KARAKTER AROGANSI KEKUASAAN REZIM JOKOWI


Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Mendagri Tito Karnavian mengeluarkan Instruksi No. 6 Tahun 2020 yang dibuat tanggal 18 November 2020. Salah satu substansi instruksi yang menuai kontroversi adalah adanya diktum instruksi yang menyatakan kepala daerah dapat diberhentikan bila tak menegakkan protokol kesehatan.

Mengacu pada ketentuan pasal 67 b dan pasal 78 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Mendagri 'mengultimatum' Kepala Daerah dengan ancaman pemecatan.

Terkait hal ini, publik perlu mengkritisi kebijakan Tito ini dari beberapa aspek :

Pertama, Jabatan Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya, sejak diberlakukannya rezim UU Pilkada baik pra Pilkada serentak maupun pasca Pilkada serentak adalah jabatan politik. Proses pengisian jabatan Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya, dilakukan melalui suatu proses politik yakni pemilihan langsung oleh Rakyat.

Secara filosofis, kedudukan Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya, setara dengan Presiden dan Wakil Presiden dari sisi tata cara perolehan kekuasaannya. Hanya saja, kewenan atau kekuasaan Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya, dibatasi berdasarkan ketentuan UU Pemerintahan Daerah yang secara 'yurisdiksi' kekuasaannya dibatasi atau hanya meliputi wilayah atau daerah kekuasaannya.

Secara politik dan filosofis, atasan langsung Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya, adalah rakyat daerah. Pertanggungjawaban Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya, disampaikan kepada rakyat melalui wakilnya di DPRD baik tingkat Provinsi, Kabupaten dan kota.

Pelantikan dan pengukuhan jabatan Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya oleh Presiden hanyalah bersifat seremonial. Adapun instruksi dari Presiden baik langsung maupun via Mendagri bersifat administratif. Untuk kekuasaan yang menjadi wewenang Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya 'berdasarkan asas otonomi daerah' menjadi kewenangan mutlak Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya, untuk mengelola daerah sesuai dengan pendapatnya.

Kedua, karena jabatan Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya adalah jabatan politik sama dengan Presiden dan Wakil Presiden, maka proses pemakzulannya harus melalui mekanisme politik baru diteruskan ke proses hukum. Mekanisme politik itu digodok di DPRD, sementara proses hukumnya ada di Mahkamah Agung.

Presiden hanyalah melaksanakan tugas administrasi dan seremonial pelantikan Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya, termasuk jika putusan pemakzulan disahkan oleh Mahkamah Agung. Presiden tak berwenang mengeluarkan Keputusan Pemecatan langsung kepada Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya, bahkan usulan pemakzulan Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya juga bukan wewenang Presiden, melainkan wewenang DPRD, baik ditingkat Provinsi, Kabupaten maupun Kota.

Proses ini mirip pemakzulan Presiden, yang wajib melalui proses politik di DPR, MPR untuk mendapatkan rekomendasi pemakzulan, baru kemudian diadili secara hukum melalui Mahkamah Konstitusi.

Ketiga, Instruksi Mendagri bahkan Instruksi Presiden bukanlah produk peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diubah dengan UU No 15 tahun 2019 tentang perubahan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam UU dimaksud, limitatif diatur jenis produk peraturan perundang-undangan berikut hierarkinya yakni UUD 45, TAP MPR, UU/Perppu, PP, Peraturan Presiden, Perda tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota. Instruksi Mendagri tidak termasuk didalamnya.

Sehingga, pelanggaran terhadap instruksi Mendagri tak berkonsekuensi pemberhentian Kepala Daerah. Mendagri tak dapat mengaktifkan pasal pasal 67 b dan pasal 78 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah untuk memecat Kelapa Daerah, dengan dalih Kepala Daerah kembangkan perintahnya (instruksinya).

Keempat, Oleh karenanya Instruksi Mendagri No. 6 Tahun 2020 dikeluarkan Oleh Mendagri Tito Karnavian, bukan didasarkan pada kepahaman adminstrasi dan hukum ketatanegaraan, melainkan lebih kental didasari oleh arogansi kekuasaan. Atas sentimen Arogansi ini, Mendagri mengadopsi mentah-mentah norma pasal 67 b dan pasal 78 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai bahan untuk 'mengancam' Kepala Daerah, tanpa memperhatikan substansi pelanggaran apa yang berkonsekuensi pemakzulan, lembaga apa yang berwenang memproses secara politik dan hukum untuk mengadili perkara pemakzulan Kepala Daerah. Mendagri hanya Fokus pada kewenangan Presiden baik langsung maupun didelegasikan via Mendagri yang dapat melantik dan memecat kepala Daerah, padahal kewenangan Presiden dan Mendagri hanyalah kewenangan administrasi dan seremonial.

Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya bukanlah jabatan politik seperti para Menteri. Mengingat, Menteri diangkat dan diberhentikan langsung oleh Presiden. Kapanpun, Presiden bisa memberhentikan Menteri.

Adapun Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya, dipilih langsung oleh Rakyat. Hanya rakyat melalui wakilnya (DPRD) yang bisa memproses usulan perhentian Kepala Daerah. Selanjutnya, Mahkamah Agung sebagai pihak penengah sengketa politik antara Rakyat yang diwakili DPRD dengan Kepala Daerah, yang berwenang dikabulkan atau tidaknya Permohonan Pemberhentian Kepala Daerah.

Yang paling rajih, instruksi Mendagri lebih mewakili sikap arogansi rezim yang ingin menggunakan hukum semaunya, untuk merepresi Kepala Daerah. Instruksi Mendagri tak mungkin keluar tanpa izin dan sepengetahuan Presiden. Jadi, instruksi ini adalah bukti arogansi Presiden Jokowi. [].

Posting Komentar

0 Komentar