Oleh: Yumna Umm Nusaybah
Member Revowriter London
Pernahkah merasa pernikahan kok datar dan begini-begini saja?
Atau hanya bersama dalam pernikahan demi anak-anak saja?
Atau sudah sekian lama menikah tapi kini sudah tidak lagi nyambung jika berkomunikasi?
Berkali-kali merasa suami/isteri tidak mengerti derita hati ini.
Merasa pasangan sudah berubah. Tidak lagi seperti saat pertama menikah.
Tidak lagi ada bahagia dan saling cinta. Yang ada hanya dua orang yang tinggal di bawah atap yang sama. Masing-masing disibukkan dengan perannya. Tapi tidak ada kepuasan batin di dalamnya.
Namun perceraian juga bukan pilihan. Tidak ada bahagia, rumahku bukan lagi surgaku.
Sungguh, banyak orang bertahan dalam pernikahan karena memang tidak ada pilihan. Ada yang tidak sanggup hidup menjanda. Apalagi janda beranak. Belum lagi usia sudah masuk kepala 4. Pikiran bahwa kita mah apah atuh. Sudah kisut. Turun mesin berkali kali. Yang perawan ting-ting aja susah cari pasangan. Lah gimana dengan janda yang membawa pasukan? Karir juga nggak punya. Mau cerai? Toh tidak ada jaminan kehidupan yang lebih baik di seberang sana (pasca cerai). Kalau nggak cerai, paling-paling kita harus makan hati aja dan menerima pernikahan yang begini-begini saja. Hari ini dengan pasangan seperti teman (forget about being lovers), esok tengkar. Hari ini senang dengan dia eh besok benci setengah mati. Hari ini bersyukur karena punya suami, besok malah iri dengan para jomblowati.
Sering nggak mendengar curhatan seperti ini? Kalau dituruti, dijamin para isteri akan punya daftar panjang kekurangan suami. Mulai dari yang kurang romantis, kurang senyum, kurang peka, kurang harta dan kurang pandai menyenangkan isterinya. Seolah si isteri tidak pernah dibuatnya bahagia. Demikian juga jika suami ditanya. Bisa jadi daftar kekurangan isteri tidak kalah panjangnya. Kurang cantik, kurang enak masakannya, kurang cerdas, kurang independen, kurang bersyukur dan kurang hormat pada suaminya.
Ibarat sebuah tol jalan raya. Keduanya berjalan ke arah yang sama. Namun masing-masing ada di jalurnya. Tidak lagi bersama. Tidak lagi seiring dan sejalan. Masing-masing ada di lini-nya. Bertahan disana. Kadang mendekat tapi tetap jaga jarak. Kadang saling bertegur sapa, melambaikan tangan untuk mengingatkan mereka masih bersama meski kenyataannya ada di jalur berbeda. Hanya arahnya saja yang sama. Lalu apa yang membedakan mereka dengan mobil lain dibelakangnya? mereka pun tetap bertahan demi menghindari tabrakan mematikan yang berakhir dengan perceraian. Karena korban dari tabrakan (perceraian) itu akan sangat banyak. Tidak hanya pasangan, tapi juga anak, kondisi keuangan, mental, pekerjaan, keluarga besar, birokrasi, Label janda dan duda, pandangan masyarakat sekitar, konsekuensi yang sangat besar dan menyakitkan.
Walhasil, banyak yang kemudian tetap berjalan beriringan namun memilih jalur berbeda. Sadar atau tidak sebenarnya kondisi ini tidak ideal. Bisa jadi masing-masing pasangan sampai ke tempat tujuan. Namun misi berkeluarga tidak akan terwujudkan. Pernikahan yang seharusnya mendatangkan sakinah tidak lagi indah.
Namun kembali ke Filsafah jalan raya. Siapa yang sebenarnya berperan memilih keluar jalur? Apakah kita dipaksa memilih? Atau sebenarnya kita punya andil menentukan? Ya... kita punya andil besar. Bisa jadi kondisi lingkungan memaksa kita tidak lagi sejalur namun sebisa mungkin pasangan harus mencoba kembali di jalur yang sama. Usaha itulah yang menunjukkan bahwa kita masih peduli. Jika ditekuni maka sedikit banyak akan membuahkan hasil. Karenanya, coba teliti apa saja kondisi yang memaksa pasangan mengubah jalur? Mungkinkah kita sendiri yang hilang fokus dan asyik dengan yang lain hingga melupakan siapa yang mengiringi langkah kita?
Seorang teman pernah berkata, “I am intrigued to see how the elderly couple where I work can be still deeply in love with their spouse”. Aku penasaran dengan pasangan yang sudah tua ditempatku bekerja. Kok bisa ya mereka masih nampak sangat saling mencintai sedalam dalamnya?
Aku terus juga mencari jawabannya. Kesimpulanku, karena mereka masih senada dan seirama. Jalur menjadi berbeda karena kerenggangan hubungan diantara keduanya. Penyebab kerenggangan itu diantaranya:
1. Berkurangnya waktu untuk pasangan (berduaan).
Saat pengantin baru, fokus ada pada masing-masing pasangan. Seiring lahirnya anak pertama, kedua dan seterusnya. Perhatian untuk anak mendominasi. Pasangan tidak lagi menjadi prioritas. Ada kesan dia tidak lagi penting. Dulu sering ngobrol sebelum tidur. Kini tidurpun tidak sekamar. Karena anak harus ditidurkan dan sang isteri lebih sering ketiduran bersama mereka karena kelelahan. Dulu sering makan berdua sambil bercanda. Sekarang lebih fokus bagaimana supaya anak selesai makan secepatnya dan dapur tidak porak poranda. Setiap mulai berbincang, anak berulah dan meminta perhatian. Fokus pecah. Akhirnya pasrah. Tidak lagi bisa kembali ke momentum awal. Obrolan tidak mengalir. Dialog ala kadarnya. Seringnya hanya tukar informasi. Bukan lagi obrolan penuh arti.
