Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Demokrasi adalah sistem politik untuk mengisap darah rakyat dan menginjeksikan darah itu kepada para kapitalis. Sistem pemerintahan yang memalak rakyat dengan pajak, dan mengguyur para kapitalis dengan limpahan subsidi.
Publik tentu masih ingat, Lima perusahaan sawit berskala besar mendapatkan subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan total mencapai Rp7,5 triliun sepanjang Januari-September 2017 lalu.
Lima perusahaan sawit itu terdiri dari Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC). Wilmar Group mendapatkan nilai subsidi terbesar, yakni Rp 4,16 triliun. Padahal, setoran yang diberikan Wilmar Group hanya senilai Rp1,32 triliun.
Kini, saat APBN sekarat, saat Negara gagal mengasong program Wakaf Uang, tiba-tiba Menkeu Sri Mulyani akan mengenakan Pajak Penjualan Nilai (PPN) dari penjualan pulsa dan kartu perdana. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Serta Pajak Penghasilan Atas Penyerahan Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucher.
Kemudian, PPN juga akan dipungut oleh Penyelenggara Distribusi Tingkat Pertama kepada Penyelenggara Distribusi Tingkat Kedua dan/atau pelanggan telekomunikasi. Regulasi itu ditandatangani oleh Sri Mulyani sejak 22 Januari 2021 dan akan mulai berlaku pada 1 Februari 2021.
Luar biasa, saat Rakyat kesulitan menghadap pandemi, bukannya negara membantu rakyat malah ditambah beban hidupnya dengan pajak. Hal ini, tidak diberlakukan kepada para kapitalis. Sejumlah alokasi anggaran Covid-19, disinyalir disalurkan secara tidak transparan untuk menyuntikkan darah kepada sejumlah bisnis kapitalis yang terdampak pandemi.
Demokrasi memang begitu, menjadikan pajak sebagai instrumen utama pembiayaan pemerintahan. Bagaimana dengan Khilafah?
Kalau Negara menerapkan Islam, mengadopsi sistem Khilafah, maka Negara diharamkan memungut pajak. Sumber pemasukan Negara, telah ditetapkan jenisnya oleh Syara'. Negara, dilarang mengambil pungutan kepada rakyat tanpa dasar syar'i.
Saat Negara mengadopsi Islam maka Negara tak perlu menyusahkan rakyat dengan pajak yang mencekik. Apalagi, di situasi pandemi yang sulit.
Dalam Islam, semua jenis tambang yang depositnya melimpah, baik tambang minyak, emas, batubara, nikel, besi, timah, uranium, thorium, dll, terkategori harta milik umum (Al Milkiyatul Ammah/Public Property) yang HUKUMNYA HARAM BAGI INDIVIDU DAN SWASTA DAN WAJIB DIKELOLA OLEH NEGARA. Semua jenis tambang dengan deposit melimpah, akan menjadi sumber APBN yang paling penting.
Dalam Islam, individu, swasta, domestik maupun asing, haram memiliki dan/atau mengelolanya. Negara, wajib mengambilnya tanpa kompensasi, mengelolanya, dan mengembalikan hasilnya dalam bentuk layanan dan/atau fasilitas dari negara, bahkan subsidi dari negara kepada rakyat.
Kalau jalan syariah Islam ini ditempuh, Negara dapat mengambil alih semua tambang swasta, maka Negara tak perlu mempermalukan diri, meminta Menkeu Sri Mulyani keliling dunia mencari utang. Atau menghiba, memelas, agar rakyat menyalurkan wakaf melalui lembaga pemerintah, atau minta jatah pulsa kepada rakyat.
Bukan hanya tambang yang depositnya melimpah, Islam juga telah menetapkan hutan, laut, lembah dan ngarai, pantai, sungai-sungai, kanal, termasuk lahan dari konversi hutan, padang gembalaan atau harta lainnya yang terlarang bagi individu untuk memilikinya, sebagai harta milik umum. Semua harta ini dikelola Negara, hasilnya cukup berlimpah dan bisa untuk membiayai APBN tanpa pajak dan utang.
Berbagai lahan sawit hasil konversi hutan seperti PT Salim Ivomas Pratama, Tbk. (SIMP) dengan kepemilikan aset senilai Rp35,05 triliun, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMART) dengan kepemilikan aset senilai Rp27,33, PT Astra Agro Lestari, Tbk. (AALI) dengan total aset senilai Rp27,16 triliun, raksasa sawit Wilmar International Group dan lainnya, WAJIB DIAMBIL ALIH OLEH NEGARA KARENA TERKATEGORI HARTA MILIK UMUM DAN AKAN MENJADI SUMBER APBN YANG BESAR.
Harta tersebut adalah harta yang terkategori kepemilikan umum (Al Milkiyatul Ammah/Public Property). Karenanya, hanya Negara (Khilafah) selaku wakil umum yang memiliki hak mengelola dan mengembalikan manfaatnya kepada publik (rakyat).
Praktik penguasaan tambang oleh Freeport, Newmont, Toba Group, tambang milik Erick Thohir, milik Aburizal Bakrie, dll, juga hutan atau lahan konversi dari hutan yang dikuasai group 9 naga, atau korporasi lainnya, dalam Islam haram hukumnya. Sebab, itu artinya telah terjadi pemindahan hak secara zalim, dari hak milik umum yang kemudian dikangkangi menjadi milik pribadi.
Jadi konsesi penguasaan dan pengelolaan harta milik umum oleh kelompok individu, swasta dan korporasi, baik domestik maupun asing, sejatinya adalah perampokan. Mereka, telah merampok hak milik umum, dan menguasai secara pribadi, dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
Saran saya, dalam kondisi pandemi seperti ini jangan tambah beban rakyat dengan beban pajak pulsa. Cukup 'papa' atau 'mama' yang minta pulsa, jangan negara ikut ikutan latah minta jatah pulsa.
Tugas Negara, ambil alih seluruh tambang dan harta milik umum lainnya. Dengan itu, negara akan memiliki dana yang cukup untuk membiayai APBN. Tak perlu, Negara sampai menjatuhkan Marwah dengan mengasong minta uang infak atau minta jatah pulsa dari rakyat. [].
0 Komentar