Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik.
"Jangan samakan kasusnya (kerumunan di acara Habib Rizieq) itu, ini kan ceritanya sekarang masalah apa, tahapan pendaftaran pilkada, itu kan urusannya ada pilkada. Itu pilkada ada siapa pengawasnya, (Bawaslu) iya jadi prosesnya kan ada, undang-undangnya kan ada, peraturan kan ada,"
[Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu, 18/11/2020]
Setelah publik mengkritik penegakkan hukum yang pandang bulu, tidak equal, tebang pilih, pilih tebang, kini Polri angkat suara. Menurut Polri, kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan Gibran Putra Jokowi urusannya Bawaslu, Lex Spesialis, urusan Pilkada. Berbeda dengan kasus HRS yang tak bisa dijangkau oleh Bawaslu.
Jadi, untuk pelanggaran kasus HRS Polri harus turun tangan langsung, namun untuk Gibran cukup Bawaslu dan cukup diselesaikan secara administratif, tak perlu pendekatan pidana. Ah sepertinya, saya yang merasa bodoh atau seluruh rakyat NKRI dianggap bodoh ?
Baiklah, kira urai dan diskusikan.
Pertama, jika urusan HRS murni tak terkait Pilkada, kumpul-kumpul yang melanggar protokol kesehatan di masa pandemi. Bagaimana dengan pengajian Kliwonan Habib Luthfi bib Yahya pada 16 Oktober lalu yang juga melanggar protokol kesehatan dimasa pandemi ? Apakah, dua habib ini memiliki strata berbeda dimata Polri sehingga ada perbedaan perlakuan ?
Mungkinkah, Gubernur Jateng diperiksa karena kumpul kumpul di acara Habib Luthfi ? Mungkinkah, Kapolda Jateng di copot dari jabatannya ? Jawabnya, tidak mungkin, dan tak pernah akan terjadi.
Kedua, dalam pidana Pilkada itu ada Gakumdu yang bisa meningkatkan status pelanggaran pada proses pidana. Kenapa kasus Gibran putra jika Jokowi hanya dihentikannya cukup dengan tindakan Bawaslu ? Ah semua terserah pada penguasa, mau sampe pidana atau cukup di Bawaslu. Sampai disini kami tak membutuhkan klarifikasi.
Penegakan hukum bukan lagi murni menegakan keadilan. Hukum telah berubah menjadi instrumen politik. Yang pro, hukum diabaikan. Yang kontra, hukum ditegakkan.
Deretan nama-nama seperti Ade Armando, Abu Janda, Sukmawati hingga Deni Siregar adalah contoh kongkritnya. Mereka ini gembong pelanggar hukum, tapi aman dari jeratan hukum.
Ketiga, sudah banyak pelanggaran kumpul-kumpul dimasa pandemi. Misalnya, Ratusan Orang Hadiri Resepsi Kapolsek Kembangan disaat Corona. Konon, pejabat tinggi Polri (Wakapolri) juga menghadiri acara tersebut.
Faktanya Wakapolri tidak ditindak secara hukum. Kapolsek juga hanya dimutasi, tidak ditindak secara pidana menggunakan pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Kenapa pada kasus Maulid Nabi Muhammad Saw di kediaman HRS dipersoalkan bahkan hingga ke ranah pidana ? Kenapa, polri hingga memanggil Gubernur DKI Jakarta dan KH Abdullah Abdurrasyid asy Syafi'i ?
Jadi sudahlah, terbuka saja. Sandiwara ini sungguh membuat rakyat tambah bingung. Semakin di klarifikasi, semakin bikin sakit hati.
Rakyat mendambakan polisi yang melindungi dan mengayomi. Bukan polisi yang justru memamerkan ketidakadilan. Semua ini terjadi, diera rezim Jokowi. [].
0 Komentar