NO JUSTICE, NO PEACE, LINDUNGI BURUH DAN RAKYAT


[Pengantar Diskusi Online yang diadakan Oleh Silaturahmi Pekerja Buruh Rindu Surga]

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Sore ini, Ahad 1 November 2020, pada pukul 15.30, Penulis direncanakan hadir sebagai salah satu Nara Sumber Diskusi Online yang diselenggarakan oleh Silaturahmi Pekerja Buruh Rindu Surga (SP BRS). Tema yang diangkat 'No Justice No Peace, Lindungi Buruh, Lindungi Rakyat'.

Temannya agak lebai, atau lebih tepatnya hiperbolis. Mengingat, ada semacam konfrontasi pemikiran antara Keadilan vs Kedamaian. Tema seolah menyampaikan pesan : kedamaian hanya wujud jika keadilan ditegakkan. Sebaliknya, akan terjadi 'huru hara' jika keadilan tidak ditegakkan.

Tema ini, masih menyikapi pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Memang, sulit untuk membendung aksi demontrasi berjilid-jilid terkait penolakan UU Cipta Kerja, jika pemerintah tidak bertindak adil. Adil yang dimaksud rakyat khususnya buruh, adalah tindakan membatalkan UU tersebut melalui penerbitan Perppu.

Jika tidak, rasanya 'ribut-ribut' demo menentang UU Cipta Kerja sulit dihindari. Kendati, pemerintah dan DPR begitu gigih mengkampanyekan kebaikan UU yang disahkan dengan penuh kontroversi.

Wajar saja, karena buruh maupun rakyat mampu mengindera masalah dalam UU Cipta Kerja sekaligus paham apa yang menjadi kebutuhannya. Ruh UU Cipta Kerja yang mengejawantahkan konsepsi Privatisasi, Deregulasi dan Liberalisasi, hanya menguntungkan kaum kapitalis.

UU ini tidak berpihak pada Rakyat khususnya buruh. Hak-hak dasar buruh terkait Jaminan Kerja, Jaminan Upah dan Jaminan Sosial yang diatur melalui UU Ketenagakerjaan (UU 13/2003) bukannya diperbaiki malahan direduksi. Sejumlah hak dasar buruh dibreidel melalui penghapusan, perubahan dan penambahan norma hukum di kluster ketenagakerjaan.

Misalnya : isu PKWT yang dapat diterapkan seumur hidup, komponen kompensasi PHK, berkurangnya hitungan pesangon, hak cuti tertentu yang direduksi, telah mendapat penentangan dari buruh.

Sementara rakyat umum akan dirugikan, sering perubahan norma peraturan pada UU Nomor 2 Tahun 2012. UU Omnibus Law memberikan mandat kepada Tim Penilai sebagai penentu nilai ganti kerugian yang bersifat final dan mengikat. Norma ini tentu akan sangat merugikan pemilik tanah, merugikan rakyat yang tanahnya terdampak proyek berdalih kepentingan dan pembangunan nasional.

Secara umum ada 79 atau 81 UU yang direvisi sekaligus melalui UU Omnibus Law Cipta Kerja dengan semangat Privatisasi, Deregulasi dan Liberalisasi, yang berorientasi pada investasi. Jelas, hanya kepentingan investor para kapitalis saja yang diuntungkan, sementara rakyat hanya menjadi jongos di negeri sendiri.

Uniknya, rezim mengobarkan narasi agar rakyat melakukan kritik secara intelektual melalui MK. Dikiranya, rakyat hanya cerdik di aksi demonstrasi tapi tak mampu berargumentasi secara intelektual. Faktanya, pemerintah dan DPR lah yang tak siap secara intelektual untuk menghadapi kritik rakyat, dengan terburu-buru mengesahkan UU dimaksud.

Pada banyak acara di media, pemerintah dan DPR justru terlihat keok secara intelektual ketika berhadapan dengan elemen masyarakat sipil saat diskusi detail mengenai UU Cipta Kerja. Karena kalah secara intelektual, pemerintah kemudian mengedarkan narasi hoax pada para pengkritik UU Cipta Kerja.

Ada upaya agar rakyat mengambil jalur konstitusional melalui MK. Padahal, demontrasi adalah saluran aspirasi yang juga dijamin konstitusi. Rakyat berhak memilih secara bebas, apakah menggunakan saluran demonstrasi maupun jalur MK.

Terpisah, MK telah dinilai publik tak lagi mampu membela kepentingan rakyat. MK lebih condong menjadi garda penjaga kekuasaan rezim, bukan penjaga Konstitusi.

UU Cipta Kerja sekali lagi menegaskan, bahwa kedaulatan dalam sistem demokrasi bukanlah ditangan rakyat melainkan ditangan oligarki. Kekuatan pemodal, partai politik, penguasa dan kelompok kepentingan, lebih memiliki kedaulatan ketimbang suara rakyat. [].

Posting Komentar

0 Komentar