Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
"Siapa yang berhak mengawasi, mengkritisi dan mengevaluasi kinerja khalifah? apakah rakyat masyarakat sipil masih bisa mendapatkan kebebasan untuk mengkritik khilafah ? kalau khalifah melanggar konstitusi,siapa yang berhak memberhentikan khalifah? Bagaimana khalifah itu bisa merepresentasikan aspirasi rakyat kalau dia tidak di pilih oleh rakyat ?"
[Netizen, GWA Tokoh Nasional, 20/11]
Saat penulis mengunggah artikel berjudul "SAYA PILIH NEGARA KHILAFAH BERBENTUK KESATUAN, BUKAN FEDERAL' ada satu anggota GWA mempertanyakan beberapa substansi penting tentang Khilafah. Penulis menyebutnya Netizen, karena banyak anggota GWA yang tidak penulis kenal.
Pertanyaan Netizen tersebut diantarnya :
1. Siapa yang berhak mengawasi, mengkritisi dan mengevaluasi kinerja khalifah?
2. Apakah rakyat masyarakat sipil masih bisa mendapatkan kebebasan untuk mengkritik Khilafah ?
3. Kalau khalifah melanggar konstitusi,siapa yang berhak memberhentikan khalifah?
4. Bagaimana khalifah itu bisa merepresentasikan aspirasi rakyat kalau dia tidak di pilih oleh rakyat ?
Baiklah, kita mulai diskusinya. Mohon untuk menyimak dengan baik.
Harus dipahami, bahwa Khilafah adalah Negara Manusiawi (Basyariah), bukan Negara Teokrasi (Ilahiyah). Maknanya, Negara Khilafah yang dipimpin Khalifah bisa salah, keliru, khilaf atau lupa. Negara Khilafah bukanlah Negara suci yang terbebas dari aib dan cela.
Hanya saja, kesalahan itu diukur dengan standar Syariah dan meluruskannya juga bersandar pada Syariah. Misalnya, Khalifah tidak dipandang keliru, karena melarang (mengharamkan) harta yang terkategori Al Milkiyatul Ammah (barang milik umum), untuk dikelola individu, korporasi swasta dan asing.
Sebab, dalam timbangan syara' rakyat tidak dibenarkan mengkritik Khalifah karena tidak memberikan izin konsesi menambang bagi individu, swasta maupun asing. Karena tambang dengan deposit melimpah, bukanlah milik individu, swasta maupun asing. Melainkan milik umum, milik seluruh rakyat, dimana Khilafah bertindak sebagai wakil rakyat untuk mengelola tambang dan mengembalikan hasilnya kepada rakyat baik dalam bentuk layanan umum, fasilitas umum, subsidi rakyat atau dalam bentuk natural hasil tambang kepada rakyat selaku pemiliknya.
Rakyat juga tak bisa mengkritik Khalifah karena mengharamkan riba, dengan dalih riba dibutuhkan untuk menggerakkan roda ekonomi. Larangan riba yang ditetapkan Khalifah bersifat mutlak, kerena bersumber dari Al Qur'an dan as Sunnah.
Namun, apabila Khalifah tidak menarik Zakat, padahal Al Qur'an telah mewajibkan kaum muslimin untuk membayar zakat dan Khalifah yang bertindak sebagai Amil nya, maka kritik semacam ini wajib dilakukan dan didengar Khalifah. Bahkan, Khalifah dapat dimakzulkan jika tidak mau menegakkan hukum wajibnya zakat.
Pada saat Khalifah Umar bin Khattab RA menetapkan kebijakan menentukan batas maksimum mahar bagi kaum muslimah, ada seorang wanita yang mengkritik dan menyampaikan argumen syar'i bahwa mahar itu hak kaum wanita. Dengan alasan apapun, Khalifah tidak boleh menentukan batas atau besarannya.
Sadar pendapat dan adopsi hukum yang diambil Khalifah keliru, seketika dan serta merta Khalifah Umar RA membatalkan UU pembatasan mahar tersebut.
Adapun dalam konteks Negara Khilafah, karena negara ini milik seluruh kaum muslimin, seluruh kaum muslimin memiliki hak untuk mengkritisi dan mengontrol kekuasaan Khalifah, termasuk rakyat dengan status ahludz dzimmah, melalui dua mekanisme :.
