Oleh: Wina Fatiya
Mahasiswa memanas. Setelah tagar #goodbyejokowi menjadi trending beberapa hari lalu, kini tagar #Mahasiswabergerak mewarnai kancah trending sosial media.
Senayan kalang kabut. Para tokoh pemerintah unjuk gigi, katanya untuk menengahi. Bahkan dialog dengan civitas mahasiswa sudah dilakoni. Mereka yang menamakan diri Badan Eksekutif Mahasiswa Nusantara, memberikan statement resmi bahwa mereka tidak akan ikut dalam demo bersama BEM SI (BEM Seluruh Indonesia)
BEM Nusantara seolah menjadi pemadam api setelah riak-riak bola panas kezaliman ini terasa.
Siapapun yang memiliki nurani pasti setuju bahwa kondisi rakyat saat ini begitu memprihatinkan. Minyak goreng mahal, pertamax naik, PPN naik, harga barang begitu menjulang dll.
Tuntutan Mengakar
Mahasiswa mendesak Presiden Jokowi agar melakukan enam tuntutan yang diinginkan mereka.
Suara.com melansir enam tuntutan itu adalah:
- Mendesak dan menuntut Presiden untuk bersikap tegas atau menolak dan memberikan pernyataan sikap terhadap penundaan Pemilu 2024 atau masa jabatan tiga periode karena sangat jelas mengkhianati konstitusi negara.
- Mendesak dan menuntut Presiden Jokowi menunda dan mengkaji ulang Undang-undang Ibu Kota Negara (UU IKN), termasuk pasal-pasal bermasalah dan dampak yang ditimbulkan dari aspek lingkungan, hukum, sosial, ekologi, politik, ekonomi, dan kebencanaan.
- Mendesak dan menuntut Presiden Jokowi menstabilkan harga dan menjaga ketersediaan bahan pokok di pasaran dan menyelesaikan permasalahan ketahanan pangan lainnya.
- Mendesak dan menuntut Presiden Jokowi mengusut tuntas para mafia minyak goreng dan mengevaluasi kinerja menteri terkait.
- Mendesak dan menuntut Presiden Jokowi menyelesaikan konflik agraria di Indonesia.
- Mendesak dan menuntut Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Maruf Amin berkomitmen penuh menuntaskan janji-janji kampanye pada sisa masa jabatan.
Enam tuntutan ini jika ditelusuri memang relevan dengan kondisi rakyat hari ini. Meskipun wacana penundaan pemilu dan perpanjangan tiga periode kian santer terdengar sebagai tuntutan utama mahasiswa, namun ada banyak tuntutan lain yang patut diperhatikan dan disikapi pemerintah.
Tuntutan seputar pengkajian ulang UU IKN yang penuh polemik, pengusutan terhadap mafia minyak goreng, stabilisasi harga bahan pokok, penyelesaian konflik agraria serta janji-janji manis presiden yang tak semanis kebijakannya.
Jika kita merunut tuntutan-tuntutan ini, nampak jelas bahwa mahasiswa masih terjebak dalam arus pragmatisme. Bagaiamana mungkin persoalan bangsa hanya selesai dengan enam tuntutan ini?
Harusnya tuntutan yang dilayangkan mahasiswa itu adalah tuntutan yang mengakar sampai menyentuh titik persoalan utama semua problematika ini.
Jika kita cermati, kondisi bangsa hari ini yang begitu mencekik adalah akibat dari sebuah penerapan sistem dan aturan yang tidak sesuai fitrah. Sistem dan aturan ini bukan hanya tak mampu mengurus urusan bangsa namun juga menimbulkan beragam masalah bawaan lain. Sebut saja masalah kesehatan mental khususnya mental ibu, tradisi nyeleneh generasi muda semisal kletih di Yogyakarta, kongkalikong partai dan kursi kekuasaan, sampai dana-dana fantastis sekedar untuk aksesoris.
