Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Begitu mudahnya terjadi kemurtadan dan tidak ada sanksi tegas, membuat kaum murtadin begitu terbuka dan lancang menggugat ayat suci. Entah apa yang menghinggapi nurani rakyat dan penguasa, mungkinkah apatis? Fokus rakyat di negeri dengan Muslim terbesar kedua di dunia ini terpecah belah dengan beratnya beban kehidupan. Jangankan memikirkan orang lain dengan amar makruf nahi mungkar, memikirkan diri sendiri saja tak pernah tuntas.
Setelah minyak goreng langka, giliran stok berlimpah harga melambung tetap tak terbeli rakyat, menyusul wacana pajak akan dinaikkan 11 persen awal April, kesehatan, keamanan, pendidikan begitu mahal. Belum lagi mahalnya listrik, air dan yang terbaru, setelah mundurnya Softbank dari rencana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), Presiden Jokowi membuka peluang masyarakat bisa ikut mendanai proyek besar ini di Kalimantan Timur (crowd funding).
Benar-benar kaum Muslim diaduk tak beraturan. Tak ada penjagaan akidah. Orang berpindah agama justru dibuat booming di media sosial tanpa pernah memberitahu apa konsekwensinya orang murtad. Kapitalis yang keji justru menjadikan peristiwa keluar masuknya seseorang dari Islam sebagai komoditas. Media hanya peduli rating, wartawan terus mengulik kehidupan pribadi publik figur tersebut dengan judul-judul berita yang menarik.
Hingga terjadi pernikahan beda agama, seolah negeri Muslim ini merestui padahal jelas keharamannya. Dengan licik penguasa menempatkan ulama-ulama yang tak waras hanya untuk agar Islam diterima lebih modern. Tidak konservatif, kolot bahkan tidak Kaffah (menyeluruh). Lapang dada menerima nilai-nilai barat yang bertentangan dengan syariat. Padahal konsekwensi dari tindakan itu hanyalah neraka, namun dengan congkak kaum Muslim hari ini tetap menyangkal dan terus menerus memusuhi kelompok yang bukan dari kelompoknya.
Seharusnya negara bersikap tegas dan bukan hanya menghukum pelaku namun juga mengubah penempatan agama (Islam) dalam kehidupan masyarakat. Sebab faktanya sistem hari ini, sekuler. Yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Adakah buktinya? Yang sangat jelas sebagai buktinya kita bisa lihat dari pembiaran penista agama ini bertindak seenak hati, bahkan pernikahan agama tidak ditindak secara tegas. Maklum, hukum hari ini yang berlaku adalah hukum manusia, yang sarat kepentingan pribadi.
Negara wajib memberlakukan syariah Islam atas seluruh rakyat yang berkewarganegaraan Islam, baik Muslim maupun non Muslim tanpa kecuali. Mereka yang non Muslim dibiarkan memeluk akidah dan menjalankan ibadahnya di bawah peraturan umum. Orang-orang yang murtad dari Islam dijatuhkan hukum murtad jika mereka sendiri yang melakukan kemurtadan. Jika kedudukannya sebagai anak-anak orang murtad yang dilahirkan sebagai non Muslim, maka mereka diperlakukan sebagai non Muslim, sesuai dengan kondisi mereka selaku orang-orang musyrik atau ahli kitab.
Mengapa tindakan negara harus tegas, pertama karena hanya Islam satu-satunya agama yang diakui Allah SWT (QS Ali Imran: 19), sehingga negara sebagai kepemimpin umum penerap hukum syariat bagi seluruh umat di dunia harus memastikan setiap individu Muslim teguh dan istikamah dalam keyakinannya. Kedua, untuk menjaga nasab, harta dan darah individu Murtadin, sebab begitu ia tak mau kembali kepada Islam dalam waktu tertentu maka ia berhak untuk dibunuh. Jika menikah statusnya zina, jika memiliki anak ia tak berhak menjadi wali dan hartanya tak boleh diwariskan melainkan ditarik oleh negara kemudian masuk dalam pos umum dalam Baitul Mal.
Begitu pentingnya posisi negara penerap syariat, maka kita sejatinya tak cukup memiliki pemimpin yang tahu syariat saja namun enggan menerapkannya dalam kehidupan nyata. Bahkan masih mesra berpelukan dengan demokrasi yang asasnya jelas sekuler. Sistem yang menjamin kebebasan beragama, berperilaku, berpendapat dan memiliki. Akan bisa dipastikan penista agama akan terus bermunculan dalam berbagai bentuk dan cara.
Tidakkah kita ingin usia kita bermanfaat, tak hanya sekadar mengumpat ketika para penista agama itu berbusa-busa menghina Islam hingga bak tenggelam dalam comberan? Kita bisa berkaca bagaimana Abu Bakar Ra menyatakan perang bagi orang-orang murtad dan menolak membayar zakat setelah Rasulullah SAW wafat. Alasannya hanya satu, syariat wajib diberlakukan sepanjang hayat hingga dunia habis karena kiamat.
Maka, kita gaungkan penerapan syariat inilah solusi, mereka yang makar bahkan radikal adalah yang menolak syariat bahkan bak kerbau dicocok hidungnya masuk ke dalam jebakan para munafikun, demi kepentingan dunia rela menggadaikan akidah Islamnya dan berhadapan dengan saudara seakidah. Lebih keji lagi justru membuat framing seolah yang menyerukan solusi hakiki adalah musuh. Nauzubillah.
0 Komentar