MINYAK GORENG: MASALAH STRUKTURAL, SOLUSI PARSIAL


Oleh: Ummu Taqiyya

Acara demo masak tanpa minyak goreng yang diinisiasi oleh salah satu partai politik terbesar itu sungguh menggelitik. Bukan karena acaranya lucu, namun karena program politik yang ditampilkan sama sekali tidak solutif untuk bangsa ini.

Bagaimana bisa solusi kelangkaan dan harga minyak goreng yang naik signifikan diselesaikan dengan acara demo masak?

Apakah yang menyebabkan kelangkaan dan mahalnya harga itu adalah ibu-ibu yang tidak bisa memasak tanpa minyak goreng?

Ataukah ngoyonya ibu-ibu antri minyak goreng itu karena mereka tidak bisa mengukus dan merebus?

Apakah benar Indonesia saat ini membutuhkan energi alternatif pengganti minyak goreng di tengah lautan pohon sawit dan tanahnya yang subur menumbuhkan sawit?

Sungguh tak disangka jika sekaliber partai politik terbesar dan para politikus kawakan hanya mampu menyarankan demo memasak untuk menyelesaikan problem minyak goreng ini. Wajar jika kita bertanya, ada apa sih sebenarnya dengan drama minyak goreng akhir-akhir ini? Kok banyak cerita yang tak masuk akal dan menggelikan.


Penting Mengurai Masalah

Kompas.com merilis bahwa produksi crude palm oil (CPO) atau minyak sawit pada 2021 mencapai 46.888 juta ton sebagaimana yang diungkap oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).

Angka itu turun 0,31 persen dibanding produksi pada 2020 yang mencapai 47.034 juta ton. Meskipun mengalami penurunan produksi, namun konsumsi minyak sawit justru mengalami peningkatan.

GAPKI mencatat, konsumsi minyak sawit dalam negeri pada 2021 mencapai 18.422 juta ton atau naik 6 persen dibanding konsumsi tahun 2020 sebesar 17.349 juta ton.

Adapun konsumsi minyak sawit untuk pangan naik 6 persen, oleokimia naik 25 persen, dan biodiesel naik 2 persen dari konsumsi tahun 2020.

Berdasarkan data dari Publikasi Buletin Konsumsi Pangan Kementerian Pertanian (2019) menunjukkan bahwa meskipun konsumsi terus meningkat, namun produksi minyak goreng sawit di Indonesia masih mampu memenuhi keseluruhan konsumsi nasional.

Sebagian dari produksi tersebut bahkan diekspor ke luar negeri yang volumenya diperkirakan mencapai 20,36 juta ton.(kompas.com, 04/02/2022)

Penyebab penurunan produksi ini menurut GAPKI karena faktor keterbatasan pemupukan pada tahun 2019 dan 2020 karena pandemi serta faktor cuaca yang signifikan.

Senada dengan GAPKI Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, mengatakan bahwa kelangkaan pasokan itu disebabkan karena menurunnya produktivitas perkebunan sawit milik BUMN, swasta, dan petani swadaya di Indonesia dan Malaysia yang merupakan dua negara produsen utama yang memasok setidaknya 85% produksi minyak sawit dunia.

Selain itu menurunnya produktivitas minyak nabati jenis lain seperti minyak rapeseed dan minyak kedelai juga meningkatkan permintaan terhadap minyak sawit sebagai pilihan alternatif.

Direktur PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN), seperti yang dikutip di beberapa situs media, mengatakan bahwa faktor kelangkaan minyak sawit karena kurangnya tenaga kerja di perkebunan sawit Indonesia dan Malaysia juga karena faktor cuaca buruk yang menyebabkan banjir di perkebunan sawit dan menghambat produktivitas. Penyebab yang paling signifikan adalah tingginya harga pupuk yang menyulitkan petani untuk mengakses pupuk yang terjangkau.

Cips-indonesia.org mengungkapkan Harga pupuk berbahan baku nitrogen dan fosfat yang banyak digunakan oleh petani kelapa sawit meningkat 50-80% pada pertengahan 2021 karena adanya gangguan pada rantai pasok, serta kenaikan biaya angkut, permintaan, dan harga bahan baku. Pupuk merupakan komponen utama dalam produksi kelapa sawit yang memakan 30-35% dari total biaya produksi, sehingga harga pupuk yang tinggi akan meningkatkan biaya produksi minyak sawit. Petani swadaya yang tidak mampu membeli pupuk dengan harga tinggi akan mengurangi penggunaan pupuknya dan hal ini kemudian berpotensi besar menurunkan hasil panennya. Tingginya biaya pupuk dapat secara signifikan mempengaruhi produksi minyak sawit oleh petani swadaya yang berkontribusi hingga 34% dari total produksi minyak sawit Indonesia.

