Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Saat ini, Khilafah telah menjadi topik diskusi politik yang penting dan lazim didiskusikan ditengah-tengah umat. Kerinduan Umat yang sangat, pada penerapan syariat Islam secara kaffah telah menggerakkan keinginan Umat untuk mengetahui lebih detail tentang Khilafah.
Diantaranya, umat ingin mengetahui bagaimana mekanisme pencalonan Khalifah sejak pembatasan calon, verifikasi calon, pemilihan calon, hingga proses pembai'atan. Itu pada kondisi setelah Khilafah tegak berdiri.
Umat juga ingin mengetahui, bagaimana tata cara menegakkan khilafah atau membaiat Khalifah untuk yang pertama kali, sejak Khilafah terakhir diruntuhkan di Turki pada tahun 1924 M. Kejelasan atas rincian dan pandangan tentang Khilafah, akan mendorong kaum muslimin semakin bersemangat berjuang menegakkan Khilafah.
Baiklah, kita mulai pembahasan,...
Dari penelitian terhadap tatacara pencalonan Khulafaur Rasyidin, tampak jelas bahwa pembatasan jumlah calon itu benar-benar terjadi. Pada Peristiwa Saqifah Bani Saidah para calon itu adalah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah, dan Saad bin Ubadah; dan dicukupkan dengan keempatnya.
Akan tetapi, Umar dan Abu Ubaidah merasa tidak sepadan dengan Abu Bakar sehingga keduanya tidak mau bersaing dengan Abu Bakar. Lalu pencalonan secara praktis terjadi di antara Abu Bakar dan Saad bin Ubadah.
Kemudian Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi di Saqifah memilih Abu Bakar sebagai khalifah dan membaiatnya dengan baiat in‘iqâd. Pada hari berikutnya kaum Muslim membaiat Abu Bakar di Masjid dengan baiat taat.
Berikutnya Abu Bakar mencalonkan Umar dan tidak ada calon lainnya. Kemudian kaum Muslim membaiat Umar dengan baiat in‘iqâd, lalu dengan baiat taat.
Selanjutnya Umar mencalonkan enam orang dan membatasinya pada mereka. Di antara keenam orang itu dipilih satu orang sebagai khalifah. Kemudian Abdurrahman bin Auf berdiskusi dengan kelima calon yang lain dan akhirnya mereka membatasi calon pada dua orang, yaitu Ali dan Utsman.
Hal itu dilakukan setelah kelima calon yang lain itu menunjuk dirinya sebagai wakil. Setelah itu, Abdurrahman menggali pendapat masyarakat. Akhirnya, suara masyarakat menetapkan Utsman sebagai khalifah.
Adapun menyangkut Ali, tidak ada calon lain selain beliau untuk menduduki jabatan kekhilafahan. Lalu mayoritas kaum Muslim di Madinah dan Kufah membaiatnya dan jadilah ia sebagai khalifah keempat.
Karena dalam proses pembaiatan Utsman ra. telah terealisasi jangka waktu maksimal yang dibolehkan untuk memilih Khalifah, yaitu tiga hari dengan dua malamnya, demikian juga jumlah calon dibatasi sebanyak enam orang, kemudian setelah itu menjadi dua orang, maka berikut kami akan menjelaskan tatacara terjadinya peristiwa tersebut secara detil untuk mengambil faedah darinya :
1. Bahwa Umar wafat pada Ahad subuh awal bulan Muharam tahun 24 H sebagai akibat dari tikaman Abu Lu’lu’ah -semoga Allah melaknatnya. Umar tertikam dalam keadaan berdiri melaksanakan shalat di mihrab pada waktu fajar hari Rabu, yakni empat hari tersisa dari bulan Dzulhijjah tahun 23 H. Suhaib mengimami shalat jenazah untuk Umar seperti yang telah beliau wasiatkan kepadanya.
2. Bahwa Setelah selesai pemakaman jenazah Umar ra., Miqdad mengumpulkan Ahl asy-Syûrâ yang telah diwasiati Umar di suatu rumah. Abu Thalhah bertugas menjaga (mengisolasi) mereka. Lalu mereka berenam duduk bermusyawarah. Kemudian mereka mewakilkan kepada Abdurrahman bin Auf untuk memilih di antara mereka seorang khalifah dan mereka rela.
Abdurrahman mulai berdiskusi dengan enam calon di atas dan menanyai masing-masing : jika ia tidak menjadi khalifah, siapa dari calon yang lainnya yang ia pandang layak sebagai Khalifah? Jawaban mereka merujuk pada Ali dan Utsman.
Berikutnya Abdurrahman membatasi pencalonan pada dua orang (Ali dan Utsman) dari enam orang itu.
