Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Tanpa saya sangka, Bang Hatta Taliwang mengirimkan empat lembar kesimpulan dan rekomendasi dari sebuah karya tesis. Saya tidak tahu, tesis karya siapa. Namun, kesimpulan dan rekomendasi tesis tersebut patut untuk dikritisi.
Tesis tersebut menyimpulkan bahwa Rasulullah Muhammad Saw adalah pemegang mandat kenabian, pemegang kekuasaan yudikatif, namun tidak dianggap penguasa dalam artian pemimpin pemerintahan sebuah negara. Rasulullah hanya di deskripsikan sebagai pimpinan atau kepala suku.
Kekuasaan pasca Rasulullah Saw yakni Khilafah, hanya dianggap bagian dari histori, bukan norma atau ajaran Islam. Padahal, semua ulama mahzab telah sepakat bahwa mengangkat imam (yakni Khalifah) hukumnya wajib. Adanya kekuasaan Islam yakni Khilafah juga wajib, dalam rangka menerapkan Al Qur'an dan as Sunnah.
Kesimpulan kewajiban Khilafah ini, tentu dipahami oleh ulama mahzab yang bersepakat wajibnya Khilafah sebagai norma Islam. Berbeda dengan adanya Khalifah Abu Bakar, Usman, Ali, dll, bukan norma Islam, melainkan sejarah Islam. Setelah mereka meninggal, Umat Islam tak wajib dan tak bisa menghidupkan mereka kembali untuk mengurusi kekuasaan dipimpin oleh mereka.
Adapun Khilafah, adalah norma (ajaran) Islam sekaligus historis atau sejarah Islam. Secara norma, khilafah kewajiban, sehingga umat Islam saat ini berkewajiban menegakkannya kembali. Secara kesejarahan, khilafah pernah eksis memimpin Umat hingga 13 Abad lamanya.
Rekomendasi tesis secara substansi menyarankan kepada umat Islam tak perlu memperjuangkan Khilafah, Khilafah hanya dijadikan sejarah untuk bahan dongeng kepada anak cucu. Tak perlu diperjuangkan kembali, karena khawatir negeri ini yang majemuk, negeri yang heterogen, akan terpecah belah jika memaksakan ditetapkan Khilafah. Rekomendasi seperti ini tentu saja tak bernilai. Sebab negeri ini adalah bagian dari bumi Allah SWT, bumi yang wajib ditegakkan hukum Allah SWT.
Ada yang masih meragukan, bahwa kedudukan Rasullullah Muhammad Saw saat memimpin Madinah bukan saja bertindak sebagai Nabi dan Rasul penyampai risalah, melainkan juga penguasa di Madinah. Kedudukan Rasulullah Saw selain penyampai risalah Wahyu, juga melakukan tindakan pengurusan berbagai urusan umat, urusan masyarakat, yang hal ini merupakan tugas-tugas penguasa.
Kesimpulan tesis tersebut dibangun atas kesalahan mendeskripsikan sekaligus menafsirkan fakta kekuasaan di Madinah. Sehingga, rekomendasi tesis menjadi keliru karena tidak berangkat dari pemahaman khilafah adalah ajaran (norma) Islam. Jadi, saya katakan kepada Bang Hatta Taliwang, rekomendasi tesis tersebut tidak bernilai.
Ada sebagian umat Islam yang keliru memahami kekuasaan dalam Islam. Kekuasaan dalam Islam berbeda dengan kekuasaan sekuler yang hari ini kita saksikan. Beberapa perbedaan itu diantaranya :
Pertama, konsep kekuasaan dalam Islam adalah kekuasaan yang utuh meliputi kekuasaan menetapkan peraturan perundang-undangan (legislatif), kekuasaan menjalankan pemerintahan (eksekutif), dan kekuasaan menjalankan fungsi peradilan (yudikatif).
Islam tidak mengenal ide pembagian kekuasaan (division of power), pemisahan kekuasaan (sparation of power), maupun pembatasan kekuasaan (restriction of power). Seorang penguasa dalam Islam, kekuasaannya meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Seorang penguasa, dalam Islam juga tidak mengenal pembatasan masa jabatan atau periode kekuasaan.
Seorang Khalifah adalah penguasa dalam urusan legislasi, eksekutif dan yudikatif. Hanya saja, ada yang dilakukan secara langsung ada yang didelegasikan. Khusus untuk kekuasaan yudikatif, wewenang ini oleh Khalifah didelegasikan kepada lembaga Al Qadla (peradilan), melalui para Qadli (hakim).
Adapun kekuasaan legislatif dan eksekutif, semuanya ada dalam wewenang Khalifah. Hanya Khalifah yang berwenang melegalisasi perundang undangan, menetapkan APBN, dan menjalankan fungsi pemerintahan (eksekutif).
