti, bahkan sampai membunuh orang tua karena keinginannya tidak dituruti.
Ditambah lagi dengan kegagalan dunia internasional memahami hakikat anak. Hukum internasional mendefinisikan anak adalah manusia yang berusia kurang dari 18 tahun dan tidak boleh ada sanksi pidana atas mereka. Hal ini telah membuat para penegak hukum gamang menjatuhkan sanksi yang menjerakan.
Padahal, definisi anak dalam hukum internasional tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Terbukti, yang berusia di bawah 15 tahun sekalipun telah banyak menjelma menjadi sosok tidak berbeda dengan orang dewasa. Suatu kesalahan besar ketika memposisikan mereka sebagai anak-anak yang setiap kesalahannya ditoleransi bahkan dibela.
Sekadar menerapkan Jaga Warga, Penyuluhan Berkala, ataupun memperbanyak CCTV di ruas-ruas jalan juga bukanlah solusi selama tiada sanksi yang menjerakan dan paradigma sekuler dan liberal masih melingkupi masyarakat.
Ternyata sistem yang diterapkan saat ini terbukti gagal membasmi klitih, harus ada sistem yang mampu menghapusnya secara komprehensif yaitu:
Pertama, sistem itu haruslah mampu memberikan batasan yang tepat tentang fase anak dalam kehidupan manusia. Hal ini penting agar perlakuan yang diberikan tepat sesuai perkembangan fisik dan psikisnya.
Kedua, memiliki seperangkat sistem pendidikan dan interaksi sosial yang mampu membentuk generasi bertakwa yang paham hakikat hidup, bertanggung jawab, dan mampu membawa kebaikan bagi dunia.
Ketiga, memiliki sanksi hukum yang tegas, adil, serta memberikan efek jera bagi pelaku, dan juga bagi orang lain akan menjadi takut untuk melakukannya.
Sejatinya kita harus kembali kepada aturan yang benar yaitu aturan dari Allah SWT. Sebagai pedoman hidup bagi semua makhluk di seluruh alam.
Saatnya kembali ke Islam
Dan semua syarat diatas tadi terpenuhi oleh sistem Islam. Sebagai aturan yang bersumber dari Allah Sang Maha Pencipta dan Pengatur, Islam adalah sistem kehidupan yang sempurna (syaamilan) dan menyeluruh (kaamilan).
Allah yang menciptakan manusia, Allah pula yang memahami karakter manusia. Allah telah memberikan batasan masa kanak-kanak yang jelas, yaitu dengan batasan baligh.
Tentu saja baligh menurut Islam dan tidak terlepas dari syarat-syarat yang harus diperhatikan agar benar-benar mengacu pada syariat Islam.
Berbicara masalah baligh,
Baligh adalah hal pasti, tetapi akil (matang dalam pemikiran) bukanlah sesuatu yang instan. Fakta membuktikan, banyak orang yang sudah baligh bahkan berusia dewasa, tetapi sikapnya kekanak-kanakan.
Oleh karenanya, Islam memiliki sistem pendidikan berlandaskan akidah Islam yang mampu menciptakan generasi bertakwa, mampu mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, dan sanggup menjadi khalifah fil ardh yang akan membawa kebaikan bagi seluruh alam. Dengan sistem pendidikan ini, anak akan akil ketika mencapai usia baligh.
Sistem sosial kemasyarakatan Islam juga turut serta menyokong tumbuhnya generasi bertakwa dan bertanggung jawab tersebut. Tidak akan ada hal-hal yang kontraproduktif dan memantik kemaksiatan, semacam budaya liberal, sekuler, dan segala ide-ide turunannya.
Orang tua ataupun calon orang tua akan terbina ketakwaan dan pemahamannya sehingga sadar akan tanggung jawab mendidik anak. Masyarakat pun terbiasa menjalankan amar makruf nahi mungkar. Dengan demikian, generasi akan tumbuh dalam suasana keimanan yang positif dan penuh produktivitas.
Semua usaha di atas bersifat preventif, tidak lengkap jika tanpa adanya upaya kuratif. Oleh sebab itu, Islam juga memiliki sistem sanksi yang adil dan berefek jera. Semua perbuatan yang melanggar syariat, termasuk mengganggu bahkan menyakiti orang lain, termasuk kriminal (jarimah) harus diberi sanksi. Jika pelakunya belum baligh, orang tuanya yang akan mendapat sanksi, sedangkan anak tersebut dibina dan dinasihati.
Terkait keadilan hukum Islam, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!” (HR Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688)
Islam sangat menghargai nyawa manusia. Tidak heran jika pelaku pembunuhan dikenai sanksi yang sangat berat. Sebagai gambaran, sanksi atas pembunuhan yang disengaja adalah dengan kishash (dibunuh pula), pembunuhan yang mirip sengaja (menggunakan alat tertentu dengan tujuan menyiksa atau menyakiti, tetapi ternyata korban meninggal) mendapat sanksi diyat (tebusan) 100 ekor unta (40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting), sedangkan pembunuhan tidak disengaja adalah membayar 100 ekor unta sebagai diyat.
Begitulah sistem Islam membasmi tuntas klitih dan segala aksi kriminalitas anak. Sistem ini akan berjalan jika ada institusi negara yang menjalankannya. Satu-satunya negara yang didesain untuk menerapkan sistem Islam kaffah adalah Daulah Khilafah Islamiyyah yang tegak di atas minhaj kenabian dengan menerapkan aturan Islam secara Kaffah.
Wallahu a'lam bishsawab.
0 Komentar