4. Bahwa Setelah itu Abdurrahman meminta pendapat masyarakat seperti yang sudah diketahui.
5. Bahwa Pada malam Rabu, yakni malam hari ketiga setelah wafatnya Umar pada hari Ahad, Abdurrahman pergi ke rumah putra saudarinya, Miswar bin Mukhrimah, dan dari sini saya menukil dari Al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Ibn Katsir sebagai berikut:
Pada malam yang pagi harinya merupakan hari keempat setelah wafatnya Umar, Abdurrahman datang ke rumah putra saudarinya, Miswar bin Mukhrimah, dan ia berkata, “Apakah engkau tidur, wahai Miswar?” Miswar menjawab, “Demi Allah aku tidak banyak tidur sejak tiga hari ini...” yakni tiga malam setelah wafatnya Umar pada hari Ahad subuh;
Artinya malam Senin, malam Selasa, dan malam Rabu. Lalu Abdurrahman berkata, “Pergilah engkau dan panggilkan Ali dan Utsman untukku.....” Kemudian Abdurrahman pergi keluar menuju masjid bersama Ali dan Utsman....Lalu ia menyeru orang-orang secara umum,.
“Ash-Shalâh jâmi‘ah (Mari kita shalat berjamaah).” Saat itu adalah waktu fajar hari Rabu. Kemudian Abdurrahman mengambil tangan Ali—semoga Allah meridhai dan memuliakan wajahnya.
Abdurrahman menanyai Ali tentang kesediaannya untuk dibaiat berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah Rasulullah serta berdasarkan tindakan (kebijakan) Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar sebelumnya.
Lalu Ali menjawabnya dengan jawaban yang sudah dikenal : berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah, iya, sedangkan berdasarkan tindakan (kebijakan) Abu Bakar dan Umar, maka Ali akan berijtihad sesuai dengan pendapatnya sendiri.
Abdurrahman pun melepaskan tangan Ali. Berikutnya Abdurrahman mengambil tangan Utsman dan menanyai Utsman dengan pertanyaan yang sama. Lalu Utsman menjawab “ Demi Allah , iya (bersedia).” Saat itu juga sempurnalah pembaiatan terhadap Utsman ra.
Suhaib mengimami shalat subuh dan shalat zuhur hari itu. Kemudian Utsman mengimami shalat ashar pada hari itu juga sebagai khalifah kaum Muslim.
Artinya, meskipun baiat in‘iqâd kepada Utsman dimulai ketika shalat subuh, kepemimpinan Suhaib belum berakhir kecuali setelah terjadi baiat ahl al-hall wa al-‘aqd di Madinah kepada Utsman yang selesai dilakukan menjelang shalat ashar. Ini karena para Sahabat berdesak-desakan untuk membaiat Utsman sampai setelah tengah hari dan menjelang shalat ashar.
Pembaiatan itu akhirnya selesai dilakukan menjelang shalat ashar. Dengan begitu, berakhirlah kepemimpinan Suhaib, dan Utsman memimpin shalat ashar dalam kapasitasnya sebagai khalifah kaum Muslim.
Penulis Al-Bidâyah wa an-Nihâyah (Ibn Katsir)
menjelaskan, mengapa Suhaib masih mengimami shalat zuhur, sementara sudah diketahui bahwa pembaiatan Utsman telah sempurna dilangsungkan pada waktu fajar. Ibn Katsir berkata:
_"....Orang-orang membaiat Utsman di Masjid, kemudian Utsman pergi ke Dâr asy-Syûrâ (yakni rumah tempat berkumpulnya Ahl asy-Syûrâ), lalu sisanya yang lain membaiat Utsman di tempat itu; seakan-akan pembaiatan itu baru sempurna setelah shalat zuhur. Suhaib pada hari itu mengimami shalat zuhur di Masjid Nabawi, sedangkan shalat pertama kali yang dipimpin oleh Khalifah Amirul Mukminin Utsman bersama kaum Muslim adalah shalat ashar...."_
Dalam hal ini terdapat perbedaan riwayat di seputar hari penikaman dan wafatnya Umar serta pembaiatan Utsman....Akan tetapi, kami akan menyebutkan riwayat yang lebih kuat di antara riwayat yang ada.
Atas dasar ini, beberapa perkara berikut wajib diambil sebagai ketentuan saat pencalonan khilafah setelah Khalifah sebelumnya lengser, baik karena meninggal dunia atau dicopot, yaitu:
*Pertama,* aktivitas di seputar pencalonan hendaknya dilakukan pada malam dan siang hari selama hari-hari yang telah ditentukan.
*Kedua,* Seleksi calon dari segi terpenuhinya syarat-syarat in‘iqâd. Hal ini dilakukan oleh Mahkamah Mazhalim.
