Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Pemerintah telah menetapkan Pendapatan Negara dalam APBN 2021 sebesar Rp. 1.743.648,5 miliar (atau 1.700,5 Triliun), dengan rincian Penerimaan dari sektor Pajak Rp. 1.444.541,5 M dan Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp. 298.204,2 M, Penerimaan Hibah 902,8 M. Adapun Belanja Negara ditetapkan sebesar Rp. 2.750.028,0 miliar (atau 2.750 triliun). Terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat 1.954.548,5 M, Transfer ke daerah dan Dana Desa 795.479,5 M.
Jika dikalkulasi antara pendapatan dan pengeluaran, APBN 2021 dirancang defisit sekitar Rp. 1.006,3 triliun atau 5,7 persen. Angka defisit ini sangat memprihatikan mengingat APBN 2020 masih memiliki sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) sebesar Rp 234,7 triliun.
Realisasi Silpa 2020, melonjak hingga empat kali lipat dibandingkan realisasi Silpa pada 2019 yang sebesar Rp 46,40 triliun. Begitu juga, dibandingkan dengan tahun 2018 yang senilai Rp 36 triliun, 2017 sebesar Rp 25,64 triliun, dan 2016 sebesar Rp 26,16 triliun.
Namun, ditengah besarnya Silpa APBN 2020 pemerintah masih menggunakan pola penganggaran yang buruk, yakni tetap membuat rentang APBN antara pendapatan dan pengeluaran dibuat defisit lebar. Memang benar, strategi APBN defisit ini akan menjadi payung antisipasi jika ada program tidak jalan, pendapatan tidak sesuai ekspektasi, APBN masih memiliki 'ruang toleransi' untuk tetap dipertahankan. Dengan strategi APBN disusun defisit pun, nyatanya setiap tahun terjadi pembahasan APBNP yang membuktikan kinerja pemerintah sangat buruk sehingga postur APBN harus diubah.
Hanya saja, kenapa diawal pemerintahan Jokowi Maruf Amien pada bulan Januari 2020 ini, pemerintah malah sibuk mencanangkan program wakaf uang? Bukankah, program wakaf uang ini akan masuk dalam postur APBN sebagai pemasukan dari sektor dana hibah?
Padahal, sektor Penerimaan APBN 2021 dari Hibah hanya sebesar Rp. 902,8 Miliar. Kalah jauh, dengan sektor pajak Pajak Rp 1.444.541,5 Miliar? Sektor dana hibah, hanya menyumbang kurang dari 5 % total APBN 2021. Kenapa di awal tahun ini pemerintah sibuk menggenjot sektor dana hibah, bukan dari sektor pajak yang merupakan penerimaan utama APBN?
Menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi penerimaan perpajakan per 23 Desember 2020 mencapai Rp 1.019,56 triliun atau 85,65 persen dari target APBN. Angka ini lebih rendah dibandingkan realisasi penerimaan pajak per 30 November 2019 yang Rp 1.312,4 triliun.
Jika presentasi realisasi penerimaan pajak ini tetap, maka sektor pajak di APBN 2021 hanya akan menyumbang maksimal 85,6 % dari target Rp 1.444.541,5 Miliar. Jika konsisten, pemerintah hingga akhir Desember 2021 maksimal hanya mampu mengumpulkan pendapatan dari sektor pajak sebesar Rp. 125,027 miliar (atau Rp. 1.250 triliunan).
Persoalannya, APBN 2020 mulai terguncang Pendemi sejak Maret 2020 saat badai virus Corona mulai menyapu Indonesia. Itu artinya, ada tiga bulan awal ekonomi meskipun sulit masih bisa bertumbuh, namun setelah badai pandemi ekonomi menjadi stagnan bahkan bergerak minus.
Pertumbuhan ekonomi yang minus, tentu saja akan berpengaruh pada sektor penerimaan pajak. Apalagi, APBN 2021 dimulai pada kondisi pandemi yang angka korbannya telah mencapai angka satu juta kasus. Itu artinya, potensi shortfall dari pajak lebih mengkhawatirkan ketimbang tahun 2020.
