[Catatan Advokasi Ketidakadilan Terhadap Gus Nur]
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Tim Penasehat Hukum Gus Nur
Dalam forum sidang perkara Yudisial Review Perppu Ormas tahun 2017 lalu di Mahkamah Konstitusi, penulis sebagai salah satu kuasa hukum pemohon, dalam sidang yang terbuka untuk umum menyampaikan nasehat kepada Majelis Hakim MK. Dalam forum tersebut, penulis sampaikan kepada Majelis Hakim MK yang diketuai oleh Arief Hidayat dengan ungkapan :
"Yang Mulia, jika kami (Pemohon) tidak mendapatkan keadilan dalam prosesnya, bagaimana mungkin kami mendapatkan keadilan dari putusannya ?"
Saat itu, Penulis dan 8 (delapan) pemohon lain merasa diperlakukan tidak adil oleh Majelis Hakim soal alokasi waktu. Para Pemohon sering diinterupsi hakim saat memaparkan permohonan, sementara Perwakilan Pemerintah yang saat itu diwakili oleh Tjahyo Kumolo selaku Mendagri, bebas berdeklamasi membaca seluruh keterangan pemerintah tanpa interupsi dari hakim. Nyaris satu jam lebih waktu dialokasikan, sementara kepada Pemohon baru beberapa menit, telah diingatkan dan diminta untuk segera dengan fokus menyampaikan pokok-pokok permohonan.
Bahkan, Tjahyo Kumolo selaku perwakilan pemerintah bersama Menkumham Yasona Laoly sampai offside menampilkan video di Majelis MK, diijinkan dan difasilitasi oleh MK, padahal agenda baru pembacaan tanggapan, belum pembuktian. Hal ini, mengundang protes dari Yusril Ihza Mahendra, sebagai salah satu kuasa hukum Pemohon dari HTI.
Sejalan dengan ketidakadilan proses berperkara di MK, dalam kasus Gus Nur, penulis juga mengindera adanya ketidakadilan dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri, yaitu :
Pertama, Gus Nur langsung ditangkap setelah ada laporan. Tanpa proses pemanggilan untuk diambil keterangan pendahuluan.
Padahal, untuk kasus Ade Armando, Sukmawati, Abu Janda, Muafik, hingga Deni Siregar, perkaranya tidak jelas kelanjutannya. Padahal, sudah banyak laporan polisi yang masuk.
Kedua, Gus Nur ditahan didalam situasi Pandemi. Padahal, Kapolri berjanji akan selektif melakukan penahanan, dalam rangka mendukung program pemerintah mengendalikan pandemi Covid-19.
Nyatanya Gus Nur tetap ditahan. Sementara dua tersangka Jenderal Polisi, yakni Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo tidak ditahan dalam kasus pencabutan Red Notice.
Ketiga, permohonan penangguhan dan jaminan dari para ulama, keluarga tokoh nasional hingga anggota DPR RI yang diajukan Gus Nur diabaikan. Gus Nur malah diperpanjang masa tahanannya untuk 40 hari kedepan.
Sementara Tersangka kasus Kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung yang menimbulkan kerugian hingga Rp 1.12 triliun ditangguhkan. Alasannya sederhana, ada permohonan penangguhan dari pengacara dan jaminan istri dari tersangka.
Karena itu, penulis juga kembali mempertanyakan. Jika dalam proses penyidikan saja Gus Nur tidak mendapatkan keadilan, Gus Nur tidak ditangguhkan seperti Tersangka Kasus Kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung atau tidak ditahan seperti Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo, bagaimana mungkin kelak Gus Nur akan memperoleh keadilan dari putusan pengadilan ?
Biasanya, dalam banyak kasus Hakim pengadilan tak membebaskan Terdakwa jika sudah ditahan, meskipun unsur tidak terpenuhi. Komprominya, hakim tetap memvonis minimal sama dengan masa tahanan yang dialami terdakwa, agar ada pertanggungjawaban penyidik saat melakukan penahanan.
Itulah hukum di era Jokowi. Jadi, Moeldoko tak perlu sibuk mengklarifikasi di era Jokowi tak ada kriminalisasi Ulama. Kasus Gus Nur adalah buktinya. [].
0 Komentar