Semua persoalan ini berakar pada satu masalah yaitu sistem Demokrasi. Demokrasi nyatanya justru dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk mereguk kekayaan, kekuasaan, dan langgengnya kepentingan mereka dengan sokongan jabatan.
Demokrasi tidak berdaya saat rakyat tercabik-cabik oleh kebohongan demi kebohongan penguasa. Demokrasi tidaklah tangguh menahan hasrat para penguasa dan pengusaha yang berkolaborasi menipu rakyat. Dimana Demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu?
Solusi Mengakar
Selain tuntutan yang tidak menyentuh akar persoalan, solusi yang diinginkan oleh mahasiswa juga kurang mengakar. Misalnya desakan kepada Presiden untuk tegas menolak penundaan pemilu dan perpanjangan kekuasaan tiga periode. Apakah dengan tidak ditunda dan tidak dilanjutkan kekuasaan Jokowi, negara ini akan lebih baik?
Nyatanya proses Demokrasi khususnya pemilu tidak mampu menghasilkan sosok pemimpin yang fokus untuk melayani rakyat. Pemilu justru dijadikan ajang bagi-bagi kursi atas nama kontestasi politik. Pemilu yang sejatinya menggunakan uang rakyat, malah dihamburkan dengan mekanisme yang culas dan penuh kebohongan. Ironis.
Berdasarkan data kemenkeu, alokasi anggaran untuk pemilu 2019 sebanyak Rp25,59 triliun. Jumlah ini naik 61% dibandingkan pemilu tahun 2014. Lantas kita layak bertanya, benarkah dana sebegitu besar dikeluarkan hanya untuk memilih para pemimpin seperti hari ini? Sungguh disayangkan.
Jadi persoalan utamanya bukan pada pemilu atau kelompok yang berhasrat untuk melanggengkan kekuasan. Persoalannya adalah sistem Demokrasi yang sudah tidak layak menyokong bangsa ini. Kecacatan Demokrasi ini menjadi celah lahirnya kezaliman dan hegemoni oligarki.
Akhirnya, Demokrasi sekedar jargon politik bukan landasan kebangsaan. Demokrasi dipakai saat diperlukan untuk menyokong kepentingan, sisanya diabaikan meskipun melanggar HAM dan aspiraai publik.
Potret buram demokrasi hari ini bukanlah sesuatu hal yang mengagetkan, Plato dan Aristoteles pun yang menjadi pelopor sistem demokrasi ini juga mengatakan bahwa demokrasi dari lahirnya sudah cacat. Fakta terdekat yang bisa kita lihat saat ini adalah ternyata demokrasi justru ‘menghabisi’ manusia, demokrasi merenggut hak manusia untuk hidup. (republika.co.id, 22/5/2013)
Jika sudah sedemikian jelas Demokrasi tidak mampu menjadi sistem kehidupan rakyat, maka sudah saatnya kita melirik pada sistem lain yang ditakuti oleh Demokrasi. Sistem ini harusnya menjadi alternatif dan layak diperhitungkan. Kita tidak boleh terus terjebak dalam pusaran sistem cacat Demokrasi ini.
Sistem itu tidak lain adalah sistem Islam. Sistem ini sesuai fitrah manusia karena dia adalah ejawantah syariat Tuhan. Sistem ini pula pasti solutif karena digali dari nash-naah syara bukan dari akal dan hawa nafsu manusia.
Sistem ini faktanya sudah menaungi dunia selama kurun 13 abad lebih. Jauh lebih lama dari capaian naungan Demokrasi. Dan pastinya sistem inilah yang bisa mengantarkan pada kesuksesan di akhirat.
Jadi, mari kita gali akar masalah dan usung solusi hakiki agar tidak terjadi pengulangan tragedi dan problem oleh Demokrasi. Solusi hakiki itu tidak lain hanyalah Islam.
Wallahu'alam bi showab
0 Komentar