Dengan demikian, asumsi realisasi penerimaan pajak tahun 2020 sebesar 85,6 % dari target tidak akan terpenuhi. Melihat trend yang ada, realiasi penerimaan pajak sebesar 75 % dari target yang ditetapkan APBN 2021 pun masih belum bisa kita anggap optimis.
Sayangnya, belum ada data tersaji dari Kemenkeu terkait berapa penerimaan pajak di bulan Januari 2020, setidaknya hingga tanggal 20 Januari 2021. Pada bulan Februari 2021, data penerimaan pajak per Januari 2021 dapat dijadikan bahan evaluasi, untuk mengukur trend penerimaan pajak tiap bulannya hingga bisa diprediksi (meskipun prematur) untuk mengukur potensi penerimaan pajak hingga Desember 2021.
Padahal, Beban belanja bunga utang pada APBN 2021 meningkat kurang lebih 18,8% dari Rp. 314,1 triliun pada 2020 menjadi Rp. 373,26 triliun pada tahun ini.
Pertumbuhan belanja bunga utang pada 2021 tercatat lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan bunga utang tahun lalu. Pada 2020, belanja bunga utang tercatat tumbuh 14% dari Rp275,5 triliun pada 2019 menjadi Rp314,1 triliun.
Jika kita bagi rata kewajiban pembayaran bunga utang perbulan, yakni Rp. 373,26 triliun dibagi 12 bulan. Yakni, sekitar Rp. 31,105 Triliun per bulan. Angka ini adalah angka wajib yang harus dialokasikan dari APBN per bulan.
Belum lagi, belanja rutin yang ditetapkan berupa pengeluaran pusat dan daerah, yang totalnya sekitar Rp. 2.500 Triliun, jika dibagi 12 bulan ketemu angka sekitar 208 Triliun.
Artinya, pemerintah wajib menyediakan anggaran sekitar 240 triliunan per bulan. Jika trend pendapatan dari pajak hanya menghasilkan 80 % (angka median dari trend realisasi pajak tahun 2020 sebesar 86 % dan ekspektasi realisasi pesimis 2021 75 %), maka per bulan akan ditemukan angka sekitar 1.444 triliun dikali 80 % dibagi 12 bulan, ketemu angka sekitar Rp. 100 triliunan per bulan. Angka ini masih jauh dari kebutuhan APBN per bulan yang besarnya sekitar sekitar 208 Triliun.
Hanya saja, realisasi belanja pemerintah pusat dan daerah masih dapat dkutak katik. Hingga bisa diperas mungkin 20 % nya. Hanya, alokasi pembiayaan APBN berupa pembayaran bunga utang bersifat wajib, yang besarnya Rp. 31,105 Triliun.
Nampak pemasukan APBN belum bisa diandalkan karena sejumlah obligasi dan usaha cari pinjaman luar negeri yang dilakukan oleh Menkeu Sri Mulyani belum bisa diharapkan.
Sejumlah instrumen telah dikeluarkan pemerintah untuk menarik utang, dari ORI019 hingga surat berharga, antara lain Surat Perbendaharaan Negara (SPN), Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPNS), Obligasi Negara (ON), dan Project-based Sukuk (PBS).
Namun, semua instrumen utang itu belum dapat diketahui hasilnya. Nampaknya, karena alasan tekanan APBN berupa sejumlah pengeluaran yang wajib dikeluarkan pemerintah, baik pembiayaan rutin khusunya membayar cicilan dan bunga utang, menyebabkan pemerintah kalap.
Patut diduga, kebijakan infak uang tunai yang dilakukan pemerintah adalah konfirmasi APBN sedang sekarat dan berharap program wakaf uang tunai ini bisa sedikit menambah nafas, sambil menunggu sejumlah pendapatan masuk baik melalui instrumen utang dalam negeri maupun utang luar negeri. Kalau sudah begini, rakyat musti prihatin atau bersyukur? [].
0 Komentar