APAKAH KEKUASAAN KHILAFAH AKAN MEWUJUDKAN MENJADI DESPOTIK DAN TIRAN?


Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Ada sejumlah asumsi keliru terhadap sistem Khilafah, karena anggapan besarnya kekuasaan Khalifah sehingga menyebabkan Khalifah dapat jatuh menjadi penguasa yang despotik dan tiran. Bahkan, ada juga yang berhalusinasi Khilafah akan mewujud menjadi pemerintahan yang fasis.

Asumsi ini berangkat dari pemahaman yang selama ini ditancapkan oleh pemikiran barat yang sekuler, dan berangkat dari sejarah peradaban barat. Saat kekuasaan menyatu pada Raja atau berkelindan bersama Agamawan Gereja, para penguasa menjalankan kekuasaan secara absolut, sehingga coraknya menjadi despotik dan tiran.

Despotisme adalah bentuk pemerintahan dengan satu penguasa, baik individual maupun oligarki, yang berkuasa dengan kekuatan politik absolut. Despotisme atau tiranisme bisae juga dimaknai absolutisme atau diktatorisme. Substansinya, kekuasaan tanpa kontrol rakyat.

Karena itu, pemikir (ulama) barat merekonstruksi kekuasaan dengan ide pemisahan kekuasaan (sparation of power) atau ide pembagian kekuasaan (division of power). Trias politica, adalah ide baku untuk mengendalikan kekuasaan agar tidak menjadi tiran dengan adanya perimbangan dan kontrol kekuasaan melalui pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Sejarah barat yang kelam ini, dijadikan dalih untuk mengasumsikan kekuasaan dibawah Khalifah akan despotik dan tiran mengingat kekuasaan legislatif (adopsi UU), eksekutif (menjalankan pemerintahan) dan yudikatif (mengadili pelanggaran syariah dan sengketa antara rakyat) ada ditangan Khalifah. Kekuasaan Khalifah yang besar ini, dianggap akan melahirkan penguasa diktator dan Tiran. Padahal, kekuasaan Khalifah ini tidak berjalan bebas sekehendak Khalifah, melainkan dibatasi:

Pertama, Khalifah dalam menjalankan kekuasaan dan pemerintah dibatasi hukum syara'. Khalifah, meskipun memiliki wewenang besar tak bisa seenaknya menghalalkan apa yang Allah SWT haramkan atau sebaliknya mengharamkan apa yang Allah SWT halalkan.

Dalam fungsi legislasi, Khalifah hanyalah mengadopsi hukum dari Al Qur'an dan as Sunnah, bukan membuat hukum sekehendak nafsunya. Khalifah, terikat dengan hukum syariah dalam menjalankan tugas pemerintahan.

Hal ini, akan menutup celah Khalifah otoriter, karena kewenangan yang dimilikinya wajib dijalankan berdasarkan hukum Syara'. Dan hal ini, tidak ada dalam sistem Raja dan Agamawan Gereja di Eropa yang memang bisa sekehendak hati membuat hukum, menghalalkan atau mengharamkan, tanpa ada batasan yang jelas.

Kedua, adanya kontrol rakyat berdasarkan syariat yang mampu mengoreksi bahkan membatalkan adopsi hukum yang ditetapkan Khalifah berdasarkan standar syariah. Contohnya, pada zaman Umar RA, seorang wanita membatalkan UU yang diadopsi Khalifah Umar RA yang membatasinya jumlah mahar bagi wanita, dengan alasan agar memudahkan kaum pria (bujangan) menikah.

Seorang wanita, membatalkan UU Khalifah dengan menyatakan mahar adalah hak wanita. Khalifah tidak boleh membatasi hak wanita, dengan menentukan batas besaran maksimum mahar.

Ketiga, pada urusan kemaslahatan dan pelayanan Khalifah terikat dengan pandangan dan pendapat rakyat. Sebagaimana Umar beberapa kali mengganti Wali (Gubernur) Mesir yang tidak diridhoi rakyat Mesir. Itu artinya, meskipun menunjuk wali adalah hak atau kewenangan Khalifah, namun Khalifah terikat dengan aspirasi rakyat di daerah atas Wali yang diinginkan rakyat.

Jadi, dalam Islam Khalifah atau Penguasa memang diadakan untuk menjalankan mandat Allah SWT untuk menegakkan hukumnya, tapi bukan berarti boleh bertindak sekehendak hati (diktator). Khalifah dalam menjalankan kewenangannya terikat dengan dalil Syara' dan wajib mendengar aspirasi rakyatnya.

Tidak ada istilah sifat atau tafsir absolut dalam kekuasaan Islam. Apalagi, tafsir oligarki agama seperti yang dilakukan Raja dan Agamawan Gereja.

Memang benar Rasulullah Saw adalah manusia sempurna, para sahabat RA adalah manusia mulia. Namun, bukan berarti umat ini tak bisa mencontoh dan meneladani mereka. Justru, umat ini wajib terikat dengan syariat yang dibawa Rasulullah Saw dan meneladani pengelolaan kekuasaan yang dijalankan para Khalifah yang ditunjuki cahaya kebenaran.

Sehingga, diskursus tentang apakah Rasulullah dan para Khalifah itu penguasa tak relevan lagi diperdebatkan. Karena pada faktanya, Rasulullah dan para Khalifah menjalankan kewenangan dan fungsi fungsi kekuasaan pada wilayah dan rakyat yang dipimpinnya. []

Posting Komentar

0 Komentar