ARUS MODERASI BERBAJU TOLERANSI, BAK MUSANG BERBULU DOMBA


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Bak Jamur tumbuh subur di musim penghujan, demikian pula pendapat tentang toleransi, bersliweran di jagad media sosial, dari mulai artis, politikus, buzzer, influenzer, hingga mereka yang berkompeten di bidang agama. Bukannya mencerahkan, malah suasana menjadi semakin membingungkan. Mana yang benar dan mana yang salah, tidak ada yang bisa menyimpulkan. Seperti apa yang disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Muhammad Cholil Nafis, di Twitter pribadinya, ia menyebut mengucapkan selamat Natal itu boleh sebab dalam konteks saling menghormati dan toleransi antar umat beragama.

Terlebih jika seseorang memiliki keluarga yang merupakan penganut nasrani ataupun pejabat yang memiliki rakyat beragama nasrani. Yang tidak boleh dilakukan seorang muslim adalah mengikuti upacara atau rangkaian kegiatan perayaan natal tersebut. Itu pula yang termaktub dalam fatwa MUI pada 7 Maret 1981 (Fajar.co.id,17/12/2021).

Demikian pula apa yang disampaikan oleh Bukhori Yusuf, Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS, bahwa tidak boleh ada paksaan bagi pihak yang mau mengucapkan atau pun tidak mengucapkan. “Moderasi beragama bukan moderasi agama, itu adalah dua hal yang berbeda. Moderasi agama berakibat pada berubahnya syariat, ajaran, atau keyakinan agama, sedangkan moderasi beragama adalah sikap moderat dalam berperilaku agama,”.

Legislator Dapil Jawa Tengah 1 itu menjelaskan ucapan Natal tidak bisa dipaksakan lantaran masing-masing pihak memiliki lingkungan dan pergaulan yang berbeda. Dengan begitu, tidak boleh ada pihak yang memaksa pihak lain mengucapkan natal ataupun menganggap mereka yang mengucapkannya telah keluar dari agama. (Fajar.co.id,19/12/2021).

Suasana makin membingungkan ketika viral beredar imbauan agar semua satuan kerja (satker) di Kanwil Kemenag Sulsel untuk memasang ucapan selamat Natal 2021 dan Tahun Baru 2022. "Dalam rangka menyambut Hari Raya Natal tahun 2021 dan Tahun Baru 2022, dengan ini diimbau kepada Saudara untuk memasang spanduk ucapan Selamat Natal tahun 2021 dan Tahun Baru 2022 pada satker masing-masing," kata surat edaran yang diteken Kepala Kanwil Kemenag Sulsel, Khaeroni.

Meskipun sejumlah ulama bertemu dengan Khaeroni untuk membahas pemasangan spanduk tersebut. Kemudian di media sosial muncul narasi jika hasil pertemuan itu menyepakati Kanwil Kemenag Sulsel membatalkan imbauan pemasangan spanduk ucapan Natal 2021 dan Tahun Baru 2022, nyatanya imbauan itu tetap berjalan.

Hal itu dikatakan oleh Staf Khusus Menteri Agama (Stafsus Menag) Bidang Toleransi, Terorisme, Radikalisme, dan Pesantren Nuruzzaman. "Kanwil Kementerian Agama Sulawesi Selatan tidak pernah mencabut surat edaran pemasangan spanduk ucapan Natal dan tahun baru," ujar Nuruzzaman dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (Republika.co.id,18/12/2021).

Alasannya karena Kemenag adalah instansi vertikal dan juga menjadi representasi dari negara. "Kementerian Agama adalah kementerian semua agama, bukan hanya kementerian satu agama. Kementerian Agama berkewajiban mengayomi, melayani, dan menjaga seluruh agama, termasuk merawat kerukunan umat beragama," ucap Nuruzzaman.


