KLITIH ATAUPUN TAWURAN ANTAR GENG BUKTI GENERASI BERMASALAH


Oleh: Wina Fatiya

Nasib nahas dialami oleh almarhum Daffa Adzin Albasith (DAA) yang masih berusia 17 tahun. Pelajar SMA 2 Muhamadiyah Yogyakarta ini harus meregang nyawanya di RSPAU Hardjolukito. Diketahui luka yang mengenai kepalanya akibat sabetan Gir yang sudah dimodifikasi menjadi penyebab nyawanya tak terselamatkan.

Sebagaimana dirilis oleh laman cnnindoesia.com, lima pelaku ditangkap  yaitu RS alias B (18), warga Mergangsan, Kota Yogyakarta; FAS alias C (18), warga Sewon, Bantul; AMH alias G (19), warga Depok, Sleman; MMA alias F (20), warga Sewon, Bantul; dan HAA alias B (20), warga Banguntapan, Bantul. Tiga orang berstatus pelajar SMK, sisanya mahasiswa dan pengangguran.

Insiden yang terjadi pada Minggu (3/4/2022) dini hari dikonfirmasi akibat tawuran atau perseteruan antar geng pelajar dan bukan karena klitih. Motifnya jelas karena ketersinggungan dan hasrat unjuk gigi yang besar di antara dua kelompok ini.


Generasi Bermasalah

Jika kita telisik lebih dalam apa yang dialami oleh DAA memang bukanlah kasus yang pertama. Korban yang berjatuhan akibat tawuran atau sengketa antar geng sudah marak terjadi.

Sebagaimana dirilis oleh databoks.katadata.co.id menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2021 ada 188 desa/kelurahan di seluruh Indonesia yang menjadi arena perkelahian massal antar pelajar atau mahasiswa. Jawa Barat menjadi provinsi dengan lokasi kasus tawuran pelajar terbanyak, yakni terjadi di 37 desa/kelurahan. Diikuti Sumatera Utara dan Maluku dengan masing-masing 15 desa/kelurahan yang mengalami kasus serupa.

Tawuran antar pelajar atau geng ini bisa disebabkan oleh banyak faktor. Bisa dari internal remaja itu sendiri. Bisa juga karena faktor eksternal.

Untuk faktor internal, remaja saat ini banyak yang mengalami krisis identitas. Krisis identitas ini ditandai dengan kegalauan terhadap identitas diri, suasana hati yang tidak menentu serta sensitivitas cukup tinggi dalam menghadapi suatu persoalan.

Krisis identitas ini bertambah rumit karena remaja tidak memiliki nilai atau pemahaman yang bisa dijadikan panduannya dalam memilih. Mereka cenderung jauh dari nilai-nilai agama. Sedangkan nilai moral dan etika yang didapatkan di rumah ataupun sekolah, nyatanya tidak cukup ampuh untuk menjawab krisis ini.

Sedangkan faktor eksternal bisa muncul dari kondisi keluarga yang tidak harmonis atau terlalu membebaskan remaja tanpa pengarahan nilai-nilai kehidupan. Bisa muncul pula dari persoalan ekonomi yang melingkupi kehidupan remaja, kondisi pergaulan buruk yang dominan, kondisi masyarakat yang apatis dan hedonis serta kondisi sekolah yang tidak efektif dalam pembentukan kepribadian remaja.

Di samping itu semua faktor eksternal yang paling mempengaruhi remaja adalah kebijakan negara dalam mengurusi generasi.

Negara sebagai pendidik utama generasi yang memberikan asupan nilai kehidupan. Negara pula menginstal cara pandang kepada generasi sehingga terbentuk kepribadian yang Islami.

Sayangnya saat ini, negara abai dalam masalah pembentukan  kepribadian remaja. Negara cenderung membebaskan pendidikan serta orientasi ekonomi yang kentara.

Kepribadian Islam bagi remaja dijadikan nomor sekian untuk dibahas bahkan mungkin tidak pernah dibahas. Padahal kepribadian Islam ini jelas sangat penting.

Kepribadian Islam ini terdiri dari dua aspek utama yaitu aqliyah dan nafsiyah. Aqliyah ini berkaitan erat dengan cara berfikir dan mengaitkannya dengan Islam. Pada akhirnya remaja akan memiliki penuntun pemikiran tentang  apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh.

Sedangkan Nafsiyah itu berkaitan dengan cara hidup yang dipandu oleh akal serta pemahaman terhadap Islam. Pada akhirnya setiap kebutuhan hidup, kegalauan serta hasrat untuk unjuk gigi akan disematkan kepada Islam.

Di titik inilah remaja akan memiliki cara pandang islami. Dengan konsep syaksiyyah ini, krisis identitas yang menghinggapi Remaja akan musnah dan selesai.

Sayangnya pendidikan  untuk membangun syaksiyyah Islam ini hanya bisa diterapkan dalam daulah Islam. Negara dengan corak saat ini yang tidak Islami tentu menolak konsep ini.
 
Dengan demikian, masalah tawuran, atau klitih yang menyebabkan tewasnya nyawa manusia hanya bisa selesai dengan Islam. Islam  akan menciptakan generasi yang berkualitas tanpa ada drama krisis identitas ataupun polemik pendidikan yang lainnya.

Wallahu'alam bi showab

Posting Komentar

0 Komentar