POLEMIK UCAPAN NATAL MEMECAH BELAH UMAT ISLAM


Oleh: Kaffah Media

Setiap bulan Desember umat Islam disibukkan dengan polemik ucapan natal dan tahun baru. Padahal persoalannya sudah jelas. Hukum mengucapkan selamat natal telah jelas dibahas para ulama. Para ulama yang konsisten dengan sikap aqidah Islam telah mengharamkan umat Islam mengucapkan selamat natal dan tahun baru karena ucapan ini mengandung dimensi aqidah terhadap posisi Nabi Isa yang bertentangan dengan pernyataan Al-Qur'an, mengandung unsur pembenaran terhadap kebohongan sejarah dan terkait hukum tasabbuh bil kuffar yang diharamkan hukumnya bagi umat Islam.

Persoalannya harusnya sederhana terkait sikap toleransi. Padahal sikap toleransi tidak diartikan umat agama lain mengikuti ucapan dan ritual agama tertentu, tetapi toleransi itu memberikan kesempatan penganut agama lain beribadah sesuai keyakinan agamanya.

Ucapan yang bernuansa aqidah tentu tidak akan diucapkan oleh penganut agama tertentu terkait agama lain. Misalnya ucapan syahadatain Laa ilaaha illaLlah Muhammad Rasulullah tentu tidak akan diucapkan oleh penganut agama selain Islam, karena ucapan ini berdampak pada keyakinan. Demikian pula ucapan natal tidak akan diucapkan oleh seorang muslim jika ia memahami bahwa ucapan ini berdampak pada aqidah. Tentu ada masalah lain dalam konteks hukum Islam, yakni masalah hukum syara' mengucapkan ucapan bohong dan hukum syara' melakukkan tasyabbuh penganut agama lain.

Dalam konteks ini sayangnya umat Islam nampaknya tidak menyadari bahwa umat Islam tersibukkan berpolemik untuk urusan umat agama lain padahal umat agama lain tidak mempersoalkan masalah ini. Lebih disayangkan lagi bahwa umat Islam berpecah belah yang dibuat sendiri umat Islam.


HARAMNYA UCAPAN SELAMAT NATAL!

Dalam beberapa tahun terakhir, setiap memasuki bulan Desember, mencuat kembali perbedaan pendapat tentang ucapan Selamat Natal kepada kaum Kristiani. Ada yang menyatakan boleh. Yang lain mengatakan tidak boleh/haram. Pendapat yang râjih (benar) menurut al-Kitab, as-Sunnah dan qawl para ulama adalah tidak boleh alias haram.


Makna Ucapan Selamat

Dalam bahasa Arab, ucapan selamat adalah tahni’ah. Berasal dari kata hanna’a. Lawan dari kata ta’ziyah. Hani’a bihi artinya senang/bahagia atau gembira. Hanna’a artinya as’ada (membahagiakan).

Makna tahni’ah secara istilah tidak keluar dari makna bahasanya. Dalam istilah penggunaannya, tahni’ah juga mengandung makna at-tabrîk (memohonkan keberkahan) (Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah). Maksud dari at-tahni’ah adalah at-tawaddud wa izhhâr as-surûr (menunjukkan kasih sayang dan menampakkan kegembiraan) dengan apa yang diperoleh oleh orang lain (Syaikh Shalih Fauzan, Al-Mulakhash al-Fiqhiy, 1/280).

Dengan demikian ucapan selamat kepada seseorang maknanya adalah ikut serta dengan dia dalam kegembiraannya dan menampakkan kegembiraannya itu.


Makna Perayaan Natal

Makna Hari Raya Natal tentu harus dirujuk pada tuntunan agama Kristen dan kaum Kristiani. Di dalam Pesan Natal Bersama Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2019 dinyatakan, “Dengan penuh sukacita, kita merayakan pesta kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus, Raja Damai, yang datang untuk ‘merubuhkan tembok pemisah, yakni perseteruan (EF 2:14)’ yang memecah-belah umat manusia...

Demikian juga di dalam Pesan Natal Bersama PGI dan KWI tahun 2020 dinyatakan, “Natal adalah berita sukacita dan pewartaan cinta karena Juruselamat, Sang Raja Damai, Allah beserta kita, lahir di dunia...

