THUFAIL BIN AMR AD-DAUSY DAN RADIKALISME MASA KINI


Oleh: Wina Fatiya

Status Ustaz Felix Siaw beberapa waktu lalu membuat nalar terperangah. Beliau memposting tangkapan layar daftar penceramah yang terindikasi Intoleran dan Radikal. Bahkan di sana tercantum kata-kata: Hindari untuk mendengarkan apalagi mengundang.

Kata-kata seperti ini persis sama seperti apa yang pernah dilontarkan oleh para pemimpin dan pembesar Quraisy kepada Thufail bin Amr Ad-Dausy.

Thufail bin Amr Ad-Dausy adalah pemimpin kabilah Daus pada masa jahiliyah. Dia adalah bangsawan yang dihormati. Dia juga terkenal sebagai pujangga dan penyair yang cerdas dan tajam pemikirannya.

Pada musim haji, Thufail meninggalkan negerinya di Tihamah (dataran sepanjang Laut Merah) menuju Makkah. Kedatangannya menarik perhatian banyak pemimpin dan pembesar Quraisy sehingga mereka menemuinya dengan antusias.

Mereka menceritakan banyak berita dusta tentang Rasulullah SAW dan dakwahnya. Bahkan Thufail disarankan agar tidak berbicara dan mendengar ucapan Rasulullah SAW atau kaum Muslim.

Mereka berkata, "Janganlah anda dekati orang itu. Jangan berbicara dengannya dan jangan pula mendengarkan kata-katanya. Sebab kalau dia berbicara, kata-katanya bagaikan sihir. Perkataannya dapat memisahkan anak dengan bapak, merenggangkan saudara sesama saudara dan menceraikan istri dengan suami."

Lalu apa yang terjadi dengan Thufail?

Suatu pagi Thufail pergi ke Ka'bah untuk melakukan tawaf. Ia menyumbat telinganya dengan kapas karena takut akan mendengar ucapan Rasulullah SAW atau kaum Muslim.

Tak disangka, ia melihat seorang laki-laki yang sedang shalat dalam Ka'bah. Ia terpesona dengan cara laki-laki itu shalat. Tanpa ia sadari, ia mulai mendekati laki-laki itu sedikit demi sedikit. Bahkan ia bisa mendengar ucapan laki-laki itu meski telinganya disumbat kapas.

Ia tertegun mendengar kata-katanya bahkan ia berkata kepada dirinya sendiri, “Betapa celakanya engkau, hai Thufail! Engkau seorang pujangga dan penyair. Engkau tahu membedakan mana yang indah dan yang buruk. Apa salahnya kalau engkau dengarkan dia bertutur? Mana yang baik boleh engkau ambil, mana yang buruk tinggalkan!

Saking terpesonanya dengan ucapan laki-laki itu, tanpa sadar ia mengikutinya pulang ke rumah. Barulah ia tersadar jika laki-laki itu adalah orang yang dihindarinya yaitu Rasulullah SAW.

Ia lantas ikut masuk dan menemuinya. Di hadapan Rasulullah SAW, ia menceritakan ihwal kondisinya. Sampai terucap pengakuan jujur dari Thufail, "Ternyata, apa yang anda ucapkan semuanya benar dan bagus. Maka ajarkanlah kepadaku agama anda itu!"

Rasulullah SAW lalu mengajarkan kepadanya agama Islam dan beliau membacakan Surah Al-Ikhlas dan Al-Falaq. Lalu Thufail belajar Islam selama beberapa waktu. Lalu ia berubah (meminjam Istilah Prof. Suteki) menjadi Radikal (Ramah, Terdidik dan Berakal) dan menyebarkan Islam ke tengah-tengah kaumnya.

Dari kisah di atas, seharusnya kita bisa berkaca bahwa kebenaran Islam itu tak akan pernah bisa ditutup-tutupi, karena hidayah itu adalah hak preogratif Allah SWT. Allah-lah yang berkuasa menampakkan jalan kebenaran itu meski manusia tidak suka dan menghalanginya.

Allah SWT berfirman:

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. (Qs. At-Taubah: 32)

Lantas untuk kepentingan siapa sebenarnya daftar Ustadz radikal itu dirilis?

Jika kita mencermati pernyataan salah satu Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin, ia mengaitkan radikalisme dengan situasai politik dan sosial masyarakat saat ini.

Ia menyatakan, "Paham radikal itu dipakai oleh para ekstrimisme dan para teroris jadi mimbar-mimbar dengan tren agama dipakai untuk mengacaukan situasi politik dan situasi sosial kehidupan masyarakat." (suara.com, 6/3/22)

Bahkan Presiden Joko Widodo mengingatkan kepada TNI dan Polri beserta keluarganya supaya jangan tersusupi penceramah radikal dalam kegiatan beragama meski atas nama demokrasi.

"Ibu-ibu kita juga sama, kedisiplinannya juga harus sama. Nggak bisa, menurut saya, nggak bisa ibu-ibu (istri personel TNI-Polri) itu memanggil, ngumpulin ibu-ibu yang lain memanggil penceramah semaunya atas nama demokrasi," kata Jokowi. (suara.com, 6/3/22)

Lantas apa kaitannya radikalisme dengan kondisi politik saat ini? Bukankah para penceramah yang dianggap radikal itu sama sekali tidak berhasrat untuk mereguk kekuasan di parlemen?

Tidak satupun pernyataan dari para Ustadz itu ingin terlibat dalam kancah politik Demokrasi saat ini. Yang ada justru para penceramah itu senantiasa menggaungkan Islam sebagai Rahmatan lil'alamin. Mereka juga konsen mengajukan solusi alternatif dari Islam untuk berbagai masalah yang menimpa negeri ini.

Jika hal itu dianggap mengancam dan berbahaya, lantas siapa lagi yang akan mengingatkan pemerintah tentang kebijakannya yang zalim? Lantas siapa yang akan meriayah umat dengan tsaqofah Islam? Apakah mereka ingin agar kondisi umat dan negara terus seperti ini, berkubang dengan berbagai problematika kehidupan?

Wajar jika kita menduga bahwasanya tudingan-tudingan radikal itu hanyalah strategi defensif dan ofensif pemerintah untuk melanggengkan kursi kekuasaan.

Mereka tak henti mengorek ajaran Islam dan penceramahnya yang dianggap bertentangan dengan kepentingannya. Pada saat yang sama mereka terus melukai rakyat dengan kebijakan yang menyusahkan. Sungguh kemunafikan yang terpampang nyata.

Wallahu'alam bi showab

Posting Komentar

0 Komentar