Oleh: Wina Fatiya
Suatu kali saya pernah menyaksikan potongan podcast seorang entertainer yang sangat terkenal. Dia saat itu berbincang dengan seorang penyanyi senior yang di kenal suka mengisi kajian.
Ketika ditanyakan apakah entertainer itu suka solat lima waktu? Jawabannya sungguh mencengangkan. Dia menjawab kadang-kadang. Lantas ditanyakan lagi bagaimana bisa masuk surga kalau tidak sholat?
Ternyata jawabannya tambah mencengangkan. Dia menjawab bahwa ada amal-amal lain yang sudah ia lakukan semisal sedekah dan membantu orang lain yang kesulitan. Itu membuatnya yakin cukup bisa mengantarkannya ke surga.
Akhirnya video itu ditutup dengan pemaparan tentang amal yang pertama kali akan dihisab di hadapan Allah yaitu sholat. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba di hari kiamat adalah sholatnya. Maka, jika sholatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika sholatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari sholat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, “Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki sholat sunnah.” Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari sholat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (Hadits Riwayat Tirmidzi No. 413, dan An Nasa-i No. 466).
Hadits di atas dengan gamblang menyebutkan bahwa sholat menjadi penentu apakah amal-amal lain akan diterima atau tidak. Diterima atau tidaknya amal-amal itu diwakili oleh kata beruntung dan berhasil juga gagal dan rugi.
Potongan perbincangan di atas menjadi potret keawaman umat Islam saat ini. Banyak umat Islam yang yakin dengan kemurahan Allah SWT. Sehingga saking yakinnya, mereka merasa tidak bersalah ketika meninggalkan salah satu kewajiban agama. Bahkan mereka berkilah, kewajiban itu bisa ditutup dengan amal baik lain yang juga berpahala.
Mereka tidak paham bagaimana hierarki amal dalam syariat. Bahwa dalam Islam ada konsep Ahkamul Khomsa yaitu hukum syara yang menjadi penilai suatu amal. Apakah bernilai pahala atau dosa.
Mereka juga tidak paham bahwa ada syarat amal supaya menjadi Ihsanul Amal yaitu amal terbaik yang akan diterima oleh Allah. Jika amal itu tidak memenuhi syaratnya maka tidak akan diterima di sisi Allah. Syarat itu adalah murni niat ikhlas karena Allah SWT dan ittiba' (mengikuti) panduan Rasulullah dalam beramal.
Karena tidak paham dengan konsep amal ini, pada akhirnya, mereka berangan-angan tentang pahala dan amal itu sendiri. Mereka berhusnudzon bahwa amalnya pasti di terima Allah karena Dia Maha Penerima taubat dan Maha Pengasih. Padahal sebenarnya mereka itu hanya lalai, malas bahkan melampaui batas mengejar dunia.
Al-Qur'an sudah mengingatkan mereka dalam ayat:
Ù„َÙŠْسَ بِØ£َÙ…َانِÙŠِّÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙ„َا Ø£َÙ…َانِÙŠِّ Ø£َÙ‡ْÙ„ِ الْÙƒِتَابِ ۗ Ù…َÙ†ْ ÙŠَعْÙ…َÙ„ْ سُوءًا ÙŠُجْزَ بِÙ‡ِ ÙˆَÙ„َا ÙŠَجِدْ Ù„َÙ‡ُ Ù…ِÙ†ْ دُونِ اللَّÙ‡ِ ÙˆَÙ„ِÙŠًّا ÙˆَÙ„َا Ù†َصِيرًا
(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. (QS. Annisa: 123)
Ayat ini menyebutkan dengan jelas bahwa pahala itu bukan karena angan-angan manusia. Setiap kejahatan, kelalaian dan kemalasan pasti akan mendapatkan balasannya.
Namun bukan berarti Allah tidak 'pengertian' dengan manusia. Allah justru jauh lebih mengetahui kondisi manusia. Sehingga Allah dengan tegas menyatakan bahwa kebaikan dan kejahatan itu akan mendapatkan balasan setimpal. Allah justru mengetahui dengan jelas mana amalan yang dilakukan dengan ilmu dan mana yang tidak.
Ilmu adalah kunci kehidupan. Dalam Islam, ilmu sebelum amal itu menjadi pedoman dasar kehidupan. Sebagaimana Al-Muhallab rahimahullah mengatakan:
"Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang didalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya" (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)
Mu’adz bin Jabal r.a. mengatakan:
"Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu." (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)
Dalam kitab Fathul Bari, Ibnul Munir rahimahullah berkata:
"Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan."
Begitu pentingnya ilmu sehingga menuntut ilmu di dalam Islam adalah kewajiban.
Ilmu akan menjadikan kita paham bahwa tiang agama dalam diri seseorang adalah sholat. Jika sholatnya terjaga maka kokohlah agamanya, namun sebaliknya, jika sholatnya kacau maka runtuhlah agamanya.
Selain itu, sholat adalah kunci surga. Sebagaimana sahabat Jabir r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Kunci surga adalah shalat, sedangkat kunci shalat adalah bersuci." (Al-Jami’u Ash-Shaghir, hal. 292)
Jadi, jika ada orang-orang yang berangan-angan bisa masuk surga dengan meninggalkan sholat itu adalah bukti keawaman yang hakiki. Semoga kita terhindar dari bencana kejahiliyahan ilmu.
Wallahu'alam bi showab
0 Komentar