Dengan demikian makna Perayaan Natal adalah perayaan atas kelahiran Tuhan Yesus Kristus di dunia. Tidak ada makna lain dari Perayaan Natal selain ini.


Haram Ucapan Selamat Natal

Dengan demikian ucapan Selamat Natal mengandung makna yaitu: harapan kesejahteraan dan keberuntungan untuk kaum Kristiani dengan kelahiran Tuhan Yesus Kristus; ikut bergembira dan senang atas kelahiran Tuhan Yesus Kristus; juga pengakuan dan keridhaan terhadap kelahiran Tuhan Yesus Kristus.

Padahal Allah SWT telah berfirman:

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا . لَّقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا
Mereka berkata, "Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak." Sungguh kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar (TQS Maryam [19]: 88-89).

Karena itu Allah SWT menegaskan kekafiran kaum Nasrani:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
Sungguh telah kafirlah orang-orang yang berkata, "Sungguh Allah itu adalah Al-Masih putra Maryam." (TQS al-Maidah [5]: 72).

لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِن لَّمْ يَنتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ . أَفَلَا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sungguh kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah salah seorang dari yang tiga. Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Lalu mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (TQS al-Maidah [5]: 73-74).

Pemberian ucapan Selamat Natal jelas bertentangan dengan ayat-ayat di atas. Yang seharusnya diserukan kepada mereka, sebagaimana dalam QS al-Maidah ayat 73-74 di atas, adalah agar mereka bertobat dan memohon ampunan kepada Allah SWT. Tentu saja hal itu dengan meninggalkan kekufuran mereka dan masuk Islam. Bukan malah memberikan ucapan selamat yang di dalamnya terkandung makna ikut bergembira serta pengakuan dan keridhaan terhadap kekufuran mereka.

Allah SWT telah memberitahukan (yang artinya): Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya (TQS az-Zumar: 7). Jika Allah murka dan tidak meridhai kekafiran seorang pun, maka kita pun tentu tidak boleh meridhai kekafiran mereka. Sebabnya, meridhai kekafiran orang lain berarti meridhai apa yang Allah tidak ridhai. Ini tidak boleh/haram.

Hari Raya Natal, sesuai ayat di atas, jelas merupakan hari raya keyakinan kufur dan perayaan kekafiran. Lalu bagaimana mungkin seorang Muslim yang berkeyakinan tauhid memberikan ucapan selamat atas perayaan kekafiran dan kesyirikan? Dari sini jelas bahwa ucapan Selamat Natal adalah haram dilakukan oleh seorang Muslim.

Di dalam ucapan Selamat Natal (termasuk ucapan Selamat Hari Raya kaum kafir lainnya) juga terdapat unsur tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan yang dilarang oleh Allah SWT (Lihat: QS al-Maidah [5]: 2). Tentu saja ini dilarang dalam Islam dan haram hukumnya.

Allah SWT pun berfirman:

وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
Orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu dan jika mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lewat (begitu saja) dengan menjaga kehormatan diri mereka (TQS al-Furqan [25]: 72).

Az-Zûr itu meliputi semua bentuk kebatilan. Yang terbesar adalah syirik dan mengagungkan sekutu Allah. Karena itu Imam Ibnu Katsir —mengutip Abu al-‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, adh-Dhahhak, ar-Rabi’ bin Anas dan lainnya—menyatakan bahwa az-zûr adalah hari raya kaum musyrik (Tafsir Ibnu Katsîr, III/1346).

Ibnu ‘Abbas ra., menjelaskan, makna yasyhadûna az-zûra adalah menyaksikan hari raya kaum musyrik, termasuk dalam konteks larangan ayat ini adalah mengikuti hari raya mereka.

Ayat ini melarang partisipasi dalam hari raya orang kafir; baik dorongan, persetujuan dan dukungan langsung ataupun tidak langsung. Di dalam ucapan selamat Hari Raya Natal jelas terkandung semua itu. Dari sini pun jelas bahwa ucapan selamat Hari Raya Natal adalah haram.

Ucapan Selamat Natal juga termasuk syiar agama mereka. Jika kita turut mengucapkannya, berarti kita menyerupai mereka. Padahal Rasul saw. tegas melarang yang demikian:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka (HR Abu Dawud dan Ahmad).


