Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Salah satu mitos yang dijadikan dalih menolak Khilafah, setelah tak memiliki dalil syar'i adalah dengan mengangkat narasi kesepakatan bangsa, berupa Pancasila, yang dianggap tabu untuk diperselisihkan, dan menolak seluruh ide dan ajaran selainnya. Padahal, sejak pembahasan, hingga penetapan Pancasila 22 Juni, yang diadopsi sebagai mukoddimah konstitusi, lalu diubah sepihak melalui Pancasila konsepsi 18 Agustus, hingga keinginan kembali ke Pancasila 1 Juni ala Soekarno, sesungguhnya Pancasila dipenuhi konflik dan tak pernah ada kesepakatan yang disepakati. Yang ada hanyalah kesepakatan yang diadopsi penguasa.
Konsepsi Pancasila dan UUD 45 melalui dekrit presiden 5 Juli 1959, juga bukan merupakan kesepakatan bersama. Namun, konsepsi Pancasila yang diadopsi Soekarno.
Jadi, Pancasila 22 Juni tidak mengikat bagi Pancasila 18 Agustus, Pancasila 18 Agustus tidak mengikat bagi Pancasila 1 Juni. Itulah sebabnya, PDIP ingin merubah ruh Pancasila 18 Agustus menjadi Pancasila 1 Juni melalui RUU HIP.
Secara praktik, semua kesepakatan yang dibuat penguasa selaku pengelola Negara, secara pemikiran faktanya tidak mengikat bagi rakyat. Misalnya, kesepakatan negara untuk utang, kesepakatan untuk menjual aset-aset negara, kesepakatan negara (antara DPR dan pemerintah) dalam mengeluarkan UU Cipta Kerja, UU KPK, UU Covid-19, itu semua secara pemikiran tak mengikat bagi rakyat. Rakyat berhak memiliki pemikiran yang tak sejalan bahkan berseberangan dengan negara.
Lembaga MK adalah contoh lembaga yang mengadili perkara perbedaan pandangan dan pendapat antara rakyat dengan penguasa atas sejumlah kebijakan perundang-undangan negara. Warga negara yang berbeda pendapat boleh menggugat ke MK, boleh juga menempuh dengan sarana menyampaikan pendapat dimuka umum yang merupakan hak konstitusional yang dijamin Negara.
Oleh sebab itu, saya menyatakan berbeda pandangan atas konsepsi Pancasila yang diadopsi Negara dan menyatakan tak terikat secara pemikiran terhadapnya. Adapun berkaitan dengan pemikiran politik, saya terikat dengan dalil syar'i dan mengikuti apa yang telah disepakati oleh para sahabat Ridwanullahu Ajma'in.
Pasca Rasulullah Saw meninggal dunia, para sahabat bersepakat mendirikan sistem Khilafah, bukan kerajaan, bukan kekaisaran, bukan imperium bukan pula Republik.
Kesepakatan sahabat ini disebut Ijma' Sahabat, dan diikuti oleh seluruh generasi umat Islam setelahnya, hingga runtuhnya Kekhilafahan Islam di Turki Utsmani, pada tahun 1924. Karena itu, jika umat ini ingin terikat dengan kesepakatan para pendahulu, sesungguhnya terikat dengan kesepakatan para sahabat RA adalah jalan yang yang paling selamat baik dunia maupun akhirat.
Lagipula, kesepakatan itu hanya berlaku bagi yang membuat kesepakatan dan pihak yang mengikuti atau menundukkan diri pada kesepakatan yang dibuat. Kenapa Negara ASEAN tunduk pada UNCLOS ? karena mereka meratifikasi konvensi hukum laut itu. Kenapa China dan Amerika tidak tunduk pada UNCLOS ? Membawa kapal mereka (termasuk kapal perang) ke Laut Cina Selatan ?karena keduanya tidak meratifikasi konvensi hukum laut itu. Jadi mereka tidak terikat dengan kesepakatan UNCLOS.
Sekarang agar fair, biarkan siapapun yang ingin ikut bersepakat dengan Pancasila dan ikut menundukkan diri pada kesepakatan itu untuk mengikutinya. Sedangkan bagi siapapun, yang tidak ikut membuat kesepakatan, tidak pula ikut menundukkan diri dengan kesepakatan itu, tidak boleh dipaksa.
Adapun terkait hukum pemerintahan dan perundangan, biarlah alami berevolusi sesuai dengan perubahan kesepakatan berbangsa yang pada faktanya telah terjadi. Perubahan UUD 45, adalah bukti adanya perubahan kesepakatan berbangsa. Jika ingin kembali ke UUD 45, bisa juga asal disepakati. Termasuk Khilafah, sepanjang segenap elemen anak bangsa bersepakat akan Khilafah, tentu Khilafah juga merupakan pilihan keniscayaan bagi masa depan bangsa ini. [].
0 Komentar