[Catatan Hukum Kritik Politik Hukum Pemerintah Terhadap UU Cipta Kerja]
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah
Kontroversi pengesahan RUU Cipta Kerja memang membuat berbagai kalangan geram. Tidak hanya buruh, seluruh sektor yang terdampak akibat perubahan 79 UU dalam satu produk legislasi ini, mengajukan kritik.
Sampai akhirnya, RUU disahkan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pengesahan yang tergesa-gesa, menambah masalah dalam proses pembentukannya.
Akibat adanya cacat prosedur dan substansi UU Cipta Kerja, maka banyak pihak yang menyarankan Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Bahkan, elemen buruh dan mahasiswa menuntut terbitnya Perppu.
Aspirasi terhadap terbitnya Perppu ini hanya pada dua model utama :
Pertama, Perppu yang membatalkan UU Nomor 11 Tahun 2020, yang pada pokoknya Perppu ini mementahkan keseluruhan materi muatan UU Cipta Kerja. Selanjutnya, DPR dipersilahkan menyusun ulang produk legislasi dengan benar-benar memperhatikan aspirasi rakyat.
Kedua, Perppu yang menunda keberlakuan UU Nomor 11 Tahun 2020, yang pada pokoknya Perppu ini sementara membekukan keberlakuan keseluruhan materi muatan UU Cipta Kerja. Selanjutnya, DPR dipersilahkan melakukan Legislatif Review agar produk legislasi dengan benar-benar memperhatikan aspirasi rakyat. Dan barulah, UU diberlakukan kepada rakyat.
Dua model tuntutan Perppu ini muncul karena proses pembentukan UU Cipta Kerja sangat Jorok dan brutal. Jorok, karena proses pembentukannya melanggar UU No 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan UU No 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Brutal, karena substansi tidak memenuhi kaidah-kaidah substansi hukum dan perundangan serta menentang aspirasi publik. Di kluster ketenagakerjaan misalanya, sejumlah norma yang diubah ditentang Buruh karena mengurangi bahkan menghapus hak-hak dasar buruh.
Namun, nampaknya pemerintah sengaja tutup mata dan pura-pura tidak mengetahui substansi tuntutan Perppu yang diinginkan rakyat. Pemerintah, melalui Menkopolhukam berusaha membelokkan substansi Perppu pada revisi sejumlah norma yang dilakukan oleh Presiden.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, Pemerintah belum membuka peluang menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Mahfud mengatakan, opsi tersebut belum dibuka karena dinilai dapat menimbulkan perdebatan baru terkait isi UU yang diubah melalui perppu.
"Ada juga yang mengusulkan, dibuat saja perppu, gitu, agar diubah. Itu sekarang belum menjadi opsi pemerintah karena begini, kalau mengubah perpu nanti akan ramainya itu kenapa perpunya hanya mengubah (masalah) itu," kata Mahfud dalam webinar 'Telaah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja' yang disiarkan melalui akun Youtube Universitas Gadjah Mada, Selasa (17/11/2020).
Pernyataan Mahfud ini ingin mengalihkan tuntutan Perppu pembatalan atau penundaan UU Cipta Kerja, menjadi Perppu yang mereview UU Cipta Kerja.
Syahdan, Mahfud justru buang badan. Meminta masyarakat menuntut DPR untuk melakukan Legislatif Review, atau ke MK untuk melakukan Yudisial Review. Bahkan, celakanya masyarakat diminta menyampaikan aspirasi dengan memberi masukan pada penyusunan sejumlah aturan turunan (PP dan Perpres).
UU Cipta Kerja ini permintaan Presiden, usulan eksekutif. Namun, Mahfud MD justru melempar kritik rakyat ke DPR, melalui mekanisme legislatif review. Proses hukum ke MK juga merupakan dalih klasik, karena selama ini uji materi ke MK terhadap sejumlah UU kontroversi berakhir tragis.
Penulis yakin, pemerintah bukannya tak paham tuntutan terbitnya Perppu adalah terkait pembatalan atau penundaan keberlakuan UU Cipta Kerja. Namun, pemerintah melalui Menkopolhukam sengaja membelokkan wacana Perppu kearah review UU.
Celakanya, pemerintah juga akhirnya buang badan ke MK dan DPR, berdalih yudisial review dan legislatif review. Lebih parah, opsi Perppu dengan berbagai varian aspirasi juga dikunci, dengan kenyataan belum membuka opsi terkait hal ini.
Dari sikap pemerintah yang mengunci pintu terbitnya Perppu, nampak jelas politik hukum yang dibangun pemerintah dalam menyusun kebijakan perundang-undangan adalah kebijakan politik oligarki bukan berorientasi pada kepentingan rakyat. Bagi pemerintah, yang penting investor dan para kapitalis puas, rakyat lemas tak perlulah cemas. [].
0 Komentar