Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Penjuang Khilafah
Lalu saya jawab singkat:
"Mereka punya jalan nalar dakwah sendiri Mas. Biarkan, itulah warna kehidupan, termasuk dalam kehidupan politik. Kalau semua masuk parpol, di mana buffer lain yang dibutuhkan sebagai kekuatan penyeimbang dan sparing partner. Jalan dakwah itu berat, Mas "Dilan". Anda tidak akan kuat, biarkan beban itu dipikul orang-orang mukhlisin itu."[Prof Suteki, 9/11]
Dakwah adalah seruan Islam, karenanya melaksanakan kewajiban dakwah harus sejalan dengan apa yang dituntunkan oleh Islam. Allah SWT telah mengutus Rasulullah Saw sebagai suri tauladan kehidupan, termasuk sebagai teladan dalam berdakwah.
Aktivitas dakwah, baik menyeru kepada individu, jamaah atau dakwah secara politik agar Negara menerapkan syariah Islam juga wajib terikat dengan tuntunan dari Rasulullah Saw. Ketika Rasulullah Saw berdakwah di Mekah, Rasulullah Saw mendapat tawaran berbagi kekuasaan, agar Rasulullah Saw mau berkompromi. Namun apa jawaban Rasulullah Saw atas tawaran pembesar Quraisy melalui paman beliau Abu Thalib ?
"Wahai Paman, Demi Allah, kalau pun matahari diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan perkara ini (penyampaian risalah), sehingga Allah memenangkannya atau aku binasa, pastilah tidak akan aku meninggalkannya." (Al Hadits).
Jawaban itu, diberikan oleh Rasulullah Saw kepada para pembesar Quraisy, sebagai sikap tegas beliau Saw yang tak mau berkompromi dalam dakwah. Beliau Saw tetap mengambil jalan dakwah bersama umat, meninggalkan tawaran kekuasaan, sambil terus mencari kekuasaan real yang memberikan pertolongan (nusroh) pada dakwah, tanpa embel-embel berbagi kekuasaan, kecuali hanya untuk menerapkan Islam.
Akhirnya, Rasulullah Saw memperoleh pertolongan (Nusroh) dari penduduk Madinah, segeralah beliau Saw dan para sahabat hijrah ke Madinah, dan menegakkan kekuasaan Islam secara utuh, tanpa harus berkompromi dengan sistem dan rezim kufur ketika itu.
Itulah, petunjuk jalan yang oleh Said Qutb disebut sebagai 'Ma'alim Fit Thariq' bagi umat era saat ini, jika ingin serius berjuang, berdakwah hanya demi izzul Islam wal mualimin.
Namun, ada sebagian kalangan menilai dakwah mencontoh Rasulullah Saw ini tidak efektif, terlalu lama, bahkan ada yang menuding utopis. Dengan logika sederhana, mereka mengajak pengemban dakwah untuk berkompromi, terlibat dalam sistem politik demokrasi.
Kuasai parlemen, bentuk UU Islami, tegakkan syariah Islam. Begitulah logika sederhana yang ditawarkan. Mereka, juga menilai berdakwah melalui demokrasi lebih aman, tanpa ancaman pembubaran, persekusi dan kriminalisasi.
Ada juga yang kalau tidak membentuk partai politik sendiri, menyerukan untuk bergabung dengan partai politik yang ada kemudian berjuang via politik demokrasi. Kuasai parlemen, bentuk UU Islami, tegakkan syariah Islam. Begitulah logika sederhana yang ditawarkan.
Mengenai hal ini, penulis ingin tegaskan beberapa hal yang seandainya dipahami, boleh jadi kalangan yang menyerukan terlibat dalam demokrasi, akan mengambil langkah mundur. Yakni :
Pertama, dakwah dilakukan bukan karena pamrih kekuasaan, menghindari resiko, atau mencari kemaslahatan. Dakwah adalah aktivitas menjalankan kewajiban.
Dalam konteks menjalankan kewajiban, pasti ada ujian dan gangguan. Namun, dibalik itu semua pasti Allah SWT telah siapkan pertolongan.
Karena itu aspek yang terpenting dari dakwah adalah terjaganya kemurnian akidah dan aktivitas dakwah dari kotoran dunia, termasuk kotoran pemikiran sekulerisme demokrasi. Berdakwah melalui demokrasi, sama saja mencampurkan antara yang hak dan yang batil.
Kedua, dakwah melalui demokrasi, membentuk partai, ikut pemilu bukan berarti akan mendapat jaminan keamanan dari rezim zalim. Partai Refah Turki dan FIS Aljazair, membuktikan betapa mereka juga mendapat persekusi, kriminalisasi, bahkan hingga pembubaran. Padahal, keduanya telah menjadi partai pemenang. Logikanya, the win take all. Faktanya tidak demikian.
Hal serupa juga dialami Hamas di Palestina ketika ikut demokrasi. Kemenangan Hamas akhirnya diamputasi oleh kekuasaan zalim, yang memang mereka tidak menginginkan Islam, baik sebagian apalagi secara keseluruhan.
Ketiga, tujuan dakwah itu sendiri telah menetapkan motode dan orientasi yang sesuai. Jika tujuannya menerapkan Islam secara kaffah mustahil via demokrasi. Karena demokrasi, tidak akan ridlo Islam berkuasa secara kaffah.
Kecuali, tujuannya sambil berdakwah mencari kekuasaan, mencari harta, mencari kedudukan, boleh lah menempuh jalan demokrasi. Tapi bagi putra-putri terbaik umat ini, yang hanya menginginkan Islam, tak ada yang diinginkan darinya kecuali hanya Islam, sudah barang tentu tidak akan memilih jalan demokrasi.
Penulis sendiri pernah beberapa kali ditawari masuk parpol, menjadi caleg, yang oleh sebagian kalangan elektabilitas penulis dinilai mampu untuk membeli satu kursi parlemen di Senayan. Interaksi penulis di banyak kalangan, baik ulama, aktivis dan masyarakat umum, baik di Medan, Padang, Pekan Baru, Lampung, Bandung, Jakarta, Semarang, Solo, Jogja, dan banyak kota kabupaten di Jawa Timur, dianggap memiliki nilai elektabilitas untuk mendongkrak suara parpol.
Tapi sekali lagi, penulis tegaskan. Penulis berdakwah karena Allah SWT, bukan atas pamrih dunia. Bahwa penulis akan mendapat resiko kriminalisasi dan persekusi -dan telah mengalaminya- itu adalah konsekuensi dakwah. Dakwah ini meminta pengembannya ikhlas, hingga jika tidak ikhlas ia akan terpaksa ikhlas, karena tak ada yang dituju dari dakwah ini selain ridlo Allah SWT.
Kepada Prof Suteki dan siapapun, yang merasa aneh dengan dakwah yang demikian, atau yang kemudian memberikan label sebagai 'orang-orang Mukhlisin', percayalah Prof, kami semua sedang dan terus belajar untuk ikhlas. Hingga kami, tak mendapati diri kami bertemu dengan kematian, kecuali berada pada puncak keihklasan yang sanggup kami upayakan. [].
0 Komentar