Oleh: Ummu Rafasya Alfaiz
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan surat edaran (SE) terbaru terkait pelaksanaan kegiatan peribadatan di rumah ibadah. Menag meminta rumah ibadah memperketat prokes di tengah kembali melonjaknya kasus Covid-19 akibat adanya varian omikron.
Seruan serupa turut disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemuka agama. Aturan teranyar terkait kegiatan keagamaan diatur dalam Surat Edaran Nomor SE.04 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Kegiatan Peribadatan/Keagamaan di Tempat Ibadah pada Masa PPKM Level 3, Level 2, dan Level 1 Covid-19, Optimalisasi Posko Penanganan Covid-19 di Tingkat Desa dan Kelurahan, serta Penerapan Protokol Kesehatan 5M.
Ketentuan dalam SE tersebut hampir sama dengan surat edaran sebelumnya, yaitu SE.13 Tahun 2021. Hal yang membedakan adalah penentuan kapasitas rumah ibadah disamaratakan berdasarkan level PPKM.
Untuk wilayah PPKM Level 3, misalnya, jumlah jamaah dibatasi maksimal 50 persen dari kapasitas dan paling banyak 50 orang dengan menerapkan prokes secara lebih ketat. Dalam SE sebelumnya, kapasitas jamaah masih mempertimbangkan kriteria zonasi Covid-19 suatu wilayah.
Menag meminta pengurus dan pengelola tempat ibadah menyiapkan, menyosialisasikan, dan mensimulasikan penggunaan aplikasi PeduliLindungi. “Kami kembali terbitkan surat edaran untuk mencegah dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 yang saat ini mengalami peningkatan dengan munculnya varian omikron," kata Menag dalam keterangannya, Ahad (6/2).
Menurut Menag, edaran ini disampaikan untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat. Utamanya dalam melaksanakan kegiatan peribadatan dengan menerapkan protokol kesehatan 5M pada masa PPKM.
Prokes di berbagai tempat, tak kecuali di rumah ibadah, perlu terus ditegakkan seiring meningkatnya kasus Covid-19. Pada Ahad (6/2), kasus baru Covid-19 tercatat 36.057 kasus. DKI Jakarta menyumbang penambahan kasus tertinggi 15.825 kasus.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, positivity rate secara pekanan (30 Januari-6 Februari) meningkat menjadi 8,32 persen. "Hal ini selain seiring dengan kenaikan kasus konfirmasi, tapi juga sejalan dengan ditingkatkannya angka testing dan tracing," ujar Nadia, kemarin.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh meminta seluruh masyarakat untuk tidak abai terhadap prokes setiap menjalankan aktivitas sosial maupun keagamaan. Asrorun mengingatkan, prokes harus diterapkan pada saat masyarakat bekerja, berbelanja ataupun melaksanakan ibadah, seperti shalat Jumat dan shalat berjamaah.
Tabiat penguasa yang sepertinya tidak mau repot dalam mengayomi, menjadikan tanggung jawab yang diembannya hanya sebatas perhitungan untung dan rugi. Sektor-sektor yang dianggap bisa mematikan ekonomi dibiarkan berjalan walaupun keselamatan rakyat harus dikorbankan. Kebijakan yang cenderung tebang pilih menyisakan kecewa bagi rakyat kecil yang tidak berdaya.
Padahal, berlarutnya pandemi tidak bisa dilepaskan dari kelalaian penanganan wabah sejak awal. Pemerintah yang menolak menerapkan lockdown dengan alasan akan mengganggu perekonomian masyarakat, lebih memilih kebijakan seperti social distancing, PSBB dan taat prokes untuk mencegah penyebaran wabah.
Sementara di sisi lain berbagai kegiatan yang bisa memicu terjadinya kerumunan semisal tempat wisata, pusat perbelanjaan, dan pelayanan publik masih dibiarkan terbuka. Sehingga samar antara si-sehat dan si-sakit, akibatnya penularan pun tidak bisa dihindari.
Anehnya, yang justru dijadikan bidikan adalah hal-hal terkait peribadatan umat Islam. Masyarakat dihimbau untuk shalat di rumah saja, masjid-masjid ditutup, haji dibatalkan, shalat idul Adha ditiadakan bahkan penyembelihan hewan kurban pun serba tidak jelas pelaksanaanya. Karena kekhawatiran akan terjadinya penyebaran virus, pelaksanaan ibadah pun harus dikorbankan dan dihentikan untuk sementara waktu.
Andai sejak awal wabah ini ditangani dengan benar maka tidak akan terjadi pandemi yang berlarut-larut. Penanganan yang benar hanya akan dapat dijumpai dalam Islam. Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para khalifah sesudahnya yang lebih melakukan lockdown, memisahkan wilayah yang terdampak dengan yang aman dari wabah.
Disertai dengan jaminan kebutuhan yang ditanggung oleh negara sehingga masyarakat yang berada di daerah wabah bisa fokus sembuh dan ancaman penyebaran pun akan bisa tertangani.
Peran besar seorang penguasa dalam mengatasi wabah menjadi kunci dari segala permasalahan. Hal inilah yang dimiliki oleh para pemimpin di masa keemasan Islam. Mereka adalah sosok yang takut akan Rabbnya dan menyadari bahwa kedudukan mereka kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, sebagaimana hadis Rasulullah:
“Seorang budak adalah pemimpin bagi harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atasnya. Maka setiap dari kalian adalah adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR Abu Dawud).
Oleh karena itu, kembali pada Islam menjadi solusi yang tidak bisa ditawar lagi. Sistem Islam memposisikan penguasa sebagai pengurus urusan umat yang akan mengayomi serta memelihara seluruh kebutuhan, keselamatan bahkan nyawa rakyatnya. Dengan berpijak pada hukum syariat di seluruh aspek kehidupan, maka berbagai problematika pun akan terselesaikan. Demikian pula halnya ketika menghadapi wabah, penguasa akan mampu menyelesaikan dengan baik sesuai ajaran Islam.
Sekalipun negara harus mengambil tindakan darurat di tengah wabah, apa yang terjadi tidak akan serumit saat ini. Apalagi hingga harus mengorbankan kewajiban, mencegah umat dari melaksanakan ibadah.
Masyarakat juga akan lebih siap menghadapinya karena kondisinya aman terkendali. Mereka tidak berada dalam kondisi collaps dan terpuruk secara ekonomi karena seluruh kebutuhannya tercukupi, keamanan, kesehatan bahkan nyawa pun mendapat perhatian penuh dari negara.
Jadi kuncinya terletak pada sosok penguasa pengayom umat. Sehingga wajar permasalahan wabah mampu tertangani dan tersolusikan dalam sebuah sistem pemerintahan Islam. Tidakkah kita merindukannya? Semoga Allah menyegerakan pertolonganNya.
Wallahu a’lam Bishawwab
0 Komentar