![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4utw0mt8GQ2XCg0w_ne3uHlgLVM0ad_5D1HWEuAiIZLYF5uUiA2xVZoa5OMmqxHYp6tj8NuVMmYQWdf3vNYpC3eodYH-FtRGySAlPJ7HwfqxwR-l3abeS0VJNdsfRfo9K6FsWAt31NQ/w640-h394/Gudang-Opini-Khilafah-memimpin-dunia.jpg)
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Saat Uni Soviet runtuh (1991), barat secara arogan menyombongkan peradaban kapitalisme liberal sebagai babak akhir dari dialektika sejarah yang menjadi peradaban unggul, akhir dari sejarah peradaban manusia. Francis Fukuyama, secara arogan menuliskan keyakinan barat itu dalam bukunya 'The End of History and the Last Man (1992)'.
Dalam buku tersebut, filsafat politik dan ilmuwan politik Amerika ini mengajukan sintesa bahwa dengan naiknya demokrasi liberal Barat - yang terjadi setelah Perang Dingin (1945–1991) dan pembubaran Uni Soviet(1991), kemanusiaan telah mencapai "bukan hanya ... berlalunya periode sejarah tertentu pascaperang, tetapi akhir sejarah sebagai berikut : yaitu, titik akhir evolusi ideologis umat manusia dan universalisasi Demokrasi liberal Barat sebagai bentuk terakhir dari pemerintahan manusia.
Menggunakan teori dialektika Hegel dan materialisme historis Marx, Franciscus Fukuyama menyimpulkan bahwa babak akhir dari peradaban manusia bukanlah peradaban komunisme sebagaimana yang di impikan Karl Marx. Melainkan, Demokrasi liberal yang pasca runtuhnya Uni Soviet diadopsi oleh banyak Negara di dunia, termasuk oleh Negara-negara eks Soviet.
Namun, sintesa Fukuyama ini dimentahkan oleh banyak penulis lainnya dan akhirnya hanyalah tesis biasa yang terus berdialektika.
Dalam Specters of Marx: The State of the Debt, the Work of Mourning and the New International (1993), Jacques Derrida mengkritik Fukuyama sebagai "pembaca yang datang belakangan" dari filsuf-negarawan Alexandre Kojève (1902–1968), yang "dalam tradisi Leo Strauss"(1899–1973), pada tahun 1950-an, telah menggambarkan masyarakat AS sebagai " realisasi komunisme "; dan menyatakan bahwa selebritis intelektual-publik dari Fukuyama dan popularitas arus utama bukunya, The End of History and the Last Man, adalah gejala- gejala pengurangan budaya sayap kanan tentang memastikan "Kematian Marx." Dalam mengkritik Fukuyama 'liberalisme, Derrida berkata :
"Karena itu harus diteriakkan, pada saat beberapa memiliki keberanian untuk neo-evangelisasi atas nama ideal demokrasi liberal yang akhirnya menyadari dirinya sebagai cita-cita sejarah manusia: tidak pernah mengalami kekerasan, ketidaksetaraan, pengucilan, kelaparan, dan dengan demikian penindasan ekonomimempengaruhi banyak manusia dalam sejarah bumi dan umat manusia. Alih-alih menyanyikan kedatangan ideal demokrasi liberal danpasar kapitalis dalam euforia akhir sejarah, alih-alih 'akhir ideologi' dan akhir wacana emansipatoris besar, marilah kita jangan pernah mengabaikan fakta makroskopis yang jelas ini, yang berisikan dari situs tunggal penderitaan yang tak terbantu: tidak ada derajat kemajuan mendukung seseorang untuk mengabaikan bahwa belum pernah sebelumnya, dalam angka absolut, begitu banyak pria, wanita dan anak-anak ditundukkan, kelaparan atau dimusnahkan di bumi."
Kritik Derrida yang berbasis teologi Kristen ini sangat beralasan. Pada realitanya, kapitalisme barat diadopsi bukan untuk menghilangkan penderitaan umat manusia karena kekejaman ideologi sosialisme yang dipaksakan Soviet. Namun, kapitalisme kembali menampakkan kerakusan, eksploitasi dan penghisapan dunia ketiga untuk melayani kepentingan barat yang rakus. Kapitalisme, kembali menampakkan wajah zalim sebagaimana hal ini sebelumnya menjadi latar belakang dan alasan lahirnya idelogi sosialisme.
Samuel P. Huntington menulis esai 1993, "The Clash of Civilizations", sebagai tanggapan langsung terhadap The End of History ; ia kemudian mengembangkan esai tersebut menjadi sebuah buku tahun 1996, The Clash of Civilizations dan Remaking of World Order.
Dalam esai dan bukunya, Huntington berpendapat bahwa konflik sementara antara ideologi sedang digunakan oleh konflik kuno antar peradaban, Peradaban dominan menentukan bentuk pemerintahan manusia, dan ini tidak akan konstan Islam, yang dia digambarkan sebagai "perbatasan berdarah".
Huntington secara eksplisit menyatakan, pasca keruntuhan Soviet peradaban tidaklah dikuasai secara ekslusif oleh kapitalisme barat. Namun Islam, sebagai agama sekaligus ideologi menjadi musuh peradaban barat pasca runtuhnya Uni Soviet.
Apa yang dinyatakan Huntington ini lebih relevan, karena agama Islam selain agama spiritual juga agama politik. Islam yang diemban oleh institusi Khilafah, telah eksis hampir 13 Abad dan menguasai hampir 2/3 dunia, memimpin peradaban manusia, dan menampilkan peradaban yang paling agung diantara peradaban yang pernah dibangun oleh idelogi selain Islam.
