IMPOR DIMANA-MANA, BENARKAH PEMERINTAH TIDAK TAHU?


Oleh: Shalsha Baharrizqi

Presiden Joko Widodo kini menunjukan kemarahannya di hadapan publik. Pasalnya telah terjadi impor yang dirasa jauh lebih besar dari pada konsumsi produk dalam negeri. Beliau mengatakan,

"Ini (transformasi ekonomi) tentu tidak menyenangkan bagi yang suka impor-impor, karena semuanya dibuat di Indonesia," ujar Jokowi saat memberikan sambutan dalam acara pengukuhan Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) 2021-2026 di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (26/3/2022). Sebab, transformasi ekonomi memicu produksi barang-barang di dalam negeri. "Ini juga pasti menganggu negara lain yang merasa Idonesia tidak menjadi pasar yang menguntungkan bagi produk-produk mereka," tambah Jokowi.

Indonesia masih terbuka untuk negara lain, namun menurutnya yang menjadi acuan adalah kerja sama yang dilakukan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Pemerintah berupaya dalam mengubah status negara pengekspor bahan mentah menjadi negara industri tangguh dan lingkungan yang berwawasan. Dengan cara memanfaatkan APBN, APBD hingga anggaran BUMN untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Presiden optimis, bahwa dengan meningkatkan produk perbelanjaan dalam negeri, kementerian dan BUMN tak perlu lagi mencari investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi demi memperbaiki permasalahan pada konsumsi prodak dalam negeri. Namun yang menjadi pertanyaan, benarkah pemerintah tidak tahu bahwa telah terjadi impor dimana-mana? Dan apakah kementerian sebagai tangan kanan pemerintah dapat dengan mudahnya memutuskan kebijakan sendiri tanpa persetujuan pemerintah?

Lip service penguasa dalam sistem demokrasi-kapitalisme justru telah menunjukan ketidakmampuan mereka dalam bekerja. Alasan yang dikemukakan pemerintah mengambil kebijakan impor selalu berputar pada masalah buruknya kualitas produk di dalam negeri. Entah itu garam, kedelai, dan lainnya. Atau jika tidak alasan stok dalam negeri yang tidak mencukupi. Jika memang benar alasannya demikian, pasca impor semestinya ada perbaikan kualitas. Agar tidak terus menerus bergantung pada impor.

Wajar jika saat ini rakyat tidak lagi percaya kepada pemerintah. Karena rakyat tidak merasa puas terhadap kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah, serta tidak ada upaya peningkatan terhadap kualitas produk.

Bagaimana tidak, masyarakat sudah banyak yang menghasilkan produk dalam negeri tetapi impor berbagai macam barang masih dilakukan bahkan setiap tahun meningkat, sehingga produk hasil tangan masyarakat lokalpun kalah saing dan tersingkirkan.

Lingkungan dan tanah negeri ini pun sulit dikelola oleh masyarakat, karena sebagian besar dikuasai oleh asing.

Liberalisasi perdagangan hanya akan mengikis semangat ekonomi kerakyatan, terutama apabila kita flashback pada tujuan utama WTO terhadap liberalisasi perdagangan, yaitu penghapusan segala hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi baik berupa proteksi dan subsidi.

Dengan demikian barang-barang impor semakin mudah masuk ke dalam negeri dan menguasai pasar. Rezim penguasa di negara berkembang sebagai fasilitator diterimanya berbagai bentuk persetujuan perdagangan yang bebas.

Menjadi negara yang mandiri sangat mustahil terwujud dalam sistem kapitalisme ini. Berbeda dengan sistem Islam, selama berkuasa kurang lebih 1300 tahun, daulah Islam menjadi negara yang mandiri, berhasil meratakan kesejahteraan, adil, dan stabil. Hal ini karena ekonomi syariah bebas dari kepentingan manusia.

Pengaturan makro dan mikro ekonomi tentu hanya mengacu kepada syariat Islam. Dalam makro ekonomi, akan diatur sistem moneter, sistem keuangan negara, sistem fiskal yang digali dari aturan Al-Qu'ran dan Assunnah. Dalam mikro ekonomi, akan diatur aktivitas muamalah perseorangan dan perseroan yang mengacu pada syariat Islam.

Dengan mekanisme tersebut, daulah Islam di era dulu tumbuh menjadi negara yang mandiri, kukuh dan terdepan perekonomiannya. Tanpa memanipulasi dan menjarah kekayaan alam negara lain.

Maka jelas bahwa bertahan pada sistem ekonomi sekuler hanya akan makin memperpanjang penderitaan rakyat di negeri ini. Sudah seharusnya negara punya kekuatan dalam mengatasi impor.

Dalam Islam, negara berkewajiban menjalankan fungsinya sebagai pelayan dan pengayom umat, melawan tekanan dari pihak asing dengan mewujudkan wibawa, sehingga tidak menjadi sasaran empuk dalam menjalankan kebijakan yang bertentangan dengan Islam. Kontruksi Islam tentang bagaimana impor, semestinya dilakukan hanya dalam kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut oleh produksi dalam negeri dan tidak boleh menghantarkan ketergantungan pada asing.

Wallahu A'lam.

Posting Komentar

0 Komentar