NEGARAWAN HARUS BERPIKIR POLITIS


Oleh: Wina Fatiya

Bak sinetron drama, kelangkaan minyak goreng kini menemukan babak barunya. Bukan lagi soal antrian dan rebutan, bukan juga soal nyawa yang melayang sia-sia saat mengantri minyak goreng, namun soal perilaku para politisi yang membuat kita geleng-geleng kepala.

Setelah hampir sebulan minyak goreng langka, bimsalabim kini etalase minimarket dan swalayan penuh dengan cairan berwarna emas kekuningan itu. Harganya pun fantastis. Naik hampir dua kali lipat dari sebelumnya.

Usut punya usut ternyata inilah skenario yang diinginkan oleh sang pembuat cerita. Kelangkaan menjadi alasan subsidi minyak goreng dicabut. Akhirnya harganya tak lagi terjangkau seperti dahulu.

Cerita ini kemudian dipoles dengan dagelan politik bahwa Kemenag tidak mampu mengontrol para mafia dan kartel minyak goreng. Lalu beliau meminta maaf atas ketidakberdayaannya itu.

Dagelan ini ditambah riuh oleh intruksi Presiden supaya Kemenag melakukan kembali operasi pasar. Operasi pasar yang selama ini dilakukan nyatanya tidak membuat para mafia, kartel dan spekulan itu jera, lalu ini mau dilakukan operasi pasar serupa? Sungguh tak kreatif.

Dan yang paling mengiris hati adalah pernyataan seorang negarawan senior yang pernah menjabat sebagai presiden RI. Beliau mengatakan, "Sekarang kita lihat toh hebohnya urusannya beli minyak goreng. Saya tuh sampai ke ngelus dada bukan urusan masalah enggak ada atau mahalnya minyak goreng."

Beliau melanjutkan, "Saya itu sampai mikir jadi tiap hari ibu-ibu itu apakah hanya menggoreng. Sampai begitu rebutannya, apa tidak ada cara untuk merebus, lalu mengukus atau seperti rujak?". Pernyataan ini Ia ungkapan dalam sebuah diskusi virtual, Kamis (17/3/2022).

Sungguh pernyataan yang mencirikan ketidakpekaan dan keawaman terhadap kondisi pasar ekonomi Indonesia.


Krisis Negarawan yang Berpikir Politis

Pernyataan dan sikap politik yang ditunjukkan oleh para politikus baik individu maupun partai mencirikan kegersangan pemikiran politis yang akut. Bahkan pemerintah bersama aparaturnya tidak mampu menampakkan wajah sebagai negarawan sejati. Negarawan yang mampu memberikan solusi mengakar dan tegas dengan semua ketidakadilan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Dalam buku Pemikiran Politik Islam karya Syekh Abdul Qadim Zallum digambarkan dengan jelas bagaimana sosok negarawan itu adalah pemimpin politik tertinggi. Dia yang memiliki kerangka kepemimpinan yang khas dan ideologis.

Dalam buku Muslimah Negarawan, DR. Fika Komara, M.Si, menggambarkan sosok negarawan itu adalah orang yang memiliki kapasitas agency sebagai pemimpin perubahan. Ciri-cirinya yaitu:

  • Memiliki mentalitas pemimpin (leadership) atau kepribadian kepemimpinan(syakhsiah qiyadah);
  • Mampu mengatur urusan kenegaraan, artinya mampu berpikir skala sistem (tidak parsial atau sektoral);
  • Mampu menyelesaikan permasalahan atau mu'alajah musykilah;
  • Mampu mengendalikan hubungan pribadi dan urusan umum alias harmonisasi kehidupan pribadi dan dakwah.

Sementara itu, dalam buku At-tafkir, Syekh Taqiyyudin An-Nabhani menjelskan bahwa berpikir politis adalah berpikir mengenai berita-berita dan peristiwa-peristiwa politik, maka ia berbeda dengan seluruh cara berpikir yang ada. Berpikir politis dalam arti ini merupakan jenis kegiatan berpikir yang paling tinggi sekaligus paling sulit.

Dikatakan paling tinggi, karena ia merupakan aktivitas berpikir atas segala hal dan segala peristiwa, di samping melibatkan semua jenis aktivitas berpikir yang lain seperti berpikir pada teks-teks pemikiran, teks-teks hukum, dan sebagainya. Karenanya, berpikir politis mengenai berita dan peristiwa politik disebut sebagai jenis berpikir tertinggi.

Berpikir politis juga dikatakan sebagai jenis kegiatan berpikir paling sulit karena tidak adanya kaidah atau patokan yang dapat digunakan di dalamnya. Bahkan, hampir tidak dapat dikaitkan dengan satu kaidah pun. Inilah yang dapat membuat seorang pemikir atau politisi merasa kebingungan untuk pertama kalinya, yang pada gilirannya akan dapat membuatnya terjerumus ke dalam banyak kesalahan, ilusi, atau ketidaktepatan. Selama seorang pemikir atau politisi tidak banyak ‘makan asam-garam’ dalam dunia politik praktis, tidak mempunyai kewaspadaan, dan tidak mengikuti berita politik secara kontinu, maka akan sulit baginya untuk melangsungkan aktivitas berpikir politis. Karena itulah, berpikir politis dalam arti berpikir terhadap berita-berita dan peristiwa-perstiwa politik dikatakan sebagai jenis berpikir yang paling sulit. (globalmuslim.web.id, 01/2011)


Islam Sumber Pemikiran Politis

Islam adalah diin paripurna yang memiliki seperangkat pemikiran (fikroh) juga metode (thariqoh) untuk merealisasikan fikroh itu. Di dalamnya memuat berbagai macam kaidah termasuk kaidah berpikir. Kaidah ini menjadi pondasi dasar yang harus dimiliki manusia ketika akan menjajaki rahasia kehidupan. Kaidah berpikir yang paling tinggi yang ditanamkan oleh Islam adalah berpikir politis, yaitu menautkan setiap peristiwa dan fakta dengan Islam sebagai solusi hakikinya.

Berpikir politis ini hanya akan mampu dibentuk oleh Aqidah Islam. Tanpanya, berpikir politis akan sulit diwujudkan karena pemikiran selain Aqidah Islam itu batil.

Oleh karena itu, wajar jika saat ini kita mengalami krisis kepemimpinan, pun krisis politisi yang mumpuni dan cerdas, serta krisis solusi untuk persoalan bangsa. Hal itu karena atmosfer kehidupan kita saat ini bukanlah Islam.

Tanpa berpikir politis yang benar atau akibat berpikir politis yang lemah dan buruk, kondisi dan nasib buruklah yang akan menghinggapi umat Islam. Tanpa berpikir politis yang sahih, umat Islam akan terhalangi untuk upaya membebaskan diri dari cengkeraman hegemoni imperialisme yang kejam. Tanpa berpikir politis yang sahih, umat Islam akan terhalangi pula dari proses kebangkitannya untuk menjadi umat terbaik yang diciptakan Allah untuk segenap umat manusia. (globalmuslim.web.id, 01/2011)

Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mewujudkan budaya berpikir politis ini. Juga penting untuk mendakwahkan dan membina umat agar terbentuk pemikiran politis di tengah-tengah umat.

Wallahu'alam bi showab

Posting Komentar

0 Komentar