Pertama, melalui mekanisme kultural dimana setiap rakyat bisa langsung mengajukan kritik kepada Khalifah baik terkait penegakan hukum Syara' maupun pelayanan negara. Hanya saja, ahludz dzimah hanya berhak mengkritik atas layanan Khalifah, dan tak berwenang mengkritik dalam urusan hukum Syara'.
Setiap warga negara Khilafah, boleh mengajukan kritik secara langsung baik kepada Khalifah maupun wali, atau pejabat struktural dan administratif lainnya. Baik terkait pelaksanaan hukum Syara' maupun pelayanan dari Negara.
Ini persis seperti kritik yang dilakukan seorang Yahudi kepada Gubernur Amr bin Ash. Dan akhirnya, menghadap langsung kepada Khalifah Umar bin Khattab RA dan mengadukan kezaliman Amr Bin Ash yang menggusur rumahnya untuk pembangunan masjid.
Kedua, melalui mekanisme struktural kelembaban via Majelis Umat, yakni sebuah struktur di Daulah Khilafah yang dipilih oleh rakyat yang bertugas melaksanakan hak rakyat terhadap Negara (Khalifah). Anggota Majelis Umat bisa dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan 4 atau 5 tahun.
Majelis Umat selaku Wakil Umat (rakyat), memiliki dua fungsi utama, yaitu :
Pertama, fungsi Syuro' (musyawarah), yakni Majelis ini memiliki hak bermusyawarah dengan Khalifah untuk membahas sejumlah persoalan Negara dan keumatan.
Kedua, fungsi muhasabah dimana Majelis Umat berwenang mengoreksi dan menasehati Khalifah agar Khalifah terikat dengan hukum Syara' dan memberikan pelayanan terbaik bagi umat.
Jika masukan atau kritik dari Rakyat secara individu dan Majelis Umat diterima Khalifah, maka Khalifah tinggal mengoreksi kebijakannya. Namun, jika terjadi perbedaan pandangan Antara Rakyat secara individu dan Majelis Umat dengan Khalifah, baik terkait masalah tafsir hukum syara' atas sejumlah nas syar'i, dan apalagi jika ada ada dakwaan Khalifah telah melanggar hukum syara' yang bersifat qot'i dan terkuaklifikasi menerapkan hukum kufur yang berkonsensi pemakzulan Khalifah, maka perkara dibawah ke Mahkamah Madzalim.
Mahkamah Madzalim dimana Qadlinya adalah seorang Mujtahid, akan mengadili perkara tafsir hukum Syara' (Yudisial Review), sengketa kezaliman antara rakyat dan penguasa (Hukum Administrasi Tata Usaha Negara), sekaligus mengadili Kasus Pemakzulan terhadap Khalifah.
Jadi, Khalifah dipilih oleh rakyat baik secara langsung maupun melalui perwakilannya di Majelis Umat. Namun, rakyat maupun wakilnya di Majelis Umat tidak bisa serta merta melakukan pemecatan (pemakzulan) terhadap Khalifah.
Perkara Pemakzulan terhadap Khalifah harus diadili oleh Hakim di Mahkamah Madzalim (sejenis MK saat ini). Khalifah hanya bisa dimakzulkan atas putusan dari Mahkamah Madzalim.
Demikianlah, mekanisme kontrol terhadap Khalifah dalam Negara Khilafah. Publik khususnya umat Islam tak perlu khawatir Khalifah akan otoriter, apalagi akan dibungkam oleh Khalifah.
Justru Khalifah dan Umat akan berjalan beriringan, saling bersinergi, untuk mewujudkan visi bersama sebagai Khalifah Al Ard di dunia ini. Khalifah bisa salah, sebagaimana rakyat juga lazim melakukan kesalahan.
Semua kewenangan kekuasaan Khalifah dan kontrol kekuasaan dari rakyat, disandarkan kepada syari'at Allah SWT yakni syariah Islam. Jadi, Khalifah tak akan gengsi menganulir kebijakan agar sejalan dengan syariat. Sebaliknya, umat atau rakyat akan tumakninah dan ridlo mentaati Khalifah, karena esensinya mentaati Khalifah adalah taat pada hukum syariah, mentaati Allah SWT. [].
0 Komentar