[Sebuah Tanggapan untuk Abdurrahman Syebubakar, Ketua Dewan Pengurus IDe]
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Saya kira sangat boleh dan sah secara terbuka didepan publik, untuk urun usul, agar "Habib" tidak perlu mendirikan Parpol atau masuk Parpol atau bergabung dengan organisasi/gerakan manapun. Hanya saja, Parpol yang dimaksud adalah parpol yang terlibat dalam politik praktis, sebab partai yang terlibat politik praktis pasti akan pragmatis.
Namun, masih ada 'Entitas Partai Politik' yang tidak terlibat dalam politik praktis. Sehingga, parpol tersebut dapat Istiqomah menjaga cita dan ideologi partai, dan tidak terkontaminasi oleh politik praktis yang pragmatis. Parpol ini bergerak, bersama dan ditengah Umat, mewujudkan tujuan politik keumatan, yakni demi visi melanjutkan kehidupan Islam dengan menegakkan hukum Allah SWT.
Dalam konteks Parpol yang demikian, Habib bisa mengambil opsi masuk atau menjadi mitra politik. Tentu, setelah melakukan sejumlah pengkajian atas visi misi dan ideologi partai. Yang jelas, parpol dimaksud wajib parpol Islam.
Adapun terlibat dalam politik praktis pragmatis, baik dengan mendirikan partai sendiri atau berhimpun dengan parpol yang ada -seperti yang ditawarkan Golkar- Penulis setuju dan sependapat, dengan beberapa poin pandangan Abdurrahman Syebubakar, dengan beberapa tambahan dan penyesuaian perspektif, sebagai berikut ;
Pertama, membentuk atau bergabung dengan parpol dalam politik praktis yang pragmatis, jelas akan mempersempit ruang gerak politik moral Habib. Habib dipaksa tunduk pada ideologi partai yang berorientasi pragmatis, sementara Habib memiliki orientasi politik Islam yang standarnya jelas bersumber dari Al Qur'an dan As Sunnah.
Kedua, membentuk atau bergabung dengan parpol dalam politik praktis yang pragmatis, akan mengurangi heterogenitas (keberagaman) dan warna kelompok penyeru kebaikan/keadilan dan perlawanan terhadap politik kekuasaan yang zalim.
Tak ada kontrol politik diluar sistem, sehingga ketika parpol mengikat koalisi dengan pemerintah, selesai sudah aktivitas ceks n balances melalui dakwah Amar Ma'ruf nahi Munkar. Tak ada lagi gerakan penyeimbang.
Ketiga, membentuk atau bergabung dengan parpol dalam politik praktis yang pragmatis, akan membuat pergerakan keumatan mengalami kejumudan (stagnasi). Sebab, Logika dan dinamika politik elektoral tidak selalu linier dengan logika politik moral melalui jalur informal & ketokohan dan keumatan.
Keempat, membentuk atau bergabung dengan parpol dalam politik praktis yang pragmatis, akan menghilangkan kharisma sosok Habib. Habib yang telah menjelma menjadi entitas politik dengan basis massa yang diperhitungkan lawan maupun kawan, akan tunduk pada konstitusi partai.
Sosok Habib hanya akan dimanfaatkan untuk mendongkrak elektabilitas partai. Sementara pikiran dan pandangan Habib, belum tentu diadopsi partai.
Akan lebih bermakna dan efektif, jika Habib, yang telah melembaga menjadi entitas politik, membangun koalisi informal dengan kalangan di luar dan dalam lingkaran politik formal, dari berbagai latar belakang, namun tetap berorientasi pada Islam dan keumatan. Bagaimanapun, isu penegakan syariah Islam wajib menjadi pengikat gerakan yang dilakukan secara kolektif, terstruktur, sistematis dan massif, sampai terjadi perubahan diluar sistem.
Saya kira ini pandangan saya, terlepas ada persamaan namun memiliki perspektif yang berbeda dengan Abdurrahman Syebubakar. [].
0 Komentar