PARTAI DEMOKRAT MELAWAN?


[Catatan Politik Atas Manuver Politik Yang Dilakukan Ketua Umum Partai Demokrat]

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Pada tanggal 1 Februari 2021 Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengeluarkan Pernyataan Pers. Ada 3 (tiga) pernyataan yang disampaikan. Namun, pernyataan pertama dan kedua mengenai sejumlah bencana dan kondisi pandemi, hanyalah prolog dan bukan substansi informasi yang ingin dikomunikasikan kepada publik.

Substansi utama tentang sejumlah informasi politik yang dipilih, diseleksi, dan sengaja disampaikan kepada publik adalah soal adanya 'Rencana Kudeta Partai Demokrat'. Substansi informasi inilah, yang membuat tensi politik menghangat.

Hanya saja, belum ada prasyarat yang bisa meningkatkan tensi politik, hingga memanas dan menimbulkan pergolakan politik nasional. Setidaknya, hingga tulisan ini dibuat.

Nilai strategis isu politik yang dikomunikasikan kepada publik, bukan terletak pada adanya Gabungan dari pelaku gerakan ini yakni 5 (lima) orang; terdiri dari 1 kader Demokrat aktif, 1 kader yang sudah 6 tahun tidak aktif, 1 mantan kader yang sudah 9 tahun diberhentikan dengan tidak hormat dari partai, karena menjalani hukuman akibat korupsi, dan 1 mantan kader yang telah keluar dari partai 3 tahun yang lalu.

Soal konflik internal partai, baik yang terjadi di dalam Partai Demokrat atau partai lainnya adalah perkara yang lazim. Friksi internal partai demokrat ini, juga sudah menyeruak ke publik sejak beberapa waktu lalu, khususnya pasca ditetapkannya AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Namun, yang menjadikan Pernyataan Pers Ketum Demokrat ini menghangatkan tensi politik adalah soal statemen gerakan 'Kudeta Politik Partai Demokrat' tersebut sudah mendapatkan dukungan dari sejumlah menteri dan pejabat penting di pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Untuk memahami lebih lanjut latar belakang dan tujuan dibalik manuver Politik AHY ini, penting untuk diperhatikan beberapa realitas politik dan beberapa prediksi keadaan yang berpotensi terjadi, sebagai berikut :

Pertama, siapapun yang mengindera secara seksama, bahwa sejak mula pemerintahan Jokowi yang ditopang PDIP telah menerapkan strategi politik kombinasi, yakni penguatan elektabilitas partai dengan dukungan kekuasaan dan penggembosan rival politik partai baik untuk tujuan mematikan rival politik atau paling tidak menjatuhkan elektabilitas partai politik lawan, melalui instrumen kekuasaan yang dimiliki.

Adapun strategi pertama, yakni penguatan elektabilitas partai dengan dukungan kekuasaan adalah strategi yang umum dilakukan partai pemenang atau penguasa incumbent. SBY, pada periode pertama menjadi Presiden telah mengoptimasi kekuasaan yang ada dalam kendalinya untuk meningkatkan elektabilitas partai Demokrat dan pribadi SBY.

Terlepas ada strategi politik lain yang mendampingi, namun strategi penguatan elektabilitas partai dengan dukungan kekuasaan telah berhasil meningkatkan elektabilitas Partai Demokrat dan SBY.

Pada Pemilu 2004 Partai Demokrat mendapatkan 8,455,225 suara, berada di urutan kelima, dengan raihan 7.45% suara dan mendapatkan 55 kursi anggota DPR RI. Pada Pemilu 2009 perolehan suara Partai Demokrat naik signifikan, yakni meraup 21,703,137 suara, dengan Persentase 20.85% dan mendapatkan 150 Kursi anggota DPR RI. Kenaikan yang luar biasa, dan hal ini tidak terlepas dari kebijakan optimasi kekuasaan untuk meningkatkan elektabilitas partai.

Dalam Pilpres, SBY juga mengalami kenaikan suara yang signifikan. Pada Pilpres 2009, SBY yang didampingi Boediman meraup 73.874.562 32.548.105 suara, dengan Persentase 60,8%. Padahal, ada tiga pasangan Capres Cawapres. Sementara, pada Pilpres 2004, harus dua kali putaran dimana pada tahap pertama SBY hanya mendapatkan 39.838.184 suara (33,57%), baru dalam tahap kedua, SBY mendapatkan suara 69.266.350 suara dengan Persentase 60,62%.

