Oleh: Wina Fatiya
Bukit dan lembah Badar menjadi saksi kekalahan kaum kafir Quraisy di tahun kedua Hijriyah. Banyak tawanan dari pihak Quraisy termasuk menantu Rasulullah, Abul Ash Ar Rabi' yang menikah dengan Zainab binti Muhammad.
Mendengar hal itu, Zainab yang masih berada di Mekah, tak kuasa menahan kekhawatiran terhadap suaminya. Ia menebus Abul Ash dengan sebuah kalung hadiah perkawinan pemberian sang Ibu, Khadijah.
Melihat Kalung itu, Rasulullah tak sampai hati membuat anaknya khawatir dan menantunya yang masih musyrik tertawan. Kemudian Beliau bersabda, “Jika kalian tidak keberatan melepaskan tawanan (Abul Ash) dan mengembalikan harta miliknya, maka lakukanlah.” Mereka menjawab, “Baiklah, wahai Rasulullah.”
Akhirnya Abul Ash dibebaskan, namun dengan syarat harus melepaskan Zainab dan mengirimnya ke pangkuan Rasulullah di Madinah.
Abul Ash begitu mencintai Zainab dan sangat mengkhawatirkannya. Ia berkata kepada saudaranya, Kinanah Bin Rabi agar mengantar Zainab dengan selamat. “Hai, Saudaraku, tentulah engkau mengetahui kedudukan Zainab dalam jiwaku. Aku tidak menginginkan seorang wanita Quraisy yang menemaninya keluar kota Makkah, dan engkau tentu tahu bahwa aku tidak sanggup membiarkannya berjalan sendirian. Maka temanilah dia menuju tepi dusun, di mana telah menungggu dua utusan Muhammad. Perlakukanlah dia dengan lemah lembut dalam perjalanan dan perhatikanlah dia sebagaimana engkau memperhatikan wanita-wanita terpelihara. Lindungilah dia dengan panahmu hingga anak panah yang penghabisan,” tuturnya.
Seusai perang Badar, Rasulullah ﷺ menerima wahyu Qur'an surat Al-Mumtahanah (60) ayat 10 dan Al-Baqarah (2) ayat 221. Isinya seputar larangan wanita muslimah hidup bersama laki-laki kafir sebagai suami istri. Karena Abul Ash tidak mau masuk Islam, akhirnya Ia harus merelakan cintanya kepada Zainab kandas karena perbedaan keyakinan.
Sebelum kedua ayat ini turun kaum Muslim diizinkan untuk menikah dengan orang-orang kafir, seperti putri Rasulullah Ruqayyah dan Ummu Kultsum menikah dengan putra-putra Abu Lahab yang merupakan golongan musyrik. Namun, setelah ayat-ayat di atas turun, Islam mengharamkan pernikahan wanita Muslimah dengan lelaki kafir, baik dari golongan Ahlul Kitab—Nasrani dan Yahudi—ataupun golongan musyrik. (Buletin Kaffah, 25/03/2022)
Suatu hari, kafilah dagang Abul Ash yang akan berdagang ke Syam bertemu dengan pasukan Rasulullah. Harta dan dagangannya diambil oleh pasukan itu. Namun, karena Abul Ash adalah orang yang amanah, dia mencari berbagai cara untuk mendapatkan kembali amanah barang dagangan yang dititipkan kepadanya.
Skenario Allah memang indah. Karena peristiwa itu, Zainab dan Abul Ash bertemu. Zainab menolong Abul Ash untuk mendapatkan barang dagangannya sembari mengajak suaminya itu memeluk Islam. Namun saat itu Abul Ash masih memiliki tanggungan yaitu mengembalikan barang milik orang Quraisy. Meski demikian ternyata benih-benih keimanan sudah merasuk dalam dalam sanubarinya.
Ketika Zainab menolong Abul Ash, Rasulullah ﷺ berpesan, “Wahai, putriku, muliakanlah tempatnya dan jangan sampai dia menyentuhmu, karena engkau tidak halal baginya selama dia masih musyrik.”
Zainab tidak menikah lagi ketika di Madinah. Kesetiaannya kepada Abul Ash membuat Rasulullah terenyuh.
Akhirnya, setelah menuntaskan urusan dengan orang-orang Quraisy, Abul Ash berangkat ke Madinah untuk menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah ﷺ. Lalu ia rujuk dengan kekasih tercintanya yaitu Zainab.
Memelintir Dalil
Dengan menelisik kisah romantisme Zainab dan Abu Ash, kita bisa memahami bahwa Rasulullah ﷺ tidak mentolerir pernikahan beda keyakinan bahkan kepada anaknya sendiri. Setelah turun ayat tentang larangan menikah dengan laki-laki musyrik (termasuk di dalamnya kafir), tak satupun pernikahan dilakukan beda agama. Ini menjadi bukti bahwa perkara ini bukanlah perkara cabang yang bisa ada khilafiyah.
Pernikahan Muslimah dengan lelaki kafir sesungguhnya telah tuntas dibahas oleh para ulama. Hal ini sudah terkategori ma’lûm min ad-dîn bi adh-dharûrah. (Buletin Kaffah, 25/03/2022)
Jika Guntur Romli menyebut putri Nabi Muhammad ada yang nikah beda agama, maka ini adalah upaya pemelintiran dalil sekaligus pembohongan publik.
Ia menyatakan bahwa, “Nabi Muhammad ﷺ memiliki pengalaman yang buruk dan menyakitkan terkait nikah beda agama.”
Jelas ini adalah pendapat sentimentil dan tendesius terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Hal ini karena seolah-olah Nabi menolak pernikahan beda agama dengan alasan perasaan kecewanya terhadap biduk rumah tangga Zainab dan Abul Ash. Jelas ini adalah pemahaman keliru.
Padahal, dasar pembahasan hukum pernikahan beda agama sangatlah gamblang dicantumkan dalam firman Allah ﷻ:
وَلَا تَنْكِحُواْ ٱلمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيرٌ مِّنْ مُّشرِكَةٍ وَلَوْ أَعجَبَتْكُم
Artinya: “Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh budak wanita yang beriman lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian.” (QS. Al-Baqarah: 221).
Oleh karena itu, kita harus mengingat satu ayat ini:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS.Al Hujurat: 6)
Kita harus waspada dengan berita apapun yang dibawa oleh kaum fasik. Jangan sampai ucapan mereka malah meragukan iman kita atau menggoyahkan tekad kita untuk menegakkan Islam kaffah. Di sinilah pentingnya umat Islam memiliki ilmu dan membentengi dirinya dari kebodohan dengan ilmu itu.
Wallahu'alam bi showab
0 Komentar