Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Polri menyatakan tak akan memberikan izin keramaian untuk acara Reuni 212 di Monumen Nasional (Monas) pada 2 Desember mendatang. Keterangan ini disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono. (17/12/2020).
Kebijakan ini, diduga kuat adalah tindak lanjut dari proses hukum sebelumnya yang dilakukan Polri terhadap pelanggar protokol pendemi. Tidak tanggung-tanggung, untuk memberikan dalih legitimasi akan bertindak tegas, Dua Kapolda dan beberapa Kapolres dicopot dari jabatannya.
Sebelumnya, Menkopolhukam juga mengumbar narasi negara tak boleh kalah dengan para pelanggar protokol kesehatan. Ujaran ini, bisa dimaksudkan sebagai 'Negara tidak boleh kalah dengan HRS", karena ihwal persoalan yang melatarbelakangi pernyataan Mahfud MD adalah acara yang diselenggarakan HRS baik di Petamburan maupun di Mega Mendung.
Sejalan dengan hal itu, sebelumnya Panglima TNI juga mengultimatum siapapun yang mengedarkan provokasi berdasarkan identitas tertentu yang ditudingnya memecah persatuan. Lagi-lagi, konteks pernyataan ini juga tak lepas dari pesan politik rezim untuk HRS.
PA 212 sendiri melalui KH Slamet Ma'arif telah menyatakan menunda pelaksanaan Reuni 212 tahun 2020. Dengan catatan, PA 212 akan mengkaji dinamika Pilkada. Jika proses penyelenggaraan Pilkada melanggar protokol pendemi, opsi penyelenggaraan Reuni masih dipertimbangkan dengan waktu yang dinilai tepat. Pernyataan ini wajar, karena narasi 'menegakkan disiplin protokol pandemi" dinilai rakyat hanyalah lips service semata.
Gibran putra Jokowi mendaftar Pilkada melanggar protokol kesehatan. Anggota DPRD Tegal bikin acara dangdutan melanggar protokol kesehatan. Sejumlah kegiatan sosialisasi dan kampanye Pilkada melanggar protokol kesehatan. Namun, tak ada sanksi tegas apalagi hingga mencopot Kapolda dan Kapolres di wilayah dan daerah berkenaan.
Semua dilakukan dalam rangka antisipasi pengaruh HRS yang belum bisa diprediksi rezim. Membiarkan kepulangan HRS dengan sambutan meriah, adalah salah satu kesalahan dan rezim merasa kecolongan.
Dari Mekah saja, HRS mampu memberikan instruksi dan komando yang menyulitkan rezim. Apalagi, ketika HRS berada bersama kaumnya.
Upaya kebijakan isolasi politik yang gagal diterapkan di luar negeri, dicoba dilanjutkan pasca kepulangannya. Gerak dan langkah politik HRS dibelenggu, salah satunya berdalih protokol pandemi.
Karena itu, publik sebenarnya dapat membaca bahwa rezim sedang berusaha melakukan perlawanan terhadap perjuangan dan gelora Revolusi Akhlak yang digaungkan HRS, dengan bermanuver menggunakan dalih menegakkan disiplin protokol kesehatan. Pengaruh HRS harus dikendalikan bahkan dikerdilkan.
Rezim Jokowi yang mengusung Revolusi Mental, tentu tak ingin terjadi kegandrungan publik yang meluas terhadap gerakan Revolusi Akhlak. Slogan Kerja, Kerja dan Kerja sebagai narasi utama Revolusi Mental akan sayup dan hilang ditelan kebisingan narasi dakwah, dakwah dan dakwah yang akan menjadi narasi utama Revolusi Akhlak. Teriakan 'Merdeka' akan ditelan gema takbir 'Allahu Akbar !'.
Sampai kapanpun, Al Haq dan Al Batil akan menjadi seteru abadi. Tidak akan berkumpul antara air dan minyak. Kepada segenap umat Islam, saya ucapkan : Selamat Datang Di Era Pertarungan Politik Babak Baru. Revolusi Akhlak vs Revolusi Mental. [].
0 Komentar