Mengayomi Bukan dengan Moderasi

Edaran spanduk ucapan natal bagi semua jajaran kemenag sulsel menuai protes masyarakat namun dianggap harus tetap dilanjutkan untuk menegaskan sikap pemerintah terhadap isu ucapan natal. Bahkan MUI dan parpol Islam pun nampak mendukung kebijakan ini dengan menyatakan tidak ada larangan tegas dari syariat untuk mengucapkan selamat.

Ini menegaskan makin masifnya kebijakan program moderasi dan membuktikan bahwa program moderasi nyata mendorong muslim meremehkan urusan prinsip agama bahkan yang berkaitan dengan akidah.

Jika benar kemenag selaku institusi pengayomi semua agama tentulah akan adil dalam bersikap, artinya tidak menjadikan moderasi sebagai jalan tengah. Sebab sama saja artinya kemenag yang dikepalai oleh seorang Muslim telah menjadikan agama dan pribadinya inferior di hadapan agama lain. Padahal apa salah pada Islam? Apa gunanya jika kita beriman pada Islam? Mengapa kita begitu takut dicap tidak toleransi hanya karena Islam berbeda dalam aturan, ajaran sekaligus simbolnya?

Moderasi jelas ide yang berbahaya, ia penjelmaan yang lain dari ide liberalisasi yang azasnya sekulerisme atau memisahkan agama dari kehidupan. Moderasi paham untuk menyenangkan barat, padahal kafir barat samasekali tidak luntur permusuhannya dengan kaum Muslim, dimanapun berada. Maka sungguh hina jika ada kaum Muslim menjadi corong moderasi hanya demi kebutuhan perut mereka. Apa yang hari ini menurut mereka baik, lihat saja kesudahan mereka tidak akan selamat dari kemurkaan Allah. Saking beraninya mereka menukar ayat-ayat Allah dengan harga yang murah.


Islam Agama Paripurna, Ciptakan Tolerasi bukan Ilusi

Nabi Muhammad saw. telah memerintahkan umatnya untuk selalu waspada agar tidak tergelincir dalam kesesatan dengan mengikuti keyakinan dan perilaku para penganut agama lain. Beliau antara lain bersabda:

Hari Kiamat tak akan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, apakah seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR Bukhari No. 7319).

Dalam pandangan Islam, Peringatan Natal adalah kebatilan/kebohongan. Alasannya, Peringatan Natal adalah peringatan atas kelahiran Nabi Isa as. sebagai salah satu oknum Tuhan. Jelas, majelis yang di dalamnya ada pengakuan bahwa Isa as. adalah anak Tuhan adalah majelis yang batil. Bahkan tidak hanya peribadatannya saja yang mengandung pengakuan, namun ucapan selamatpun sudah dianggap mengakui.

Tidak mungkin kita mengucapkan selamat kepada orang lain tanpa ada niatan mengakui, mendoakan dan mengharap kesematannya. Masalahnya, jika yang kita akui adalah keselamatan palsu, bahkan dalam Islam dijelaskan secara detil kepalsuannya masihkah kita terus mengucapkannya? Bukankah sama saja dengan mendorong diri sendiri ke dalam azab Allah yang pedih?

Azab Allah riil, sebagaimana ketika Allah memerintahkan malaikatnya untuk mencabut nyawa seseorang. Baik kafir maupun mukmin. Sepatutnya lah hal itu menjadi muhasabah bagi setiap Muslim yang mengaku Mukmin dan berharap surgaNya Allah untuk tidak mengadakan pilihan lain selain dari apa yang sudah ditetapkan Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Quran surat Al-Ahzab:36 yang artinya: "Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata."

Cukuplah jika Rasulullah saw. bersabda: "Sungguh setiap kaum mempunyai hari raya dan ini (Idul Adha dan Idul Fitri) adalah hari raya kita ."(HR al-Bukhari dan Muslim). Maka masih adakah hari raya yang lain yang perlu dirayakan oleh kaum Muslim, bahkan hingga berdandan menyerupai mereka?

Wallahu a' lam bish showab.

Posting Komentar

0 Komentar