HARGA MINYAK GORENG, CABAI, DAN TELUR KIAN MENGKHAWATIRKAN


Oleh: Mugni Nurani

Harga minyak goreng, cabai, hingga telur kian mengalami kenaikan menjelang akhir tahun. Seperti yang di lansir dalam laman liputan.com. ketiga komoditas bahan pokok tersebut, diperkirakan akan terus merangkak naik hingga Januari 2022. Namun, masyarakat diminta untuk tidak terlalu khawatir karena harga-harga komoditas tersebut akan kembali turun pada kuartal I-22.

Dwi Andreas seorang peniliti Core Indonesia mengatakan bahwa saat ini harga-harga komoditas tersebut telah melewati batas harga psikologis. Harga cabai di tingkat konsumen telah menembus Rp. 100.000/kg. Harga minyak goreng curah sudah lebih dari Rp. 18.000/kg dan harga telur yang mencapai Rp.30.000/kg.

Andreas menjelaskan lebih lanjut bahwa kenaikan harga cabai tersebut dipicu oleh fenomen alam la nina yang membuat para petani banyak yang gagal panen. Sementara, permintaan di akhir tahun meningkat sehingga hukum ekonomi berlaku. Anrdreas menilai puncak kenaikan harga cabai akan berakhir di bulan Januari, kemudian di bulan Februari akan mulai turun dan harga cabai akan berangsur turun kembali. Beliau mengatakan, hal ini terjadi karena mulai akhir Januari petani akan mulai panen, jadi bulan Februari harga mulai turun.

Kenaikan harga minyak goreng terjadi karena meningkatnya permintaan kelapa sawit yang besar dari luar negeri. Hal ini menyebabkan para pelaku usaha memanfaatkan kenaikan harga komoditas untuk meraup keuntungan. Menurut Andrea, kenaikan harga telur pun menjadi hal yang wajar karena hingga bulan November lalu produksi telur sangat berlimpah dan harganya menjadi anjlok. Meksipun begitu harga telur pun akan mengalami penurunan ketika memasuki bulan Februari.

Dengan demikian, jika kita cermati kenaikan harga disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah tingkat permintaan, jumlah ketersediaan stok, dan kelancaran distribusi.

Faktor-faktor ini sesuai dengan konsep dari ilmu ekonomi. Seperti yang kita ketahui, sistem perkonomian saat ini berdasarkan sistem kapitalisme. Dimana dalam sistem ini, para pengusaha besarlah yang mengatur segalanya, dimulai dari sistem produksi, distribusi, hingga harga dan lainnya. Oleh karena itu, pemerintah kesulitan mengendalikan harga karena pemerintah tidak menguasai dan tidak memiliki peran total dalam pengendalian tata niaga negara.

Setiap kenaikan harga di tengah kondisi ekonomi yang sulit akan berdampak pada menurunnya kesejahteraan rakyat, apalagi di saat kondisi kesehatan di masa pandemi maka hal ini akan semakin memperburuk. Ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi kondisi seperti ini yang sebenarnya sudah berulang kali terjadi, disebabkan oleh tidak adanya kesungguhan pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan rakyat dan menghilangkan kesulitan rakyat.

Hal ini sangat berbanding terbalik dengan sistem Islam, yang mana dalam sistem Islam pemimpin dan pemerintahanlah yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap urusan dan kesejahteraan rakyat. Pemimpin dan pemerintah dalam Islam akan menjamin terjaganya stok pangan dan stabilnya harga pangan agar tidak memberatkan rakyat dengan cara menguasai dan meangatur sistem perekonomian negara dengan sebaik mungkin, dimulai dari produksi, distribusi, ketersediaan pangan, serta menjaga tata niaga dan lainnya.

Pemerintah Islam juga melarang penimbunan, riba, kegiatan tengkulak, kartel, dan sebagainya sehingga tidak akan ada pihak yang dirugikan. Meskipun demikian, pemerintah Islam tidak akan mengambil kebijakan penetapan harga, karena hal ini dilarang oleh Rasulullah SAW. Jika pemerintah Islam melakukan operasi pasar, maka hal ini dilakukan untuk pelayanan kepada masyarakat bukan bisnis. Pemerintah Islam akan menjaga dan menyediakan stok pangan yang cukup, sehingga masyarakat bisa membeli pangan dengan harga yang murah dan bisa menjual kembali dengan harga yang dapat dijangkau dan tidak memberatkan pembeli. Inilah yang akan dilakukan oleh pemerintah Islam.

Maka, sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam. Wallahu A'lam. [].

Posting Komentar

0 Komentar