Di tengah kelangkaan minyak goreng itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, menambah sayatan luka di hati rakyat dengan membeberkan penyebab minyak goreng langka di pasaran karena ada penyelundupan dan penimbunan dari sejumlah oknum.

Mendag mengatakan stok minyak goreng yang dimiliki pemerintah cukup bahkan melimpah. "Jadi ada yang menimbun, dijual ke industri atau ada yang menyelundup ke luar negeri, ini melawan hukum," ungkapnya.

Berdasarkan temuan Ombudsman, adanya penimbunan minyak goreng oleh sejumlah oknum membuat harga mahal dan stok barang di pasaran menjadi langka.

Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak, mengungkapkan bahwa sesuai aturan Kementerian Perdagangan, kebijakan DMO 20 persen dari volume ekspor diterapkan untuk mencegah kelangkaan minyak goreng. Namun nyatanya ini banyak dilanggar. Dia mengatakan, "DMO dipatuhi, tapi CPO hasil DMO itu tidak pernah sampai ke pabrik pengolahan minyak goreng, namun diduga mengalir ke pihak lain." (tribunnews.com, 14/03/2022)

Dari paparan fakta di atas, rasanya sudah sangat jelas bahwa akar persoalan ini bukanlah karena ibu-ibu yang kecanduan minyak goreng namun karena ada jalur struktural yang terhambat. Baik terhambat pada struktur produksi maupun distribusi. Inilah yang harus diurai dan dicarikan solusi.


Solusi Tuntas Masalah Minyak Goreng

Terlepas dari temuan bahwa konsumsi minyak sawit yang berlebihan bisa menimbulkan bahaya untuk kesehatan, minyak goreng sawit adalah minyak yang paling sering digunakan oleh masyarakat Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 29 Oktober 2021. 

BPS menyebutkan, minyak goreng sawit memiliki banyak keunggulan dibanding jenis-jenis minyak lain dan cocok dengan kebiasaan menggoreng masyarakat Indonesia. Kodisi ini juga didukung oleh status Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Sungguh Ironis. Minyak goreng sawit langka di surganya perkebunan sawit.

Merujuk pada beberapa sebab di atas maka menurut hemat penulis, solusi untuk kelangkaan ini adalah: 

1. Harus ada upaya serius untuk mengoptimalkan potensi lahan sawit. Optimalisasi ini dalam bentuk perluasan wilayah kebun sawit, efektivitas lahan yang sudah ada serta support untuk para petani sawit terutama dukungan semisal pupuk, teknologi alat pertanian dan pengolahan minyak, edukasi perkembangan teknologi dll. 

2. Harus ada upaya serius untuk menemukan dan memotong celah penyimpangan distribusi terutama ekspor. Karena celah ini sangat mungkin terjadi di wilayah bisnis yang menggiurkan semisal sawit. 

3. Harus ada upaya tegas untuk menindak oknum-oknum dan pihak-pihak terkait yang telah menimbulkan masalah ini. Hal ini penting supaya tidak ada lagi orang-orang yang berani mengorbankan kepentingan umum untuk memperkaya pribadi dan golongannya. 

4. Diperlukan adanya politik ekonomi yang lebih memihak rakyat dibandingkan penguasa dan pengusaha. Sistem politik ekonomi ini harus lebih jelas dan tegas memposisikan strategi ekonomi sesuai potensi dan prioritas kepentingan rakyat. 

Indonesia sebagai negara agraris dengan potensi lahan yang subur harusnya bisa memaksimalkan hal ini untuk mendongkrak kondisi ekonomi rakyat bukan ekonomi pribadi apalagi oligarki. 

Sistem politik ekonomi yang dimaksud pastinya bukan berasal dari daya pikir, rasa dan karsa manusia karena ia pasti ada cacat cela. Sistem yang dimaksud bukanlah sistem demokrasi hari ini. Tapi sistem ekonomi yang berasal dari Tuhan semesta alam.

Wallahu'alam bi showab

Posting Komentar

0 Komentar