*Ketiga,* Pembatasan jumlah calon yang memenuhi kelayakan dilakukan dua kali: (1) dibatasi sebanyak enam orang; (2) dibatasi menjadi dua orang. Pihak yang melakukan dua pembatasan ini adalah Majelis Umat dalam kapasitasnya sebagai wakil umat. Sebab, umat telah mendelegasikan pencalonan khalifah itu kepada Umar, lalu Umar menetapkan calon itu sebanyak enam orang.
Keenam orang itu kemudian mendelegasikan pencalonannya kepada Abdurrahman.
Setelah melalui diskusi, Abdurrahman kemudian membatasi pencalonan pada dua orang.
Rujukan semua ini, sebagaimana yang sudah jelas, adalah umat atau pihak yang mewakili umat.
*Keempat,* Wewenang amir sementara berakhir dengan berakhirnya proses pembaiatan dan pengangkatan khalifah, bukan dengan pengumuman hasil pemilihan khalifah. Sebab, kepemimpinan Suhaini belum berakhir dengan terpilihnya Utsman, tetapi berakhir dengan sempurnanya pembaiatan Utsman. Sesuai dengan yang sudah dijelaskan, akan dikeluarkan undang-undang yang menentukan tatacara pemilihan khalifah selama tiga hari tiga malam.
Undang-undang untuk itu telah dibuat dan akan selesai didiskusikan serta akan diadopsi pada
waktunya nanti, dengan izin Allah.
Ketentuan di atas berlaku pada saat ada Khalifah, yang kemudian meninggal atau dicopot, dan hendak diangkat khalifah baru untuk menggantikan posisinya.
Adapun jika sebelumnya memang belum terdapat khalifah, maka wajib bagi kaum Muslim mengangkat seorang khalifah bagi mereka untuk menerapkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Demikian sebagaimana kondisi saat ini sejak lenyapnya Khilafah Islamiyah di Istanbul pada tanggal 28 Rajab 1342 H, bertepatan dengan tanggal 3 Maret 1924 M.
Karena itu, setiap negeri dari berbagai negeri yang ada di Dunia Islam saat ini berhak untuk membaiat seorang khalifah sehingga dengan itu terwujud Khilafah. Jika suatu wilayah di manapun dari berbagai wilayah di Dunia Islam ini telah membaiat seorang khalifah, dan akad Kekhilafahan telah terwujud padanya, maka menjadi kewajiban bagi kaum Muslim di berbagai wilayah lainnya untuk membaiatnya dengan baiat taat atau baiat inqiyâd (baiat kepatuhan).
Ini berlaku setelah terwujud akad kekhilafahan pada khalifah yang baru tersebut dengan baiat penduduk di negerinya, asalkan negeri itu memenuhi empat syarat berikut :
*Pertama,* Kekuasaan negeri itu merupakan kekuasaan yang hakiki (bersifat independen), yang hanya bersandar kepada kaum Muslim saja, dan tidak bersandar pada suatu negara kafir atau suatu kekuasaan kafir manapun.
*Kedua,* Keamanan kaum Muslim di negeri itu adalah kemanan Islam, bukan keamanan kufur. Artinya, perlindungan negeri itu, baik keamanan dalam negeri maupun luar negerinya, merupakan perlindungan Islam, yakni berasal dari kekuatan kaum Muslim—yang dipandang sebagai kekuatan Islam—saja.
*Ketiga,* Negeri itu mengawali secara langsung penerapan Islam secara total, revolusioner (sekaligus), dan menyeluruh, serta langsung mengemban dakwah islamiyah.
*Keempat,* Khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat-syarat in‘iqâd kekhilafahan meskipun tidak memenuhi syarat afdhaliyah, karena yang wajib adalah syarat in‘iqâd.
Jika negeri itu telah memenuhi keempat hal di atas, maka hanya dengan baiat negeri itu saja Khilafah sesungguhnya telah terwujud dan akad kekhilafan telah terjadi. Dalam hal ini, Khalifah yang telah mereka baiat dengan baiat in‘iqâd secara sah merupakan khalifah yang sesuai dengan syariah sehingga pembaiatan kepada yang lain setelah itu, menjadi tidak sah.
Dengan demikian, negeri lain manapun yang membaiat seorang khalifah lain setelah itu adalah batil dan tidak sah, karena Rasulullah saw. pernah bersabda:
"Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya." (HR Muslim).
"…..Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja." (HR Muslim).
"Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah, lalu ia telah memberinya genggaman tangannya dan buah hatinya, hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang itu." (HR Muslim).
Demikianlah, semoga negeri ini diberkahi Allah SWT, dan menjadi 'Madinah Kedua' dimana Daulah Khilafah bermula kembali dari negeri ini dan akan menyatukan seluruh negeri kaum muslimin di diberbagai penjuru dunia. Sesungguhnya, yang demikian itu sangat mudah bagi Allah SWT. [].
Nb.Tulisan ini disarikan dari Kitab Struktur Daulah Khilafah yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir.
0 Komentar