Strategi pertama ini juga dilakukan oleh Jokowi dan PDIP. Namun, walaupun menang akan tetapi tak memperoleh suara yang signifikan seperti yang diperoleh Partai Demokrat dan SBY. Strategi ini, juga umum dilakukan semua incumbet dalam mempertahankan kekuasaan dalam ajang Pilkada (yakni strategi optimalisasi kekuasaan untuk meningkatkan elektabilitas).

Namun, di era Jokowi dan PDIP berkuasa, selain menerapkan strategi untuk meningkatkan elektabilitas, Jokowi dan PDIP juga terlihat mengenakan strategi penggembosan rival politik partai baik untuk tujuan mematikan rival politik atau paling tidak menjatuhkan elektabilitas partai politik lawan, melalui kekuasaan yang dimiliki.

Strategi kedua ini, nampak di terapkan oleh PDIP terhadap Partai Golkar, PPP, dan PAN. untuk PKB dan Nasdem, tidak tersasar strategi ini karena sejak awal telah dianggap mau berhimpun dalam koalisi rezim.

Golkar dikerjai saat era Aburizal Bakrie, namun Golkar segera sadar dan mengambil manuver politik 'Taking Benefit' dari situasi. Golkar merapat pada kekuasaan, dan berhasil mendapat bagian kue politik yang paling legit, bahkan ketimbang jatah PDIP dalam kapasitas sebagai partai penguasa.

PPP dikerjai saat kubu Suryadharma dikudeta Rohmahurmuzy (Romi). Selanjutnya, Romi membawa gerbong PPP mendukung penuh rezim Jokowi.

PAN dikerjai melalui kasus Ketum PAN dan akhirnya menghasilkan Kongres yang tak sedap. Zulkifli Hasan menjadi Ketum dengan meninggalkan luka kepada Amien Rais, dan akhirnya Amien Rais meninggalkan partai yang didirikannya, dan membentuk partai baru (Partai Umat).

Strategi kedua ini ditempuh cukup sederhana. Pertama, memanfaatkan otoritas Kemenkum HAM (yang dikendalikan oleh Yasona Laoly, kader PDIP), yakni hanya menerbitkan SK Kemenkum HAM bagi Pengurus Partai faksi politik yang mendukung rezim. Strategi inilah, yang mampu memaksa Aburizal Bakrie islah dengan Agung Laksono. Karena Ical paham (Sapaan Aburizal Bakrie), yang sah dan legal ikut PEMILU bukanlah partai hasil kongres sebagaimana diatur AD ART, tetapi kubu partai yang mendapatkan SK Kemenkum HAM.

Kedua, strategi kriminalisasi tokoh partai berpengaruh, agar berada di barisan rezim. Jika tidak, kasusnya dibongkar. Strategi ini, diterapkan pada kasus PAN hingga dukungan terhadap Zulkifli Hasan memenangi Kongres PAN dan menjadikannya kembali menduduki jabatan Ketum PAN.

Partai Demokrat mampu mengantisipasi potensi kriminalisasi dengan menempatkan AHY dan bukan Ibas (Edhie Baskoro Yudhoyono) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Sebab, AHY belum pernah menduduki jabatan kekuasaan sebelumnya, jadi relatif lebih bersih ketimbang Ibas. Ibas sendiri, pernah disebut oleh Nazaruddin terlibat pada sejumlah kasus Korupsi.

Namun, Partai Demokrat sadar tidak menutup kemungkinan akan ada strategi membelah Partai Demokrat seperti yang terjadi pada Partai Golkar. Jika manuver 'Kudeta Partai Demokrat' tidak segera diantisipasi, ada Kongres Luar Biasa Partai Demokrat, terlepas tidak sesuai AD ART namun didukung rezim Jokowi, mendapatkan SK Kemenkum HAM yang ini merupakan tiket untuk ikut Pemilu 2024, maka AHY dan trah politik SBY bisa gigit jari.

