[Catatan Hukum Advokasi Bela Ulama]
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum KPAU
Alhamdulillah pada Kamis 30 Desember 2012, Sekelompok advokat, akademisi dan aktivis se-Jabodetabek ikut menulis pernyataan bersama atas vonis Gus Nur dan Habib Bahar Bin Smith di Jakarta. Tokoh dan ulama yang hadir adalah: Dr. Eggi Sudjana Mastal, SH MSi (Ketua TPUA), Aziz Yanuar, SH MH (Pengacara Habib Bahar) Ust Eka Jaya (Ketua Pengurus DPP), Azam Khan, S.H. Humas TPAI), Novel Bamukmin, S.H. (PA 212), Ustadz Irwan Syaifullah (Dewan Pembina KPAU) dan beberapa lainnya.
Acara yang diselenggarakan oleh PKAD (Pusat Penelitian dan Analisis Data) juga akan diadakan di Surabaya. Hari ini (Jumat, 31 Desember 2012) pukul 13.00 WIB, sejumlah advokat, tokoh, ulama dan aktivis Jatim akan membacakan pernyataan bersama membela Gus Nur dan Habib Bahar. Subhanallah, bentuk penegasan ukhuwah Islamiyah dan saling membela.
Ada motif "balas dendam" dalam kasus yang menimpa Gus Nur dan Habib Bahar. Rezim tampak tidak senang lalu melakukan pemenjaraan Gusnur dan Habib Bahar. Bahkan ada dugaan ingin memenjarakannya lagi.
Sebuah kebijakan yang bertentangan dengan diri mereka sendiri, kapan ulama ditangkap? Sejak kapan dakwah dianggap kebencian dan permusuhan? Itulah pernyataan mereka, padahal faktanya berkebalikan.
Eggi Sudjana bersikukuh Gus Nur tak bisa ditahan. Saat mempertimbangkan putusan tersebut, hakim menolak permintaan jaksa untuk menahan Gusnur.
"Dalam mempertimbangkan putusan tersebut, majelis hakim menolak permintaan JPU untuk menahan Gusnur. Oleh karena itu, Kejaksaan Negeri Surabaya tidak berwenang menahan Gusnur dengan dalih untuk memaksakan putusan pengadilan. Ada dugaan kuat adanya oknum aparat kejaksaan yang telah melakukan PMH, ini merupakan pelanggaran hukum dan dapat dituntut," ujar Eggi saat menyampaikan pandangannya.
Eggi juga menyoroti bahwa Gusnur adalah bagian dari TPUA. Gusnur dalam struktur TPUA menjabat sebagai kepala divisi ulama. Karena itu, menurut Eggi, TPUA memiliki kewenangan penuh untuk membela Gusnur.
Sementara itu, dalam kasus Habib Bahar, Aziz Yanuar mengklaim Habib Bahar menjadi korban tindak pidana. Kasus diproses dengan cepat dan praktik pelaporan tidak biasa. Akan sangat berbeda jika pihak terlapor pro pemerintah.
"Pelepasan SPDP secepat kilat dan kasus Polda Metro Jaya langsung diserahkan ke Polda Jabar. Bagaimana prosesnya begitu cepat? Terkonfirmasi, Habib Bahar Bin Smith divonis!?" ujarnya retoris.
Dalam rapat selanjutnya, Ketua Umum DPP PEJABAT (Pengacara dan Pembela Rakyat) ini menegaskan komitmennya untuk membela Gusnur dan Habib Bahar.
"Pejabat DPP berpendapat, kasus Gusnur dan Habib Bahar tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kami mengajak seluruh umat Islam untuk bersuara membela," kata Ustad zieka, Ketua DPP.
Novel Bamukmin dari persaudaraan alumni 212 meminta agar kasus tersebut dihentikan. Novel menuntut agar rezim segera menghentikan kriminalisasi ulama.
"Kasus Gus Nur dan Habib Bahar terlalu mengada-ada. Umat Islam akan marah, maka kasus ini harus dihentikan," ujarnya.
Azam Khan juga mengatakan, bahwa bermuhasabah harus dilakukan di akhir tahun oleh penguasa daripada terus memenjarakan ulama.
“Di tahun yang baru, kita harus merenung dan mengoreksi perbuatan tahun sebelumnya. Jangan sampai malah heboh dengan berita kriminalisasi ulama,” kata Azzam.
Ustadz Irwan Syaifullah mengingatkan aparat bahwa menghukum ulama mengundang azab dari Allah ï·». Dikatakan bahwa negara harus selalu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah ï·». Jangan melakukan maksiat dengan bersikap zalim terhadap ulama.
“Bencana Semeru belum juga reda dan umat Islam dihebohkan dengan kabar kriminalisasi ulama. Wahai rezim, ketahuilah bahwa tindakan zalim kepada ulama mengundang azab Allah ï·»,” pungkasnya.
Penulis sendiri bertanya dan tidak bisa berhenti berpikir. Apa sebenarnya yang diinginkan rezim Jokowi? Ingin terus membangun narasi permusuhan dengan Ulama? Ingin terus membuat keributan di antara orang-orang? Apakah perlu agar terus menjabat sebagai kepala negara dengan mengadudomba internal negara dan memperluas penjajahan negeri luar ke negeri ini?
Ingin menyelamatkan pejabat korup? Ingin menutup kasus Harun Masiku? Korupsi Jiwasraya? Korupsi Asabri? Hutang bertambah? Menutup skandal bisnis PCR?
Jokowi bisa beragumen dan berdalih bahwa ini adalah proses hukum, yang merupakan hak prerogatif hakim dan jaksa dan melimpahkan segala urusannya pada mereka.
UU ITE awalnya diundangkan pada era SBY pada tahun 2008. Namun, undang-undang tersebut tidak menimbulkan kehebohan seperti saat ini. Dulu, SBY malu untuk melapor penghinaan untuk dirinya sendiri. Kini, banyak orang ditangkap dengan dalih menghina Jokowi dan meremehkan simbol negara. UU ITE, khususnya Pasal 28(2) tentang kebencian dan permusuhan berbasis SARA, telah menjadi alat represif.
Belum lagi, undang-undang (UU No. 1 Tahun 1946) yang tidak pernah diaktifkan sejak berdirinya Republik. Di era Soekarno, Soeharto, Habibi, Gus Dur, Megawati dan SBY, tidak ada yang ditangkap dengan dalih menyebarkan kebohongan. Kini, di era Jokowi, banyak aktivis yang ditangkap karena mengkritik pemerintah dengan tudingan menyebarkan hoaks.
Padahal, Habib Rizieq dipenjara karena ucapannya yang berkata bahwa dia sehat wal afiat. Di sisi lain, kebohongan Jokowi telah menimbulkan gejolak, gangguan, dan keamanan di seluruh wilayah NKRI.
Membohongi publik dengan mobil SMK. Berbohong tentang pembelian kembali Indosat. Berbohong tentang tidak berhutang. Berbohong tentang tidak berniat mengimpor. Berbohong tentang akan membuka banyak lapangan pekerjaan. Berbohong tentang penanganan banjir di Jakarta dan sebagainya.
Pak Jokowi, hentikan semua keributan ini sekarang. Perintahkan bawahan Anda, Kapolri, dan Kejaksaan Agung untuk tidak mengkriminalkan ulama. Bertaubatlah segera, negara ini terlalu lelah untuk dipimpin oleh narasi bohong yang membuat gaduh.
0 Komentar