Oleh: Wina Fatiya
Sesak rasanya membaca berita tentang seorang ibu yang tega menggorok ketiga anaknya di Brebes. Alasannya sungguh nelangsa. Dia tidak mau anak-anaknya merasakan penderitaan hidup seperti yang ia rasakan.
Sungguh tragis, anak-anak menjadi korban kerusakan mental orangtua akibat himpitan ekonomi dalam sistem kapitalisme. Inilah satu potret kerusakan manusia yang tak bisa dinafikan. Sebabnya sudah tentu karena penerapan sistem kapitalisme yang menyengsarakan hidup manusia.
Tak dipungkiri kapitalisme nyatanya melahirkan manusia-manusia awam yang cacat iman. Manusia yang pendek pemikiran dan gagap dengan ujian kehidupan. Mati seolah menjadi solusi atas penderitaan. Padahal sesudah matipun belum tentu merasakan kebahagiaan.
Kapitalisme juga sudah menciptakan atmosfer masyarakat yang apatis dan individualis. Kehidupan seolah berpusat hanya pada diri sendiri dan keluarga. Masing-masing berada dalam mode silent karena nyatanya kapitalisme mamaksa setiap orang hanya bisa bertahan untuk sekedar melangsungkan hidup bagi dirinya sendiri.
Yang paling kentara adalah kapitalisme sudah menggerus rasa kemanusiaan dan tanggungjawab penguasa. Tugas mulia sebagai pemimpin yang dipercaya mengurusi urusan rakyat, justru dijadikan lahan untuk memperkaya diri dan melebarkan pengaruh politik. Mereka terhanyut dalam pusaran nafsu kekuasaan dan kepentingan. Rakyat seolah hanya pemanis dalam sistem bernegara.
Sungguh ironis. Kehidupan porak-poranda karena kapitalisme. Manusia rusak dan tak lagi mampu menjajaki fitrahnya.
Seorang Ibu terkikis fitrah keibuannya karena desakan ekonomi yang memaksanya bekerja. Seorang ayah tak lagi mampu fokus pada pendidikan dan pembentukan karakter anak-anaknya karena sibuk mencari nafkah untuk sekedar menyambung hidup.
Seorang suami mengerdilkan ekspresi sayang dan perhatian kepada isteri begitupun sebaliknya. Padahal penguat bangunan pernikahan itu adalah saling jujur dengan dirinya sendiri juga jujur kepada pasangannya. Sudah lazimnya sesuatu yang dipendam dan tak menemukan saluran keluar pasti akan pecah bahkan meledak.
Itulah yang terjadi pada kebanyakan pasangan saat ini. Rumah tangga seolah akan harmonis ketika ditopang oleh ekonomi yang mumpuni. Kebahagiaan dan sakinah itu dianggap bersumber dari uang. Padahal sumber kebahagiaan itu bukanlah dari materi melainkan dari persepsi dan komunikasi.
Disinilah pentingnya negara menghadirkan edukasi yang benar tentang persepsi hidup yang hakiki. Negara wajib membina keimanan dan ketakwaan masyarakat supaya kriminalitas akibat kerusakan mental bisa diminimalisasi.
Imbas terbesar dari semrawutnya fitrah dan peran manusia dalam kehidupan adalah terabaikanya anak-anak dan generasi masa depan.
Anak-anak tak lagi ditempa sesuai fitrah penciptaannya. Mereka terpaksa merasakan dunia yang gersang dari nuansa iman. Mereka kering dari sentuhan kasih sayang.
Mereka dibiarkan tumbuh dan berkembang sesuai tren tontonan dan dinamika sosial. Media dan gadget sudah menjadi makanan sehari-hari yang lebih lahap dilakoninya dibanding makan nasi.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sudah memberikan informasi bahwa setiap anak itu punya fitrah bawaan dari pencipta-Nya. Lingkungannya-lah yang menjadikan anak tidak menjajaki hidup sesuai fitrahnha.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari Muslim)
Disinilah peran penting negara untuk turut hadir dalam periayahan anak. Karena lingkungan yang baik akan mewujudkan generasi yang cemerlang. Sebaliknya generasi amburadul lahir dari lingkungan yang buruk. Dan seburuk-buruknya lingkungan adalah kapitalisme saat ini.
Sudah saatnya kita hentikan sayatan luka yang diakibatkan oleh kapitalisme. Luka kehidupan yang membuat anak-anak menjadi korban.
Saatnya orangtua mendidik dan membentuk karakter anak yang Islami. Bukan hanya berjuang dalam skala individu dan keluarga, namun yang paling kuat adalah skala negara.
Sebagaimana firman-Nya:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu. Maka Kuberikan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman: 14-15).
Wallahu'alam bi showab
0 Komentar