2. Berkurangnya waktu untuk diri sendiri.
Ibu baru yang di sibukkan dengan bayinya. Seringnya tidak lagi bisa merawat diri. Bahkan mandi pun harus ekstra cepat. Makan cuma bisa comot sana comot sini. Tidak pernah bisa tenang. Tidur terganggu setiap malam. Jangankan untuk memberi orang lain (pasangan) perhatian, untuk diri sendiripun, tidak ada ruang. Wajar kalau kadang pasangan merasa diabaikan. Padahal bukan maksudnya demikian.
3. Tuntutan kebutuhan yang meningkat.
Semakin lama usia pernikahan, semakin bertambah jumlah anak. Semakin banyak tanggung jawab. Kerepotan makin menyita. Tuntutan ekonomi melesat cepat. Pekerjaan semakin menumpuk. Tuntutan karir semakin menyibukkan. Tanggung jawab dakwah semakin berat. Waktu untuk satu sama lain (isteri/suami) semakin berkurang. Menjadikan hubungan suami isteri semakin renggang. Sang isteri fokus dengan tugasnya sebagai ibu. Suami sibuk mencari nafkah untuk memberi penghidupan yang layak. Hari-hari hanya di isi dengan menunaikan peran masing-masing. Jika tidak ada komunikasi maka salah satu pihak bisa jadi merasa menanggung beban lebih berat dibanding pasangannya. Muncul perasaan tidak puas. Ada anggapan pasangan tidak mengerti keluhan dan kesulitan kita. Sehari-hari cuma menuntut dan meminta
Lalu bagaimana solusi praktisnya?
- A. Jaga keharmonisan dengan menyisihkan waktu bersama. Jadwalkan tidur anak. Sebisa mungkin tidur di awal waktu. Jadi pasangan bisa menghabiskan waktu ngobrol berdua tanpa ada selingan. Mungkin bisa meminta teman, nenek, kakek, childminder untuk menjaga anak-anak saat kita menghabiskan waktu keluar berdua.
- B. Cari orang-orang terpercaya yang bisa membantu kita. Tetangga yang amanah. Kalau berduit bisa juga mempekerjakan khadimat supaya ada waktu senggang berdua. Atau sekedar mengisi energi untuk diri sendiri.
- C. Kelilingi dengan komunitas yang senada dan seirama. Baik dari sisi pemikiran maupun kebiasaan. Sehingga ada support emosi dari teman. Pilih teman yang mengajari positif dan tidak sebaliknya
- D. Kurangi kumpul-kumpul dengan sosialita atau komunitas yang mengajari saingan. Suka ngasih nasehat tanpa di minta. Bahkan yang suka membanding-bandingkan
- E. Jangan lupa extra self-care. Memberi waktu untuk diri sendiri mencari hal yang menyenangkan. Bisa dengan olah raga. Menyalurkan hobi lama (asal halal). Membaca. Menjahit. Memintal. Atau bahkan sekedar ‘me time’ untuk kontemplasi. Terpisah dari pasangan.
- F. Bangun hubungan bersama orang sekitar. Jika isteri hanya punya suami sebagai satu-satunya manusia yang isteri temui dalam keseharian, wajar jika suami akan merasa terhimpit. Bernafasnya suami saja bisa menjadi bahan pertengkaran. Karenanya isteri yang memiliki jaringan sosial luas (namun terbatas) biasanya akan lebih bahagia dan bisa respek pasangan.
- G. Temukan kerangka berfikir yang tepat untuk melihat positif sebuah hubungan. Beberapa hal itu diantaranya:
- Nikmati setiap saat yang ada. Mumpung bisa!
- Setiap kesulitan akan berlalu. Tidak akan selamanya kita ada di roda bagian bawah. Semua hanya perkara waktu saja.
- Fokus pada hal positif yang kita punya.
- Ingat alasan awal menikahi pasangan kita.
- Terima saja kenyataan bahwa intensitas hubungan bisa naik turun. Ibarat detak jantung. Ada selalu gelombang. Semuanya adalah sebuah kewajaran. Justru mengkhawatirkan jika tidak demikian.
- Cari humor dari beberapa peristiwa keseharian sehingga terasa ringan.
- Jangan lupa untuk having fun
- Tetap sambung silaturahmi sehingga beban terasa ringan
- Jangan lupa, cari bantuan jika masalah sudah terasa sangat berat dan tak tahu bagaimana menyelesaikannya.
Semoga tips ini sedikit membantu meringankan beban rumah tangga dan melekatkan kembali ikatan yang mulai renggang.
Teori memang mudah disampaikan. Praktiknya yang sulit di terapkan. Tapi menyadari adanya persoalan adalah langkah awal untuk mulai mencari penyelesaian. Jangan sampai hubungan pernikahan bagaikan detak jantung yang ‘flat’ alias datar. Karena jika demikian, jangan-jangan itu tanda akhir kematian sebuah ikatan.
0 Komentar