Tentang prediksi kemunculan Islam dan khilafah yang menjadi ancaman potensial bagi peradaban barat kapitalis, pada tahun 2004, NIC (National Intelligence Concil's), badan intelegen Amerika ini memprediksi Khilafah akan tegak di tahun 2020. NIC merilis laporan "Mapping the Global Future" yang memprediksi empat skenario dunia diantaranya:
1. China dan India menjadi pemain penting dalam ekonomi dan politik dunia;
2. Dunia masih dipimpin Amerika dengan 'Pan Amerixana';
3. "A New Chaliphate, yaitu berdirinya kembali Khilafah Islam, sebuah pemerintah Islam yang mampu memberi tantangan pada kekuasaan kapitalis dunia barat;
4. Cycle of Fear (munculnya lingkaran ketakutan).
Bahwa benar, tahun 2020 telah berlalu dan Khilafah belum tegak sebagaimana prediksi NIC. Namun, berbagai faktor kemunculan Khilafah menjadi semakin menguat dan sulit diingkari bagi siapapun yang meneliti keadaan dunia, khususnya pada aspek :
Pertama, kezaliman ideologi kapitalisme global telah memberikan satu keyakinan bersama pada dunia, bahwa dunia butuh sistem baru, sistem pengganti, sistem yang adil, sistem yang mampu mendistribusikan harta secara merata, sistem yang memaksa dunia bertindak adil dan menjauhi arogansi sebagaimana saat ini dipraktikan Amerika.
Berbagai penderitaan di dunia Islam baik oleh perang yang diciptakan Amerika, pengerukan sumber daya alam untuk melayani kerakusan Amerika dan barat kapitalis, pengkhianatan pemimpin di negeri kaum muslimin, telah mengantarkan kesadaran kolektif umat untuk membuang sistem kapitalisme yang dipasarkan barat.
Kedua, sesungguhnya pandemi covid-19 telah membuktikan ideologi kapitalisme gagal menyelamatkan nyawa manusia. Ideologi ini hanya memanfaatkan pandemi untuk meningkatkan kapital, bertahan secara egois tanpa memikirkan manusia lainnya.
Disisi yang lain, pandemi mampu meruntuhkan benteng kedigdayaan (baca: kesombongan) ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan kapitalisme. Pandemi tak bisa dicegah dan menimbulkan dampak ekonomi yang akut, sehingga seluruh umat manusia termasuk negara penjajah kapitalis, hari ini masing masing disibukkan dengan masalah pandemi dan belum bisa beranjak dan berkonsentrasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, ada fenomena kematian demokrasi yang dipicu dari karakter pemimpin yang dipilih secara demokratis namun akhirnya menyalahgunakan kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya secara diktator. Dalam buku berjudul 'How Democracies Die (2018)', dua ilmuwan politik dari Universitas Harvard, yaitu Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mengungkapkan tentang bagaimana para pemimpin terpilih dapat secara bertahap menumbangkan proses demokrasi untuk meningkatkan kekuasaan mereka.
Di Amerika sendiri, fenomena kematian demokrasi juga nampak pada adanya pembelahan politik yang ekstrim antara kubu Joe Biden dan Donald Trump pada Pilpres di Amerika. Ketidakdewasaan atas perbedaan politik ini, hingga memicu pembelahan publik Amerika, belum pernah terjadi pada sejarah demokrasi Amerika sebelumnya.
Keempat, munculnya kesadaran umum ditengah umat Islam atas pentingnya kembali kepada syari'at Islam secara kaffah dalam naungan institusi Khilafah, telah menggejala dan diadopsi oleh umat. Perjuangan untuk mengembalikan Khilafah yang sebelumnya hanya dipahami sebagai perjuangan Hizbut Tahrir, kini telah diadopsi menjadi kesadaran dan perjuangan umat Islam.
Kelima, khusus di Indonesia, kegagalan pemerintahan Jokowi dan diamnya kelompok oposisi dalam memberikan alternatif solusi, selain hanya mengajukan kritikan keras tanpa solusi, telah menyebabkan diskursus dan perjuangan Khilafah mendapatkan tempat tersendiri, yang memungkinkan meningkatkan kesadaran kolektif untuk memperjuangkan Khilafah dan mengawali penubuhannya dari wilayah negeri ini.
Pembelahan cebong kampret, kegagalan penanganan pandemi, kejatuhan ekonomi, korupsi yang makin akut, pengkhianatan partai politik, kerakusan kaum oligarki, penindasan yang makin masif terhadap rakyat (terakhir kebijakan pajak pulsa), sejumlah kriminalisasi terhadap ulama, Islam dan ajarannya, menyebabkan umat Islam berfikir mengenai solusi tuntas untuk masalah yang dihadapi negeri ini.
Pengkhianatan Prabowo dan Gerindra, menyebabkan solusi demokrasi melalui Pilpres dan Pemilu menjadi tidak dilirik Umat. Dan pada akhirnya, solusi perubahan melalui perjuangan Islam dan Khilafah menjadi satu-satunya harapan dan solusi yang tersisa.
Sesungguhnya, urusan kembalinya Khilafah ala Minhajin Nubuwah ada pada otoritas Allah SWT. Bagi Allah, mudah saja menetapkan segala urusan, termasuk menetapkan negeri ini sebagai titik tolak kembalinya Daulah Khilafah, dan dari negeri ini Khilafah akan menyatukan seluruh negeri kaum muslimin dan dunia. Sesungguhnya, Allah SWT maha perkasa dan maha berkuasa atas segala sesuatu. [].
0 Komentar