Oleh: Wina Fatiya
Isu pawang hujan masih bergulir. Kini viral video wawancara sang 'Remote hujan' menceritakan dirinya.
Bagi kita yang percaya hal gaib namun tak sampai level tahayul atau khurafat, pasti geleng-geleng kepala mendengarnya.
Rara, sang pawang hujan yang dibayar ratusan juta untuk jasanya 'mengatur hujan' di Sirkuit Mandalika kemarin berkata bahwa Atas kuasa Tuhan, langit itu miliknya. Di langit terisi teman-temannya. Katanya langit itu adalah AC besar yang remotenya ada pada dirinya.
Rara telah bekerja selama 21 hari untuk mengamankan jalannya gelaran Moto GP dari curahan hujan. Namun remote Rara tidak berfungsi atau sedang rusak, karena nyatanya hujan tetap mengguyur. Bahkan gelaran sempat ditunda dan Rara si pawang hujan malah hujan-hujanan.
Padahal di dalam Qur'an surat Az-Zukhruf ayat 11, Allah SWT berfirman:
وَالَّذِيْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءًۢ بِقَدَرٍۚ فَاَنْشَرْنَا بِهٖ بَلْدَةً مَّيْتًا ۚ كَذٰلِكَ تُخْرَجُوْنَ
"Dan yang menurunkan air dari langit menurut ukuran (yang diperlukan) lalu dengan air itu Kami hidupkan negeri yang mati (tandus). Seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur)."
Mengangkat Isu Kearifan Lokal
Media-media mainstream merilis berita bahwa apa yang dilakukan oleh Rara dipuji oleh Dunia Internasional. Meskipun tidak jelas siapa tokoh dunia yang memuji kiprah Rara.
Ditambah banyak aksi yang sebenarnya berisi konten ejekan namun diabaikan. Sebut saja Fabio Quartararo yang dengan kocaknya menirukan gerakan Rara Sang pawang hujan. Namun narasi ini terus digulirkan atas nama citra kearifan lokal.
Para ahli ditampilkan di berbagai media untuk mendukung aksi Rara ini supaya dianggap sebagai upaya melestarikan warisan budaya Indonesia.
Di sisi lain, kita jadi bertanya-tanya benarkah kearifan lokal itu berpijak pada realitas empiris sosio kultural masyarakat atau sekedar spekulasi orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu?
Jernih Mendudukan Logika
Jika kita menggali definisi kearifan lokal akan kita temukan bahwa kearifan lokal itu berkaitan erat dengan wisdom (kebijaksanaan) bukan kepada ritual-ritual klenik yang menenggelamkan logika. Justru kearifan lokal itu substansinya adalah tata nilai, prinsip, cara pandang yang kaya dengan khasanah etika dan moral.
Sebagaimana yang diungkap oleh Ariani Christriyani dalam buku Islam dan Kearifan Budaya Lokal (2003):
'kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijkasana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat.'
KBBI mendefinisikan kearifan sebagai kebijaksanaan dan kecendekiaan.
Dengan demikian, kearifan lokal itu berkaitan dengan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat. Dia tumbuh dan berkembang secara terus-menerus mengikuti dinamika sosial.
Jadi jika saat ini, pandangan tahayul, khurafat dan klenik dianggap sebagai kearifan lokal, lantas nilai kearifannya sebelah mana?
Apakah ritual pawang hujan itu menggambarkan nilai kebijaksanaan tertentu?
Atau kendi nusantara sebagai simbol persatuan. Apakah benar kita akan bersatu karena ada kendi yang berisi air dan tanah dari 34 provinsi di Indonesia?
Apalagi ditambah pengakuan dari sang pawang hujan yang sangat tidak masuk akal. Dia menyibak alasan-alasan mistis dari dunia astral yang tak bisa dijangkau logika juga tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.
Jika demikian adanya, maka praktek klenik yang saat ini dibungkus dengan narasi kearifan lokal hanyalah tatakan kosong dari pemaksaan segelintir orang yang berkepentingan. Di samping itu juga membuktikan bahwa para petinggi negara saat ini menjalankan roda pemerintahannya bukan bersandar pada logika namun lebih cenderung kepada hal mistis yang sejatinya menyimpang dari Aqidah Islam.
Pentingnya Aqidah Melibatkan Akal
Islam tidak memusuhi budaya atau kearifan lokal yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Kearifan lokal ini justru akan lebih baik ketika diadaptasi dengan nilai Islam. Sayangnya, kolaborasi budaya dan nilai Islam ini selalu dipertentangkan bahkan diwarnai oleh hal-hal yang mencederai ajaran Islam itu.
Keyakinan terhadap adanya Allah SWT dicapai dengan metode intuisionisme yaitu mencapai kebenaran dan melihat realitas dengan intuisi (dzauq, wijdan, hati, perasaan terdalam).(iain-surakarta.ac.id, 24/02/2016)
Padahal jika merujuk kepada kitab Nidzomul Islam, Syekh Taqiyudin An-Nabhani, sudah dengan jelas memaparkan bahaya beriman sekedar dengan intuisi. Beliau memaparka:
'Memang benar, iman kepada adanya Pencipta Yang Maha Pengatur merupakan hal yang fitri pada setiap manusia. Hanya saja, iman yang fitri ini muncul dari perasaan yang berasal dari hati nurani belaka. Cara seperti ini bila dibiarkan begitu saja, tanpa dikaitkan dengan akal, sangatlah riskan akibatnya serta tidak dapat dipertahankan lama.
Dalam kenyataannya, perasaan tersebut sering menambah-nambah apa yang diimani, dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Bahkan ada yang mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang dianggap lumrah terhadap apa yang diimaninya.
Tanpa sadar, cara tersebut justru menjerumuskannya ke arah kekufuran dan kesesatan. Penyembahan berhala, khurafat (cerita bohong) dan ajaran kebathinan, tidak lain merupakan akibat kesalahan perasaan hati ini. Islam tidak membiarkan perasaan hati sebagai satu-satunya jalan menuju iman.
Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak menambah sifat-sifat Allah SWT dengan sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanan; atau memberinya kesempatan untuk mengkhayalkan penjelmaan-Nya dalam bentuk materi; atau beranggapan bahwa untuk mendekatkan diri kepada-Nya dapat ditempuh melalui penyembahan benda-benda, sehingga menjurus ke arah kekufuran, syirik, khurafat, dan imajinasi keliru yang senantiasa ditolak oleh iman yang lurus.
Karena itu, Islam menegaskan agar senantiasa menggunakan akal disamping adanya perasaan hati.
Islam mewajibkan setiap umatnya untuk menggunakan akal dalam beriman kepada Allah SWT, serta melarang bertaqlid dalam masalah akidah. Untuk itulah, Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah.'
Begitu gamblangnya alur untuk mewujudkan iman seteguh karang dalam kitab ini. Akal mutlak harus dilibatkan dalam semua hal yang diyakini, diucapkan, diperbuat bahkan disebarluaskan. Jika Aqidah sekedar melibatkan perasaan, maka kebohongan bisa dirasa-rasa sebagai kebenaran. Sebaliknya kebenaran akan bisa dirasa-rasa sebagai suatu kesalahan.
Dengan demikian penting bagi kita untuk selalu menggunakan akal termasuk dalam menghadapi narasi-narasi yang digelontorkan oleh musuh-musuh Islam. Itulah hakikat perang pemikiran yaitu beradu kekuatan pemikiran bukan perasaan.
Wallahu'alam bi showab
0 Komentar