Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang khas. Khilafah, berbeda sama sekali dengan seluruh sistem pemerintahan yang ada di dunia, baik Kerajaan, Republik, Monarki Konstitusi, Kekaisaran, Imperium, dll. Khilafah, memiliki tatacara (prosedur) yang khas untuk mengangkat pemimpin (Khalifah).
Seorang Khalifah, tidak menduduki kekuasaan Khilafah dengan Pemilu, Sistem Putra Mahkota, Penunjukan Parlemen, atau mekanisme lainnya. Seorang Khalifah menduduki jabatan kekuasaan dengan akad bai'at.
Meskipun methode praktis mengangkat Khalifah dengan bai'at, namun teknis dan prosedur mengambil bai'at boleh dilakukan dengan cara berbeda.
Sesungguhnya prosedur praktis yang bisa menyempurnakan pengangkatan Khalifah sebelum dibaiat boleh menggunakan bentuk yang berbeda-beda. Prosedur ini sebagaimana yang pernah terjadi secara langsung pada KhulafaurRasyidin yang datang pasca wafatnya Rasulullah saw.
Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali ra. Seluruh Sahabat mendiamkan dan menyetujui tatacara itu. Padahal tatacara itu termasuk perkara yang harus diingkari seandainya bertentangandengan syariah. Sebab, perkara tersebut berkaitan denganperkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan insitusi kaumMuslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan hukumIslam.
Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam pengangkatan keempat Khalifah itu, kami mendapati bahwa sebagian kaum Muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Saidah. Mereka yang dicalonkan adalah Saad, Abu Ubaidah, Umar, dan Abu Bakar.
Hanya saja, Umar bin al-Khaththab dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar sehingga seakan-akan pencalonan itu hanya terjadi di antara Abu Bakar dan Saad bin Ubadah saja, bukan yang lain. Dari hasil diskusi itu dibaiatlah Abu Bakar.
Kemudian pada hari kedua, kaum Muslim diundangke Masjid Nabawi, lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana. Dengan demikian, baiat di Saqifah adalah baiat in‘iqâd. Denganitulah Abu Bakar menjadi khalifah kaum Muslim. Sementara itu, baiat di Masjid pada hari kedua merupakan baiat taat.
Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan mengantarkannya pada kematian, dan khususnya karena pasukan kaum Muslim sedang berada di medan perang melawan negara besar kala itu, Persia dan Romawi, maka Abu Bakar memanggil kaum Muslim untuk meminta pendapat mereka mengenai siapa yang akan menjadi Khalifah kaum Muslim sepeninggalnya. Proses pengumpulan pendapat itu berlangsung selama tiga bulan.
Ketika Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum Muslim dan ia akhirnya mengetahui pendapat mayoritas kaum Muslim, maka Abu Bakar menunjuk Umar yakni mencalonkannya, sesuai dengan bahasa sekarang agar Umar menjadi Khalifah setelahnya.
Penunjukkan atau pencalonan itu bukanlah merupakan akad pengangkatan Umar sebagai khalifah setelah Abu Bakar. Sebab, setelah wafatnya Abu Bakar, kaum Muslim datang ke masjid dan tetap membaiat Umar untuk memangku jabatan kekhilafahan. Artinya, dengan baiat inilah Umar sah menjadi khalifah kaum Muslim; bukan dengan proses pengumpulan pendapat kaum Muslim, juga bukan dengan proses penunjukkan oleh Abu Bakar.
Seandainya pencalonan oleh AbuBakar merupakan akad Kekhilafahan kepada Umar tentu tidak lagi diperlukan baiat kaum Muslim. Apalagi terdapat nash-nash yang telah kami sebutkan sebelumnya, yang menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi khalifah kecuali melalui baiat kaum Muslim.
Ketika Umar tertikam, kaum Muslim memintanya untuk menunjuk penggantinya, namun Umar menolaknya. Setelah mereka terus mendesak, beliau menunjuk enam orang, yakni mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum Muslim. Kemudian beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami masyarakat dan untuk memimpin enam orang yang telah beliau calonkan itu hingga terpilih seorang khalifah dari mereka dalamangka waktu tiga hari, sebagaimana yang telah beliau tentukan bagi mereka.
Beliau berkata kepada Suhaib, “.... Jika lima orang telah bersepakat dan meridhai seseorang (untuk menjadi khalifah) sementara yang menolak satu orang, maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang....” Demikianlah, itu terjadi sebagaimana yang diceritakan oleh ath-Thabari dalam Târîkh ath-Thabari, oleh Ibn Qutaibah pengarang buku Al Imâmah wa as-Siyâsah—yang lebih dikenal dengan sebutan Târîkh al-Khulafâ’, dan oleh Ibn Saad dalam Thabaqât al-Kubrâ.
Kemudian Umar menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama limapuluh orang lainnya untuk mengawal mereka. Beliau menugasi Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu untuk mengadakan pertemuan.
Kemudian setelah Beliau wafat dan setelah para calon berkumpul, Abdurrahman bin Auf berkata, “....Siapa di antarakalian yang bersedia mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik di antara kalian?”
Semuanya diam.
Abdurrahman bin Auf berkata lagi, “Aku mengundurkan diri.” Lalu Abdurrahman mulai meminta pendapat mereka satu persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkankepada masing-masing, siapa di antara mereka yang lebih berhak.
Akhirnya, jawabannya terbatas pada dua orang: Ali dan Utsman. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk kepada pendapat kaum Muslim dengan menanyai mereka siapa di antara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat.
Abdurrahman bin Auf melakukannya bukan hanya pada siang hari, tetapi juga pada malam hari. Imam al-Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata, “Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengahmalam, Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun. Ia berkata Aku melihat engkau tidur. Demi Allah, janganlah engkau menghabiskan tiga hari ini—yakni tiga malam—denganbanyak tidur.’”
Ketika orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah pembaiatan Utsman. Dengan baiat kaum Muslim itulah Utsman menjadi khalifah, bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang di atas.
Kemudian Utsman terbunuh. Lalu mayoritas kaum Muslim di Madinah dan Kufah membaiat Ali bin Abi Thalib. Dengan baiat kaum Muslim itu pula Ali menjadi khalifah.
Dengan meneliti tatacara pembaiatan Khulafaur Rasyidindi atas oleh para Sahabat semoga Allah meridhai mereka jelaslah bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kepada masyarakat, dan jelas pula bahwa syarat in‘iqâd terpenuhi dalam diri masing-masing calon.
Kemudian diambillah pendapat dari Ahl al-Halli wa al-’Aqdi di antara kaum Muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Mereka yang merepresentasikan umat ini telah dikenal luas pada masa Khulafaur Rasyidin, karena mereka adalah para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—atau penduduk Madinah.
Siapa saja yang dikehendaki oleh para Sahabat atau mayoritas para Sahabat untuk dibaiat dengan baiatin‘iqâd, yang dengan itu ia menjadi khalifah, maka kaum Muslimwajib pula membaiatnya dengan baiat taat. Demikianlah proses terwujudnya Khalifah yang menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.
Inilah yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada proses pembaiatan Khulafaur Rasyidin—semoga Allah meridhai mereka. Ada dua perkara lain yang dapat dipahami dari pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur pembaitan Utsman.
Dua perkara itu adalah: adanya amir sementara yang memimpin selama masa pengangkatan khalifah yang baru dan pembatasan calon sebanyak enam orang sebagai batasan maksimal. [].
Nb. Disarikan dari Kitab Struktur Daulah Khilafah, dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir.
0 Komentar