Jabatan Khalifah juga berlaku sejak di baiat hingga Khalifah meninggal dunia. Khalifah dalam menjalankan kekuasaan tidak dibatasi oleh periode waktu, tapi dibatasi dengan keterikatan pada syariat.
Saat Khalifah taat menjalankan syariat, maka Khalifah berhak untuk menjalankan kekuasaan hingga akhir hayatnya. Rakyat haram menjatuhkan kekuasaan Khalifah ditengah jalan.
Saat Khalifah keluar dari syari'at, bahkan jika secara nyata menerapkan kekufuran, maka rakyat wajib mengoreksi bahkan hingga memakzulkan Khalifah. Meskipun, Khalifah baru dilantik menduduki jabatan kekuasaan satu atau beberapa bulan lamanya.
Kedua, Kekuasaan dalam Islam tidak mengenal wilayah dengan batasan teritorial fixd. Wilayah kekuasaan Khilafah bisa meluas atau berkurang, bergantung pada ketaqwaan Khalifah dan umat pada syariat, dan keterikatan Khalifah dalam menjalankan tugas wakil Allah SWT dimuka bumi untuk menjalankan hukum-Nya.
Semakin taqwa, wilayah Khilafah terus bertambah seiring misi dakwah Islam yang diemban Negara. Jika Khalifah dan Umat maksiat, enggan melaksanakan dakwah dan Jihad, wilayahnya bisa berkurang seiring aktivitas separatisme di wilayah Khilafah. Bahkan, pada titik kelemahannya Khilafah bisa diruntuhkan seperti yang terjadi pada Kekhilafahan Islam terakhir yang runtuh di Turki pada tahun 1924.
Ketiga, kekuasaan dalam Islam berfungsi menjalankan hukum Allah SWT, bukan hukum manusia baik yang berasal dari Raja maupun UU rakyat. Khilafah melalui Khalifah di baiat oleh umat untuk menjalankan mandat menerapkan kitabullah dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.
Jadi, kekuasaan dalam Islam meliputi kekuasaan dalam urusan agama (spiritual) dan kekuasaan di bidang urusan dunia (politik). Khalifah adalah Imam Sholat, Khatib Khutbah Jum'at, mengumumkan Idul Fitri, sekaligus mengurusi urusan manusia seperti menarik dan mendistribusikan zakat, menyantuni kaum miskin, menyediakan fasilitas dan layanan kesehatan, pendidikan dan kesehatan. Khalifah mengurusi harta milik umum dan milik negara, untuk digunakan dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyat baik berupa kebutuhan pangan, sandang maupun papan.
Dalam Islam tidak mengenal konsep sekulerisme. Yakni, tidak memisahkan antara urusan spiritual dan politik. Khilafah bukan seperti Italia, dimana pemimpin spiritual tahta suci Roma dan kekuasaan pemerintah Italia, dikendalikan oleh otoritas yang berbeda.
Karena itu, Umat Islam tidak boleh menganalogikan kekuasaan Islam dengan kekuasaan sekuler demokrasi saat ini. Kekuasaan dalam Islam, adalah otoritas yang unik dan berbeda dengan kekuasaan lain yang ada, baik kekuasaan Raja, Presiden, Perdana Menteri, Kaisar, dll.
Begitulah, sebagaimana kekuasaan yang dipimpin Rasulullah Muhammad Saw adalah kekuasaan spritual dan politik. Rasulullah Muhammad Saw adalah Nabi sekaligus kepala Negara di Madinah. Rasulullah menjalankan tugas kenabian sekaligus tugas kekuasaan.
Rasulullah memiliki kendali akan kekuasaan, memiliki rakyat yang dipimpinnya, dan memiliki wilayah kekuasaan. Ini adalah esensi dari eksistensi sebuah negara, yakni adanya unsur penguasa, rakyat dan wilayah kekuasaan.
Rasulullah memiliki wilayah Negara di Madinah. Kemudian Wilayah itu meluas, meliputi kota Mekkah pasca penaklukan. Kekuasaan Rasulullah menjengkau Khaibar setelah menaklukkan wilayah kekuasaan Yahudi Khaibar.
Kemudian, kekuasaan itu digantikan oleh para Khalifah setelahnya. Tugas kenabian berakhir, para Khalifah menggantikan kedudukan Rasulullah sebagai penguasa, baik dalam urusan spiritual dan politik. Dan wilayah kekuasaan Islam meluas, hingga meliputi 2/3 dunia.
Demikianlah, insyaAllah saat Khilafah berdiri kembali setelah keruntuhannya pada tahun 1924, akan kembali memiliki wilayah kekuasaan. Dan insya Allah wilayah kekuasaan Khilafah yang kedua ini, akan meliputi seluruh dunia, sebagaimana telah dikabarkan oleh Nabi kita yang mulia. [].
0 Komentar