REZIM MAKIN KALUT, GILIRAN TITO SEBAR TEROR KEPADA KEPALA DAERAH


Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Menterian Dalam Negeri mengeluarkan Instruksi Nomor : 6 tahun 2020, tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Covir-19. Ada 6 (enam) poin instruksi Mendagri dalam surat yang diteken tanggal 18 Nopember 2020.

Dalam diktum ke-empat, Mendagri menegaskan atas adanya resiko "PEMECATAN KEPALA DAERAH" yang tidak menjalankan instruksi, dengan mengutip ketentuan pasal 78 UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Kepala Daerah diteror akan 'diberhentikan' jika melanggar sumpah jabatan dan tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah. Tentu, termasuk didalamnya jika tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam instruksi Mendagri.

Luar biasa ketakutan rezim, rezim begitu takut atas adanya pembangkangan umum dari kepala daerah. Sebab, pada kasus UU Cipta Kerja, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan sejumlah kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota menyuarakan aspirasi penolakan. Baik beralasan meneruskan aspirasi daerah, atau terbuka aspirasi Pemda. Karena sejumlah kewenangan Pemda, dipangkas oleh UU Cipta Kerja.

Instruksi ini tak lepas dari konteks kepulangan HRS, gerakan revolusi HRS, dan pemanggilan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Pandemi di negeri ini ditetapkan menjadi bencana non alam sejak Maret 2020. Kenapa instruksi Tito baru keluar hari ini ?

Ini bukan instruksi pengendalian Covid-19, tapi instruksi untuk mengendalikan gerakan Revolusi Akhlak HRS yang akan keliling Indonesia. Tito mengultimatum Pemda agar tak membuka ruang ceramah bagi HRS. Bukan kumpul-kumpul untuk mencegah Covid.

Buktinya, sejumlah kumpul-kumpul pro rezim selama ini dibiarkan saja. Bahkan, rezim telah mengumumkan New Normal. Kapolri telah mencabut maklumat larangan kumpul-kumpul.

Kebijakan penanganan covid-19 tak lagi berbasis analisis medis tapi telah bergeser menjadi persoalan politis. Protokol kesehatan, saat ini bukan saja digunakan untuk mengendalikan Covid-19, tapi juga untuk mengendalikan (baca : membungkam) kritik publik kepada rezim.

Kalau acara kumpul-kumpul itu memuji muji rezim, membanggakan rezim, bersorak Sorai untuk rezim, protokol akan diabaikan. Namun, jika kumpul-kumpul itu mengkritik rezim, membongkar sejumlah makar rezim, sudah pasti protokol akan muncul seperti herder yang menyalak untuk melindungi kekuasaan rezim.

Seperti instruksi Tito ini yang gampang mengumbar 'pecat' kepada pimpinan daerah. Memangnya Gubernur, bupati dan walikota menjadi pejabat karena ditunjuk Jokowi ? Mereka, mendapat mandat kekuasaan langsung dari rakyat. Jadi, presiden tak bisa seenak udel memecat kepala Daerah. Pemecatan juga bukan oleh alasan politis. Aneh anah saya Mendagri ini.

Yang jelas, rakyat sudah cerdas. Tak bisa ditakut-takuti atau dibodoh-bodohi. Apalagi Kepala Daerah, mereka 'berdarah' memperoleh jabatan, enak saja Mendagri main pecat. [].

Posting Komentar

0 Komentar