Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Salah satu Qoul (kata-kata) Imam Malik yang terkenal adalah komentarnya terkait pendapat atau ijtihad sahabat. Menurut beliau, ijtihad sahabat tidak mengikat sebagai dalil syara', sementara Ijma' Sahabat berlaku sebagai Dalil Syara'.
Maksudnya, beliau tidak akan menyelisihi apa yang disepakati oleh para sahabat RA, tetapi terkait ijtihad sahabat, beliau hanya mengikuti jika terdapat dalil yang menguatkan, dan akan berijtihad sendiri jika dalil nya lemah.
Sebab, jaminan keridhoan Allah SWT adalah pada kesepakatan sahabat, keridhoan sahabat. Para sahabat, dimungkinkan secara personal bermaksiat (keliru), namun secara bersama-sama mustahil bersepakat dengan kemaksiatan.
Karena itu, terkait pendapat sahabat, imam Malik RA berkata: mereka (sahabat) adalah laki-laki, sementara kami juga laki-laki. Artinya, sebagai seorang laki-laki yang memiliki kapasitas berijtihad, Imam Malik merasa tak terikat dengan ijtihad sahabat.
Begitu juga pandangan saya terhadap bapak pendiri bangsa, mereka semua laki-laki, kami juga laki-laki. Mereka bisa berpendapat dan bersepakat tentang urusan berbangsa dan bernegara, kami juga punya pendapat dan bisa melakukan rekonsensus terhadap nilai nilai dan norma yang mengatur urusan berbangsa dan bernegara.
Tak ada satupun dalil, yang memerintahkan kami taat kepada kesepakatan para pendiri bangsa. kami hanya mentaati Al Qur'an dan as Sunnah, serta semua tindakan dan kesepakatan yang disandarkan dari keduanya.
Jika kesepakatan itu justru digunakan untuk menentang Al Qur'an dan as Sunnah, menolak hukum Allah SWT, menolak ajaran Islam Khilafah, kami menyatakan berlepas diri dan mengambil pandangan sendiri. Tak ada ketaatan kepada Makhluk atas maksiat kepada Allah SWT.
Menolak syariat Islam, menolak ajaran Islam khilafah adalah maksiat meskipun dibungkus kesepakatan bangsa. Padahal, dulu juga tak ada kesepakatan yang diambil dari seluruh rakyat melalui referendum umum. Semua hanyalah klaim kesepakatan, dan akhirnya kesepakatan itu juga diubah ubah menjadi semakin sekuler.
Negeri ini adalah bagian dari bumi Allah SWT, dimana Allah SWT dan hukumnya juga wajib diterapkan di negeri ini. Adapun jika belum diterapkan, maka Umat Islam wajib memperjuangkan.
Jangan sampai umat Islam tertipu, dengan narasi yang seolah mengatasnamakan Islam, mengatasnamakan ulama, padahal bertentangan dengan syariat Islam. Umat wajib kembali merujuk Al Qur'an dan as Sunnah, agar tidak tergelincir dalam maksiat dan kesesatan.
Hanya saja, kami meyakini para ulama kakek buyut kami pendiri bangsa ini, jelas menginginkan syariah Islam, menginginkan tegaknya hukum Allah SWT. Itulah sebabnya, mereka bersepakat pada piagam Jakarta yang menyatakan kewajiban menjalankan syariat Islam. Namun, akhirnya kesepakatan menjalankan syariat Islam itu dikhianati.
Karena itu, sejatinya perjuangan kami yang ingin mengembalikan syariat Islam, mengembalikan hukum Allah SWT, menegakkan hudud, menegakkan qisos, tajir dan mukholafah, adalah sejalan dengan pandangan kakek buyut kami Buya Hamka, HOS Cokroaminoto, KH Hasyim Asy'ari, Abdul Kahar Muzakar, H Agus Salim, KH Wahid Hasyim, dan para ulama terdahulu. Jadi, jangan benturkan perjuangan syariah Islam ini dengan syariah Islam yang diperjuangkan kakek buyut kami. [].
0 Komentar