POLITIK DAN AGAMA HARUS DIPISAHKAN?


Oleh: Wina Fatiya

Menarik ketika membaca pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berada di Tugu Titik Nol Islam Peradaban Nusantara, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Beliau mengatakan bahwa politik dan agama harus dipisah betul terutama dalam pemilihan kepala daerah agar tidak lagi ada pergesekan dan pertikaian antar masyarakat.

Secara tidak langsung beliau menilai bahwa pergesekan dan pertikaian yang selama ini terjadi di sana akibat agama dihubungkan dengan politik atau sebaliknya.

Memang tidak dijelaskan agama yang beliau maksud seperti apa. Hanya saja dalam pikiran awam kita, agama itu identik dengan keimanan. Artinya tidak mungkin orang yang tidak beriman bisa beragama.

Nah, pertanyaannya, bukankah klausul beriman dan bertakwa itu ada dalam setiap konstitusi dan regulasi yang ditetapkan di negeri ini?

Meskipun klausul itu hanya ada di Muqaddimah atau Pengantar saja, namun bukankah klausul itu menandakan bahwa Indonesia masih mengingat agama?

Apalagi jika membahas Pancasila. Bukankah sila pertama itu Ketuhanan yang Maha Esa? Lantas Tuhan di mana jika agama itu harus dipisahkan dari politik?

Bukankah sudah menjadi konvensi bersama bahwa Indonesia tidak menganut sistem Demokrasi Liberal seperti negara-negara Barat juga Demokrasi Sosialisme seperti di Timur. Namun Indonesia komitmen menganut Demokrasi Pancasila yang diilhami nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa.

Bukankah makna diilhami itu berarti setiap sendi kehidupan harus terkait kepada Tuhan? Atau ada makna lain yang dimaksud presiden selain itu?

Dalam hemat penulis, adalah suatu kewajaran apabila sekaliber Presiden menyatakan hal demikian dalam kondisi Indonesia hari ini. Mengapa? Karena pada faktanya, tak bisa dipungkiri, semua lini kehidupan sudah terisolasi dari agama. Indonesia saat ini memang sudah sekuler. Termasuk dalam bidang politik.

Politik menjadi ajang pertarungan berbagai ideologi dan pandangan. Juga menjadi ajang perhelatan para penganut ideologi itu untuk meraih kekuasaan. Dengan kekuasaan itu mereka akan mampu menentukan corak atau warna ideologi yang ingin diterapkan. Oleh karena itu mereka akan berlomba-lomba berkuasa.

Jadi ucapan presiden itu bukan sekedar seruan melainkan simbol proteksi sekulerisme untuk menjauhkan pengaruh agama dari politik. Hanya saja isu yang diangkat adalah pergesekan dan pertikaian masyarakat.

Diakui atau tidak politik saat ini bukan fokus pada pengurusan rakyat oleh negara namun justru fokus pada kekuasaan. Sehingga kekuasaan itu akan dijaga dan diproteksi sedemikian rupa supaya kekuasaan itu tetap langgeng berjaya.

Sayangnya umat Islam justru ikut dalam arus sekulerisme ini sehingga mereka dimanfaatkan oleh demokrasi. Sampai-sampai mereka mempercayai apa yang dipropagandakan oleh para penjaga sekulerisme itu.

Padahal Allah SWT sudah mewanti-wanti supaya kaum Muslim hanya percaya kepada mereka yang taat syariat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat ini:

وَلَا تُؤْمِنُوا إِلَّا لِمَنْ تَبِعَ دِينَكُمْ قُلْ إِنَّ الْهُدَىٰ هُدَى اللَّهِ أَنْ يُؤْتَىٰ أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَاجُّوكُمْ عِنْدَ رَبِّكُمْ ۗ قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah, dan (janganlah kamu percaya) bahwa akan diberikan kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan (jangan pula kamu percaya) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu". Katakanlah: "Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Luas karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui" (QS. Ali-Imran: 73)

Ayat ini menjelaskan dengan gamblang bahwa petunjuk yang benar itu hanyalah petunjuk Allah SWT. Karunia Allah-pun ada di tangan-Nya. Sehingga sangat kecil kemungkinan orang-orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah SWT akan berkata yang benar. Itulah sebabnya Allah melarang kita percaya pada orang yang tidak mengikuti ajaran Nabi Muhammad.

Pertanyaanya, apakah ucapan Pak Presiden itu bersumber dari petunjuk Allah? Apakah benar politik itu harus dijauhkan dari agama?

Jawabannya tentu saja tidak. Dalam ajaran Islam, justru agama adalah basis bagi semua pengaturan kehidupan. Artinya dalam semua aspek kehidupan, harus diatur oleh agama. Termasuk dalam bidang politik. Sebagaimana tertera dalam ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al Baqarah: 208)

Apalagi politik, dalam Islam, agama dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan. Sebagaimana Hujjattul Islam, Imam Al-Ghazali bertutur:

Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh, dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap.

Sultan (kekuasan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah tujuan sebenarnya para rasul. Jadi, wajib adanya imam yang merupakan kewajiban agama dan tidak ada jalan untuk meninggalkannya

Sejarah membuktikan bahwa sistem pemerintahan Islam sudah memimpin dunia selama hampir 14 abad di dunia. Pemerintahan Islam ini dikenal dengan sistem Khilafah yaitu sistem pemerintahan yang menjadikan aqidah sebagai pondasi, menerapkan seluruh syariat Islam secara sempurna serta mengemban dakwah dan jihad.

Itulah Islam yang menjadikan semua lini kehidupan diatur oleh agama. Jadi, jika ada yang mengatakan bahwa agama harus dipisahkan dari politik maka itu bertentangan dengan ajaran Islam.

Wallahu'alam bi Showab

Posting Komentar

0 Komentar