KAUM MUSLIMIN MEMBUTUHKAN KONSTITUSI YANG MENJAGA KEMULIAAN RASULULLAH SAW


[Reportase Diskusi Cangkru'an Bareng Cak Slamet, bertema 'Islamophobia Presiden Perancis atas Penistaan terhadap Nabi Muhammad SAW']

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Bahagia rasanya pada Senin malam (2/11), penulis dapat membersamai KH. Muhyiddin Junaidi (Wakil Ketua Umum MUI Pusat) dan Bung Rosdiansyah S.H., M.A. (Peneliti Senior), dalam sebuah forum diskusi Cangkru'an Cak Slamet, mengambil tema *'Islamophobia Presiden Perancis atas Penistaan terhadap Nabi Muhammad SAW'*. Diskusi ini dilakukan secara online via zoom meeting dan disiarkan secara live streaming via akun Facebook dan YouTube Kaffah Channel.

Melalui forum tersebut, penulis dapat mengetahui bahwa MUI diundang dan bertemu Presiden Jokowi sebelum Presiden mengeluarkan pernyataan resmi terkait penghinaan Presiden Perancis Emanuel Macron kepada dunia Islam, pada 31 Oktober lalu. Dalam forum tersebut, MUI telah menyampaikan pokok pikirannya yang sebelumnya telah disampaikan secara resmi telah dituangkan melalui surat pernyataan Nomor: Kep-1823/DP-MUI/X/2020 tertanggal 30 Oktober 2020.

Majelis Ulama Indonesia ( MUI) mengeluarkan imbauan kepada umat Islam Indonesia untuk memboikot segala produk asal negara Perancis. Selain aksi boikot, MUI juga meminta Presiden Perancis Emmanuel Macron mencabut ucapannya dan meminta maaf kepada Ummat Islam se-Dunia.
MUI juga mendesak Pemerintah Indonesia untuk menekan dan mengeluarkan peringatan keras kepada Perancis dengan cara menarik sementara Duta Besar Republik Indonesia yang ada di Paris.

Tak hanya itu, desakan juga dialamatkan pada Mahkamah Uni Eropa agar mengambil tindakan yang tegas. Semua pikiran yang telah dinyatakan dalam pernyataan MUI disampaikan ulang pada Presiden Jokowi.

Sayangnya, Presiden Jokowi hanya mampu mengeluarkan pernyataan kecaman, tidak sampai mengutuk tindakan Emanuel Macron. Apalagi, sampai menarik Dubes Indonesia di Perancis dan mengusir Dubes Perancis di Jakarta.

Pernyataan Presiden Jokowi, juga baru disampaikan 2 (dua) pekan setelah keluarnya pernyataan Macron sehubungan dengan peristiwa 16 Oktober. Padahal, pada 2 Oktober 2020, Emanuel Macron selaku Presiden Perancis, secara terbuka mengeluarkan pidato yang menghina umat Islam, dimana dia menyebut umat Islam bermasalah, terbelakang dan radikal.

Pasca peristiwa 16 Oktober Macron semakin sinis, dengan menyebut kaum Islamis ingin merebut masa depan Perancis. Macron, justru berdiri tegak membela penghinaan terhadap Rasulullah Saw berdalih kebebasan berekspresi.

Terkait keterlambatan Respons Presiden Jokowi ini, Bung Rosdiansyah melihat simpati publik kurang antusias terhadap pernyataan Presiden. Saat ini, isunya sudah bergeser dari sekedar pernyataan kecaman tapi langkah kongkrit apa yang bisa dilakukan untuk menghukum Perancis. Semestinya, jika hanya kecaman Presiden Jokowi bisa segera melakukannya sesaat setelah pernyataan macron ramai di media, atau paling lama 3 hari setelah kejadian, bukan menuggu hingga dua pekan baru mengeluarkan pernyataan kecaman.

Masih menurut Bung Rosdiansyah, saat ini levelnya bukan hanya kecaman tetapi tindakan nyata. Seruan boikot MUI adalah salah satu bentuk aksi nyata yang patut di apresiasi.

Bagi penulis sendiri, sulit bagi umat Islam berharap Presiden Jokowi mengambil tindakan lebih selain kecaman. Mengharapkan Presiden mengumumkan seruan boikot, apalagi mengusir Dubes Perancis, boleh dikatakan adalah tindakan mustahil.

Selain problem sosok Presiden, juga ada hambatan konstitusi. Konstitusi negeri ini tidak diadopsi dari Al Qur'an dan as Sunnah, sehingga didalamnya memuat jaminan dan pembelaan atas kehormatan Rasulullah Saw. Presiden tak mungkin memerintahkan kepada Panglima TNI untuk mengirimkan pasukan, guna membungkam mulut kotor Macron, setelah ada seruan 'perang' Macron terhadap dunia Islam.

Jika konstitusi diadopsi dari Al Qur'an dan as Sunnah, sudah barang tentu kepala negara sekaligus kepala pemerintahan di negeri ini memiliki sandaran legitimasi untuk mengambil tindakan lebih demi membela Rasulullah Saw. Bukan sekedar mengusir Dubes Perancis tetapi hingga mengirimkan pasukan perang untuk berjihad melawan Perancis.

Karena itu, dalam berbagai kesempatan penulis sering menawarkan opsi konstitusi yang diadopsi dari Al Qur'an dan as Sunnah. Agar kepentingan Islam dan kaum muslimin dapat maksimal terjaga.

Sayangnya di negeri ini, sebagaimana juga dikemukakan Bung Rosdiansyah, Islam hanya ditempatkan di sektor privat. Islam tak boleh terlibat dalam urusan tata negara dan pemerintahan.

Bahkan, ajaran Islam dibenturkan. Ajaran Islam Khilafah misalnya, dituding memecah belah persatuan, mengancam kebhinekaan, intoleran dan stigma negatif lainnya.

Padahal, jika Islam diadopsi untuk menyusun konstitusi, Al Qur'an dan as Sunnah dijadikan sumber hukum utama yang diakui konstitusi, maka masalah pelecehan terhadap Rasulullah Saw ini akan mampu ditindak secara maksimal. Pemerintah, dapat mengambil tindakan lebih, bukan sekedar mengecam karena memiliki sandaran legitimasi dari konstitusi. [].

Posting Komentar

0 Komentar