Jadi, manuver politik AHY melalui Pernyataan Pers yang dikeluarkannya adalah semacam tindakan antisipasi, yang memberi pesan kepada lawan bahwa dirinya paham strategi lawan, dan berusaha mencari dukungan publik, sekaligus mengisolasi dan menghilangkan pengaruh anggota yang membelot baik dari internal struktur partai maupun dari publik.

Kedua, Partai Demokrat memahami bahwa publik Indonesia adalah publik yang melankolis, mudah memberikan dukungan dan pembelaan pada pihak yang dizalimi. Strategi ini pernah diadopsi SBY, untuk mengalahkan Megawati dalam Pilpres 2004. SBY, mengkapitalisasi pengunduran dirinya dari kabinet Megawati, sekaligus memasarkan narasi 'Terzalimi', sebagai salah satu cara untuk meningkatkan elektabilitas SBY dan Demokrat.

Narasi 'dikerjai rezim Jokowi' melalui komunikasi politik adanya 'kudeta politik partai yang didukung penguasa' satu sisi bisa menjadi langkah antisipasi kudeta, sisi lain juga merupakan langkah politik untuk meningkatkan elektabilitas partai dengan mengeksploitasi kezaliman yang dialami Demokrat (playing vuctim).

Demokrat juga sadar, saat ini publik rakyat Indonesia merasa jengah dengan kepemimpinan rezim Jokowi. Siapapun partai yang kontra rezim, akan didukung rakyat dan otomatis elektabilitasnya meningkat.

Pasca merapatnya Gerindra ke kubu Jokowi, demokrat tak khawatir jika melakukan manuver perlawanan suara rakyat akan merapat ke partai Gerindra. Saat ini, Gerindra telah dianggap bagian dari rezim, dan sebagai partai yang memiliki platform tak jauh dari Gerindra, besar kemungkinan pemilih yang kecewa kepada Gerindra akan mengalihkan suaranya kepada Partai Demokrat.

Ketiga, Demokrat nampaknya ingin memproklamirkan AHY dalam kapasitas pribadinya yang lepas dari bayang-bayang SBY. Dalam keterangan persnya, AHY lebih menampakkan jatidiri dan karakter pribadinya, terutama dengan latar belakang perwira militer, dan nyaris tak lagi membawa nama besar SBY, selaku ayahnya.

Komunikasi yang disampaikan demokrat ini ingin meyakinkan publik, bahwa Demokrat adalah partai kader, partai modern, bukan partai SBY. Kepemilikan AHY adalah kepemimpinan berdasarkan kapasitas dan elektabilitas, bukan karena faktor trah SBY.

Keempat, pernyataan yang dikomunikasikan AHY dalam pernyataannya nampaknya tidak langsung menohok istana, tapi ingin mencongkel sejumlah 'oknum' di lingkaran istana agar tidak main main dengan partai demokrat. Meskipun demikian, pernyataan ini juga bisa disimpulkan sebagai pesan kepada istana dan PDIP, agar tidak melanjutkan langkah seperti yang pernah ditempuh terhadap Golkar maupun PAN.

Pada akhirnya, respons terhadap persoalan ini telah mengindividualisasi perkara kepada sosok Moeldoko. Yang dianggap 'berambisi nyapres' menggunakan kendaraan partai demokrat.

Belum diketahui, apakah kasus ini akan berhenti pada Moeldoko, atau Moeldoko dikorbankan, atau terjadi seteru politik Antara Partai Demokrat dengan PDIP, melanjutkan perseteruan Megawati - SBY. Sebagaimana diawal saya kemukakan, manuver politik ini hanya mampu menghangatkan tensi politik, belum dapat memanaskan dan apalagi menimbulkan pergolakan politik nasional.

Situasi kedepan, masih akan sangat dinamis. Yang jelas, sikap terbuka Demokrat ini menjadi babak baru perlawanan politik AHY selaku Ketum Demokrat. Satu manuver, yang sebelumnya tidak pernah ditempuh oleh SBY. SBY, terkenal dengan politik terpendam, mendua sikapnya, dan lebih memilih memendam sejumlah rasa didalam dada ketimbang meluapkannya kepada publik. [].

Posting Komentar

0 Komentar