[Catatan Advokasi Ketidakadilan Terhadap Gus Nur]
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Tim Penasehat Hukum Gus Nur
Kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung di Jakarta Selatan pada Sabtu (22/8/2020) telah menimbulkan kerugian yang diperkirakan mencapai Rp 1,12 triliun. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono mengatakan, perkiraan kerugian tersebut dihitung terkait gedung dan bangunan, juga isi gedung berupa peralatan dan mesin.
Namun anehnya, Penyidik Bareskrim Mabes Polri tidak melakukan penahanan terhadap MD, dan dua tersangka lain dalam kasus kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung ini, yakni JM dan IS setelah menjalani pemeriksaan pada Kamis (19/11). Ketiga tersangka tidak ditahan karena penyidik memutuskan mengabulkan permohonan penangguhan penahanan yang diajukan oleh para kuasa hukum tersangka dengan jaminan istri tersangka.
Sementara itu, Gus Nur yang ditetapkan sebagai Tersangka pencemaran nama baik NU, yang ini masih debatable terkait tafsir suatu ujaran. Gus Nur yang mengkritisi NU ditafsirkan penyidik telah mencemarkan NU dan ditetapkannya sebagai Tersangka dengan UU ITE. Gus Nur tetap ditahan dan permohonan penangguhannya diabaikan penyidik.
Padahal, bukan hanya istri. Gus Nur dijamin oleh para ulama, keluarga tokoh nasional hingga anggota DPR RI. Secara objektif, tentu lebih tak mungkin lari ketimbang Tersangka kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung. Tak ada pula, kerugian yang secara materil dapat dihitung oleh perbuatan Gus Nur.
Tapi itulah, hukum di era rezim Jokowi ini tak memiliki standar yang jelas. Hukum bisa dibilang suka suka polisi. Polisi menangkap jika mau, membiarkan laporan jika mereka suka. Polisi juga menangguhkan jika mereka berkehendak, mengabaikan permohonan penangguhan jika mereka tak berkehendak. Tak ada ukuran objektif, polisi suka suka memperlakukan Tersangka, meskipun sama-sama mengajukan penangguhan dan sama-sama dijamin.
Padahal, KUHAP menegaskan penangguhan itu adalah hak tersangka dan tidak boleh dibedakan. Membedakan perlakuan terhadap tersangka, adalah konfirmasi tak ditegakkannya asas equality before the law (asas persamaan kedudukan dihadapan hukum).
Padahal, Pasal 28D UUD 45 menyebutkan bahwa :
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.".
Sedangkan pasal 27 (1) menegaskan :
"Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya"
Semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Tidak ada perbedaan antara pejabat dan rakyat, kasus pencuri dan korupsi, termasuk Gus Nur atau yang diduga menyebabkan kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung.
Semestinya, permohonan penangguhan Gus Nur dikabulkan. Selanjutnya, biarlah pengadilan yang menentukan apakah Gus Nur terbukti bersalah atau tidak.
Praktik perbedaan perlakuan ini, mengkonfirmasi kezaliman yang dipraktikkan penyidik Polri terhadap Gus Nur. Hukum tak lagi memiliki ukuran objektif, hukum menjadi suka suka penyidik.
Inilah, praktik hukum di era rezim Jokowi. Penuh kezaliman, jauh dari harapan. Hukum telah berubah menjadi alat politik, alat kekuasaan, untuk membungkam setiap ujaran yang tak sejalan dengan kebijakan rezim.
Gus Nur selama ini dikenal kritis terhadap rezim. Berulang kali dipersoalkan secara hukum dari kasus Surabaya, Palu, dan kini harus meringkuk di tahanan oleh sebab yang sama. [].
0 Komentar