Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Tulisan ini adalah kelanjutan, dari seri tulisan yang mengungkapkan Demokrasi bukan Islam dan Islam bukan demokrasi. Antara Islam dan demokrasi, bertentangan secara filosofis, epistemologi, dan akar kesejarahannya.
Tulisan ini, merupakan tanggapan sekaligus jawaban buat Bang Tony Hasyim dalam sebuah GWA, yang mempertanyakan otoritas pemutus perkara dalam musyawarah Islam. Hal ini berangkat dari subtansi musyawarah (Syuro') dalam Islam terbagi atas tiga kriteria :
Pertama, jika musyawarah membahas tentang hukum Syara', halal haram, terpuji dan tercela, maka keputusan akan diambil berdasarkan kekuatan dalil. Suara mayoritas tak bernilai dalam perkara ini.
Kedua, jika musyawarah membahas perkara yang butuh keahlian, pendapat ahli akan dijadikan sandaran putusan musyawarah. Suara mayoritas juga tak bernilai dalam perkara ini.
Ketiga, jika musyawarah membahas hal teknis, mengutamakan kemaslahatan diantara kemaslahatan lainnya, barulah suara mayoritas mengikat sebagai dasar penetapan keputusan musyawarah.
Adapun, siapa yang punya otoritas memutuskan perkara dalam musyawarah ? Jawabnya adalah sebagai berikut :
Musyawarah selalu dipimpin pimpinan musyawarah, dalam Islam pimpinan musyawarah inilah yang memiliki otoritas untuk mengambil keputusan dan mengikat bagi peserta musyawarah.
Jika musyawarah itu dalam lingkup keluarga, maka suami adalah pemegang kewenangan sebagai pimpinan musyawarah. Keputusan suami atau ayah, mengikat bagi seluruh keluarganya.
Jika itu dalam lingkup organisasi, jamaah, partai politik, ormas, maka pimpinan atau ketua Jamaah, ketua partai, ketua ormas adalah pemilik otoritas memutuskan perkara. Putusan ketua mengikat bagi seluruh anggotanya.
Bagaimana dengan keputusan untuk melakukan jihad ? Memotong tangan pencuri ? Menghapus riba ? Menetapkan dan menarik duta dan Konsul ? Mengikat perdamaian atau perang dengan negara kafir ? Membagikan harta ghanimah ?
Jawabannya, semua ini ada pada Khalifah yakni pimpinan tertinggi kaum muslimin. Keputusan Khalifah ini mengikat bagi seluruh kaum muslimin, karena Khalifah adalah Amir bagi seluruh kaum muslimin.
Hukum potong tangan, misalnya. Meskipun telah dimusyawarahkan, serta sandaran dalilnya jelas, tetapi otoritas yang berhak menghukum hanya Khalifah, baik secara langsung maupun melalui pendelegasian via lembaga peradilan (Al Qadla).
Suami tak berhak memutuskan memotong tangan istrinya, meskipun terbukti mencuri. Pimpinan Muhammadiyah tak berwenang memotong tangan anggota Muhammadiyah yang mencuri, meskipun itu diniatkan meneladani syariat Nabi Muhammad Saw. Ketua NU tak bisa memotong tangan atau merajam anggota NU, meskipun terbukti mencuri atau zina.
Semua itu kewenangannya ada pada Khalifah, yang didelegasikan melalui peradilan Islam. Seseorang, bersih dari segala tuduhan dan tak bisa diberikan sanksi, kecuali atas kekuatan putusan pengadilan.
Yang berhak menetapkan perang, damai, mengikat perjanjian, mengambil dan mendistribusikan harta zakat, menghapus riba, hingga membagikan harta ghanimah, semuanya ada pada Khalifah. Dalam perkara rincian, yang terdapat perbedaan pandangan, keputusan Khalifah lah yang mengikat bagi seluruh kaum muslimin.
Ketika Khalifah Abu Bakar membagi harta Ghanimah secara merata tanpa memperhatikan peran dan kedudukan penerima Ghanimah, Umar RA protes. Tetapi protes Umar tidak mengikat, karena bukan keputusan Khalifah.
Saat Umar RA menjadi Khalifah, barulah kebijakan pembagian ghanimah diberlakukan secara proporsional, sesuai dengan andil dan peran penerima ghanimah. Umar bisa melaksanakan ijtihad nya, setelah dirinya memiliki wewenang sebagai pemutus musyawarah tertinggi dalam Islam, yakni setelah dirinya menjadi Khalifah.
Demikianlah, forum musyawarah tertinggi dalam Islam yang hasil keputusannya mengikat bagi seluruh kaum muslimin adalah musyarawah dalam daulah khilafah yang dipimpin seorang Khalifah. Sementara, otoritas tertinggi untuk memutuskan perkara yang mengikat bagi seluruh kaum muslimin ada pada Kalifah, selaku Amir bagi seluruh kaum muslimin. [].
0 Komentar