MENGENANG KOTA MAGELANG, KOTA TUMBUHNYA BENIH PERJUANGAN KHILAFAH


Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Pagi yang dingin, terkadang berselimut kabut lembah tidar, saya dan mas Dedy menyusuri jalan dari perumahan Magersari menuju Pasar Gotong Royong. Disana, saat sebelum subuh menyapa, kami menikmati teh panas manis, nasi bungkus, dan beberapa gorengan. Ada bakwan, tempe dan tahu goreng.

Kebiasaan ini, diantara hal yang saya lakukan di Kota Magelang. Pagi, mencari saur untuk puasa Sunnah. Ada dua motif berpuasa : ibadah dan menghemat anggaran kuliah.

Begitulah, sampai di kampus pun saya dan beberapa teman 'Geng' dari luar Magelang dikenal pemburu makanan gratis (Ada Age Septiana dari Wonosobo, Satrio Anggada dari Bekasi, ada Iwan Kuswandi darimana ? Ya, dari namanya dia orang Sunda, dari Tasikmalaya).

Setiap ada diskusi, baik yang diadakan anak Fakultas Ekonomi, KIP, anak psikologi, anak tehnik, Akper, pokoknya sepanjang ada makanan kami hadir. Kami, dikenal petualang diskusi.

Semboyan kami, "dimana ada makanan gratis, disitulah saya'. Sehingga, kami banyak hadir dalam diskusi diantaranya atas motif mencari makan. Maklum, anak kos

Setiap diskusi, kami pasang aksi sok hebat, setiap ada kesempatan bertanya, kami (saya maksudnya) angkat tangan. Bertanya kepada pembicara. Apa yang menjadi materi, kadang sebelum hari H saya ke perpustakaan dulu untuk tema tertentu dan membaca buku terkait tema.

Kemudian, dengan mengutip penggalan pengarang buku, saya bertanya. Agar timbul kesan, wew ini anak banyak juga bacaannya? Padahal, saya hanya membaca beberapa paragraf untuk modal bertanya, biar eksis. Dulu, kami mengadopsi falsafah "Kalau Ga Narsis Ga Eksis".

Setelah bertanya, kami biasanya juga mendapat door prize. Lumayan, pernah dapat kaos, buku, cindera mata, tapi uang belum pernah. Cuma ngarep.

Saat Ramadhan, Masjid Agung Kauman alun alun selalu menjadi tempat favorit buka bersama. Kenapa ? Karena gratis. Kami berjalan, dari kampus, melintasi area Pecinan (China Town) di Magelang, hingga alun alun. Kadang, kami melanjutkan dari alun-alun sampai Badak'an.

Jika malam, kami kumpul diskusi hingga larut di Angkringan. Nasi kucing atau HIK Solo. Ada Pak Ipul, legenda nasi kucing di pojok SMK pariwisata di jl Tidar Magelang.

Di kota ini, di Magelang, saya bertemu dengan pejuang Khilafah. Di kota ini, saya bertemu dengan perjuangan Khilafah.

Pada mulanya, saya seperti anda. Bukan anda yang setuju khilafah, tapi anda yang menentang khilafah. Saya protes, ini aktivis kok ngomongnya khilafah terus. Semua masalah kembalinya ke syariah, ke Khilafah. Ini apa kurang perbendaharaan kata? Apa semua isi otak di kepalanya hanya Khilafah?

Begitulah, saya menentang. Tapi saya memiliki akal sehat. Dalam hati saya bertanya, "bukankah saya hebat? Saya pintar? Saya punya akal sehat? Jika mereka keliru, pasti saya akan mampu mematahkan argumentasi mereka. Jika mereka kalah, pasti akan mengikuti saya. Masak saya yang kalah ? Masak saya ga mau menerima tantangan diskusi mereka?"

Begitulah, atas motif ego saya mencari dan berdiskusi dengan pejuang Khilafah. Sampai akhirnya, saya bahagia dengan kekalahan, saya bangga dengan kekalahan, karena saya menemukan kebenaran yang lebih besar ketimbang yang saya miliki. Sejak saat itu, saya berkomitmen kajian intensif tentang Islam dan khilafah.

Saya tidak dibina secara akal saja, tetapi juga secara sikap dan interaksi. Saya akhirnya jatuh hati, Gandrung dan akhirnya meminang untuk dapat menyunting status sebagai pejuang Khilafah.

Sepanjang di Magelang, ada kenangan yang membekas di SMA Ndukun. Saat pembinaan remaja SMA, saat acara refleksi malam, saya diminta menjadi mentornya.

Dengan gaya retorika dan pilihan kata narasi, saya berusaha mengaduk aduk perasaan mereka, amanah orang tua mereka untuk belajar, amanah mereka sebagai hamba untuk beribadah, dan berbagai kemaksiatan yang selama ini mereka lakukan. Dengan intonasi suara, kadang kencang, kadang lemah gemulai (memang saya bisa?), Kadangkala menghentak, ternyata mampu membuat puluhan peserta menangis sejadi jadinya.

Dalam keheningan malam, yang hanya disinari cahaya lilin, mereka menangis. Entah pikiran apa yang menggelayuti, tetapi hal itulah yang terjadi.

Ada juga pengalaman di SMA 1, SMA 4, SMA 2, bahkan hingga di SD Mutual. Sama, peserta yg terdiri anak SD kelas 5 dan 6 juga menangis bawang bombai, saat diadakan acara di Masjid Tanwir.

Siapapun, yang terlibat dan berperan mempertemukan saya dengan perjuangan Khilafah, saya ucapkan Jazakumullah Khairon. Semoga, Allah SWT limpahkan pahala, sebagaimana Allah SWT limpahkan pahala kepada saya atas seluruh aktivitas dakwah yang selama ini saya lakoni, kepada Anda semua yang terlibat mengenalkan saya dengan dakwah Khilafah.

Kebahagiaan yang paling besar dalam hidup adalah ketika saya dipertemukan dan menjadi pejuang Khilafah. Rasanya, seluruh ujian dan beban hidup dalam menanggung beban perjuangan, menjadi terasa indah dan mengasyikkan. [].

Posting Komentar

0 Komentar