Ijmak Ulama

Keharaman mengucapkan Selamat Natal telah menjadi ijmak (disepakati) para ulama. Bahkan para ulama menyatakan, orang yang mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir layak dijatuhi hukuman ta’zîr. Imam Kamaluddin ad-Damiri (w. 808 H) di An-Najmu al-Wahhâj fî Syarhi al-Minhâj mengatakan, “Dijatuhi sanksi ta’zîr orang yang menyamai kaum kafir dalam hari raya mereka...dan orang yang berkata kepada dzimmi, ‘Ya Haj,’ juga orang yang memberikan selamat hari raya.

Imam Syihab Ahmad ar-Ramli asy-Syafii (w. 957 H), di dalam Hâsyiyah ar-Ramli ‘ala Asna al-Mathâlib, mengatakan, “Dijatuhi sanksi ta’zîr orang yang menyamai kaum kafir dalam hari raya mereka...juga orang yang memberikan selamat hari raya kepada mereka.

Hal yang sama juga dikatakan oleh al-Khathib asy-Syarbini (w/ 977 H) di dalam Mughni al-Muhtâj, Imam al-Qalyubi (w.1069 H) di dalam Hasyiyah al-Qalyûbî ‘alâ Syarhi al-Jalâl ‘alâ al-Minhâj, Syaikh Sulaiman al-Jamal (w. 1204 H) di dalam Hasyiyah al-Jamal ‘alâ Syarhi al-Minhâj, Syaikh Abdul Hamid asy-Syarwani di dalam Hasyiyah at-Tuhfah, al-‘allamah ‘Alawi bin Ahmad as-Saqaf (w. 1335 H) di dalam Tarsyîh al-Mustafîdin Hasyiyah Fathu al-Mu’în dan Syaikh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi di dalam Hasyiyah I’ânah ath-Thâlibîn ‘alâ Fathi al-Mu’în.


Menolak Syubhat

Memang ada sebagian yang membolehkan ucapan Selamat Natal kepada orang Nashrani yang tidak memerangi kaum Muslim. Mereka berdalil dengan QS al-Mumtahanah ayat 8, dengan menganggap itu bagian dari al-birr (kebaikan) yang disyariatkan di dalam ayat tersebut. Ini jelas keliru. Sebabnya, meski al-birr (kebaikan) bersifat umum dan dapat mencakup ucapan selamat, keumuman ini di-takhshîsh dengan larangan tasyabbuh bi al-kuffâr.

Begitu pula argumentasi dengan riwayat Anas bin Malik ra. yang berkata: Ada anak Yahudi yang sering melayani Nabi saw., lalu dia sakit. Nabi saw. pun menjenguk dia. Beliau duduk di dekat anak itu, lalu berkata, “Masuk Islamlah.” Anak itu melihat ke arah ayahnya di dekatnya. Ayahnya berkata, Taatilah Abul Qasim (Nabi saw). Anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi saw keluar dan berkata, “Segala pujian milik Allah yang telah menyelamatkan dia dari neraka.” (HR al-Bukhari).

Dalam hadis di atas, Nabi saw. mencontohkan untuk berbuat baik kepada non-Muslim. Karena itu, menurut mereka, mengucapkan Selamat Natal merupakan bagian perbuatan baik kepada kaum Nasrani, yang hukumnya juga boleh, selama tidak mengganggu akidah dan tidak mendukung keyakinan mereka tentang kebenaran peristiwa Natal.

Argumentasi dengan hadis di atas jelas tidak pada tempatnya. Justru di situ contoh perbuatan baik Nabi saw. adalah mengajak non-Muslim masuk Islam. Ini sejalan dengan apa yang dinyatakan di dalam QS al-Maidah ayat 73-74. Bukan malah mengucapkan Selamat Natal.

Namun demikian, kita tetap harus berbuat baik dan berlaku adil kepada non-Muslim, dalam muamalah, bertetangga dan interaksi lainnya yang memang dibolehkan syariah.

Dengan jelasnya hukum mengucapkan selamat natal seorang muslim, maka jelas oula hukum syara' atas seorang muslim yang mengucapkan selamat natal dan yang nenghindari ucapan selamat natal. Masing-masing ada dampak hukumnya dan akan dipertanggung jawabkan ucapan dan sikapnya di hadapan Allah. Tidak perlu lagi menjadi bahan perdebatan berulang dan berkepanjangan. WalLâh a’lam wa ahkam. [].

Posting Komentar

0 Komentar