PERIH


Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Saat kasus Novel Baswedan diangkat, ditemukan pelaku, disidangkan dan divonis, kita semua sudah menduga semua dilakukan dalam rangka menutup kasus. Publik selanjutnya tak bisa lagi ribut-ribut tentang kejahatan yang menimpa penyidik KPK. Penguasa, dengan mudahnya akan berkata : "pelaku sudah ditangkap, diadili dan divonis. Soal puas tidak puas, itu diluar kendali kami".

Ya, pengungkapan kasus Novel Baswedan dapat disimpulkan untuk menutup kasus. Untuk menghindari penguasa dari rongrongan publik, karena membiarkan kejahatan terhadap Novel berlarut hingga bertahun-tahun.

Pada kasus meninggalnya 6 anggota FPI, proses penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM juga berujung sama. Untuk menutup kasus. Agar, publik tidak lagi ribut dan menuntut keadilan. Penguasa, akan mudah mengatakan : "Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan, ada pelanggaran HAM. Soal itu bukan pelanggaran HAM berat, itu bukan urusan kami".

Komnas HAM, ketika didesak atau dikritik mengapa peristiwa biadab seperti itu hanya dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM biasa, bukan pelanggaran HAM berat, mudah saja menjawab : "kami menyimpulkan dan membuat rekomendasi berdasarkan fakta penyelidikan. Soal tidak sesuai ekspektasi publik, tidak bisa memuaskan semua pihak, mohon maaf kami bukan alat pemuas".

Akhirnya, Kasus pelanggaran HAM ini lebih nihil hasilnya ketimbang kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan. Terhadap Novel Baswedan, terlepas vonis ringan, ada 'Sosok' yang dipertanggungjawabkan. Ada makhluk yang mengaku sebagai pelakunya. Dalam kasus pembantaian 6 anggota FPI?

Nomenklatur 'pelanggaran HAM' dan bukannya 'Pelanggaran HAM berat' akan mengakhiri kasus pembantai 6 anggota FPI. Ya, karena kesimpulan dan rekomendasi Komnas HAM tidak akan mungkin ditingkatkan ke pengadilan HAM sebagaimana diatur dalam UU No 26 tahun 2000.

Kalaupun mau diangkat dalam pengadilan pidana biasa, ada ganjalan. Yakni, Komnas HAM telah meletakkan rekomendasi proses hukum atas kepemilikan senjata yang kuat dugaan akan dijadikan alat tawar, agar semua kasus terhadap pelaku penembakan tidak dilanjutkan. Kesimpulan Komnas HAM dengan demikian malah melindungi pelaku, bukan korban pelanggaran HAM. Bukan begitu?

Kesimpulan dalam artikel ini akan keliru, jika kemudian polisi berpidato segera memproses hukum pelaku penembakan 6 anggota FPI dengan memamerkan wajah mereka di media, persis saat polisi memamerkan para aktivis yang ditangkap dan dituduh makar. Polisi dengan gagahnya, mengumumkan akan memproses hukum kepada pelaku penembakan anggota FPI, dan membuat konferensi pers layaknya saat penangkapan Syahganda Nainggolan dkk. Tapi, apakah anda yakin akan terjadi hal seperti ini? Saya tidak.

Kesimpulannya, perih. Keluarga korban 6 anggota FPI, para aktivis Islam, kaum muslimin secara umum, semuanya merasa perih. Sakitnya, lebih sakit ketimbang parodi penegakan hukum dalam kasus Novel Baswedan.

Ya Allah, hanya kepada-Mu lah kami kembali. Kami memohon pertolongan dan ampunan-Mu. Kami memohon keadilan-Mu, dengan turunnya pertolongan dan tegaknya Khilafah.

Kemudian, melalui kekuasaan Khilafah kami akan menuntut Qisos kepada siapapun yang terlibat dalam pembunuhan keji ini. Kami akan mencatat, peristiwa ini kedalam daftar kejahatan yang akan kami ajukan ulang kepada Khalifah, agar diadili kembali, dan diberi hukuman sesuai dengan apa yang diterangkan dalam Al Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. [].

Posting Komentar

0 Komentar