DINAMIKA PENGELOLAAN DAN KEPEMILIKAN TANAH DI INDONESIA PASCA DISAHKAN UU OMNIBUS LAW


[Catatan Diskusi eLSEI bekerjasama PKAD]

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Sejak awal pembahasan, penulis konsisten menyebut UU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai UU Omnibus Law Cipta Investasi. Karena, substansi norma dalam Undang Nomor 11 Tahun 2020 ini lebih berpihak pada investor, bukan pada pekerja. Bahkan, penulis menyebut UU ini dengan sebutan UU Omnibus Law Cipta Penindasan Rakyat.

Sebab, jika didalami keseluruhan norma dalam 1.187 halaman yang merupakan review terhadap 79 atau 81 UU, sejatinya hanya melapangkan penghisapan darah rakyat oleh kaum kapitalis menggunakan sarana kekuasaan negara (UU).

UU ini mengkonfirmasi adanya revolusi kapitalisme liberal yang menjadi lebih ekstrim. Jika sebelumnya, Negara dalam konsep Laissez-faire hanya bertindak sebagai penjaga malam. Tak boleh intervensi terhadap pasar. Melalui UU ini, Negara secara aktif telah menjadi buruh (baca : budak) para investor, untuk mengintervensi rakyat dalam rangka menyiapkan lahan (tanah) untuk melayani kepentingan bisnis para kapitalis.

Undang-undang yang disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 oleh DPR RI dan diundangkan pada 2 November 2020 lalu ini, sejatinya dibuat dalam perspektif untuk melayani para investor, para kapitalis, berdalih untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing dan dalam negeri dengan mengurangi persyaratan peraturan untuk izin usaha dan pembebasan tanah.

Dalam kluster pertanahan, pembentukan Bank Tanah sejatinya hendak mengakumulasi modal (tanah) pada Bank Tanah, dan menyerahkan penggunaan atau pemanfaatan tanah kepada para kapitalis dengan istilah yang seolah berpihak kepada publik. Nomenklatur 'Percepatan Pembangunan Nasional' atau apa yang disebut sebagai 'Proyek Strategis Nasional' sejatinya adalah proyek swasta, proyek para kapitalis, yang ingin dilayani Negara dalam pengadaan lahan untuk tujuan bisnis mereka.

Jika sebelumnya, swasta harus bernegosiasi langsung kepada rakyat pemilik tanah untuk menjalankan usahanya, melalui UU ini para kapitalis telah menjadikan negara sebagai 'Calo sekaligus Buruh' untuk mengadakan lahan dalam rangka melayani kepentingan bisnis mereka.

Ambil contoh proyek real estate atau pendirian pabrik dalam Kawasan Ekonomi Khusus. Sebelumnya, para pengembang real estate harus membebaskan lahan dengan pemilik tanah dengan nomenklatur jual beli. Pelepasan lahan harus secara suka rela, tanpa paksaan, dan dengan harga pasar atau harga yang disepakati.

Melalui UU Omnibus Law ini, para pengembang bisa mendompleng nomenklatur 'Proyek Strategis Nasional' kemudian mengajukan rencana peta tapak kepada Negara, meminta Negara membebaskan lahan untuk kepentingan bisnis mereka. Negara, berdalih menjalankan proyek strategis nasional, atau dalih demi kepentingan umum, menerapkan suatu kawasan sebagai daerah terdampak proyek, dan memaksa setiap individu tanah yang berhak untuk melepaskan haknya dengan hanya memperoleh kompensasi ganti rugi. Bukan harga pasar.

Lebih jauh, dalam kluster pertanahan yang merevisi UU No. 2 Tahun 2012, telah menetapkan nilai ganti rugi secara sepihak melalui keputusan tim aprasial yang sifatnya final dan mengikat.

Misalnya, Dalam ketentuan Pasal 123 UU Cipta Kerja, sejumlah aturan dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum diubah. Di antaranya yakni Pasal 34, Pasal 36, hingga Pasal 42.

Dalam UU Cipta Kerja, Pasal 34 mengatur bahwa besaran nilai ganti rugi bersifat final dan mengikat. Selain itu, besaran ganti rugi juga dijadikan dasar untuk menetapkan bentuk ganti rugi.

Ketentuan pasal 34 ini akan menutup celah bagi pemilik tanah selaku pihak yang berhak, untuk mendapatkan besaran nilai kerugian yang berkeadilan. Institusi yang menggunakan tanah -meminjam otoritas tim penilai- akan memberikan nilai ganti kerugian sekehendaknya. Jika pemilik tanah tidak setuju, proyek tetap jalan dan nilai ganti kerugian dititipkan secara konsinyasi di pengadilan.

Ini merupakan perubahan norma yang berpihak pada kapitalis (pemilik proyek) dan menindas hak rakyat selaku pemilik tanah. Pemilik tanah dipaksa melepaskan hak nya atas tanah yang terdampak proyek. Pemilik tanah juga dipaksa menerima ganti rugi yang bersifat final dan mengikat, meskipun nilainya kecil dan zalim.

Hal itu adalah sekelumit dari materi yang penulis sampaikan pada diskusi yang diselenggarakan pada Ahad, 31 Januari 2021. Masih banyak materi lain yang penulis sampaikan selain yang ada dalam tulisan ini.

Penulis, juga mendapatkan persepektif dan informasi yang lebih luas dari pembicara lainnya. Hadir sebagai Narasumber selain penulis, yaitu : Hidayatullah Muttaqin S.E., M.Si., Pg. D. - Ekonom Islam, H. Anhar Nasution S.E., M.M. - Mantan Pimpinan PANJA Pertanahan Komisi 2 DPR RI & Ketua Umum FAKTA, Dr. Ahmad Redi S.H., M.H. - Direktur Eksekutif Kolegiun Jurist Institute dan Roni Septian Maulana - Kepala Departemen Advokasi Konsorsium Pembaruan Agraria - KPA.

Penulis sepakat dengan apa yang disampaikan Bapak H. Anhar Nasution S.E., M.M di akhir diskusi. Prinsipnya, diskusi harus ditindaklanjuti dengan suatu pertemuan dan diskusi intensif, yang dapat menghasilkan sejumlah pemikiran yang sistematis dan menyeluruh untuk mengurai problem pertanahan di Negeri ini.

Apalagi, jika diskusi itu ditemani dengan kopi dan durian, tentulah akan menghasilkan sebuah diskusi yang substantif. Diskusi online, tanpa kopi, tanpa durian, terkesan hanyalah diskusi formalis.

Kedepannya, Cak Slamet dan Cak Fajar selaku petinggi PKAD perlu memikirkan hal ini secara serius. Jangan sampai, usulan dan atensi Narasumber dikesampingkan dan hanya dianggap angin lalu. [].

Posting Komentar

0 Komentar