POLRI ABUSE OF POWER DALAM MENANGANI KASUS GUS NUR ?


[Catatan Pengantar Diskusi Cangkru'an Cak Slamet]

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Sebelum menyimpulkan, apakah ada tindakan abuse of power (penyalahgunaan wewenang) yang dilakukan Penyidik Ditsiber Polri dalam perkara Gus Nur, ada baiknya kita awali pembahasan dengan membuat batasan (definisi) tentang menyalahgunakan wewenang. Jika definisi tentang penyalahgunaan wewenang terpenuhi, maka sah dan meyakinkan bagi publik berkesimpulan Polri telah melakukan abuse of power dalam menangani perkara Gus Nur.

Menyalahgunakan wewenang didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan tanpa wewenang, menggunakan wewenang bukan untuk peruntukannya, atau melakukan tindakan yang melampuai batas kewenangannya atau menjalankan wewenang secara tebang pilih, tidak equal dan mencederai asas praduga tidak bersalah. Berdasarkan definisi tersebut, tindakan abuse of power bisa terjadi dalam tiga keadaan, yakni :

Pertama, adanya tindakan dalam proses hukum yang tak memiliki basis legitimasi hukum, atau menjalankan wewenang tanpa dasar kewenangan.

Kedua, menjalankan kewenangan melampaui wewenang yang ditentukan oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, menerapkan wewenang secara tidak adil, tidak equel, tidak Egaliter, tebang pilih dan pilih tebang, serta mencederai asas praduga tak bersalah.

Dalam kasus penangkapan yang dilakukan terhadap Gus Nur, sebagai delik aduan yakni adanya aduan dari Ormas yang merasa dihina dan dicemarkan melakukan sarana ITE, dimana Gus Nur diadukan dengan pasal 27 ayat (3) Jo pasal 45A ayat (3) UU No. 19 tahun 2016 tentang perubahan terhadap UU No. 11 tahun 2008 Jo pasal 310 KUHP Jo 311 KUHP, semestinya tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Polri adalah melakukan Udangan Klarifikasi atau setidaknya Panggilan sebagai saksi untuk diambil keterangannya dihadapan penyidik Polri.

Pemberian Undangan klarifikasi dimaksud untuk mengkonfirmasi beberapa hal, diantaranya :
Pertama, apakah benar Gus Nur mengeluarkan atau membuat konten yang dipersoalkan pelapor ?
Kedua, bagaimana dan dengan cara apa konten tersebut dibuat dan disebarluaskan ?
Ketiga, benarkah konten tersebut dibuat dalam rangka untuk menghina atau mencemarkan nama baik ormas tertentu ?
Keempat, apakah ada upaya 'mediasi' antara Pelapor dan Terlapor, agar terjadi perdamaian mengingat delik aduan akan berakhir jika pengadu mencabut laporan, atau adakah peluang diterapkan 'Restoratif Justice' agar perkara bisa diselesaikan secara non pidana, sebagaimana diamanatkan SE Kapolri Nomor : 8 tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Perkara Pidana.
Keempat tindakan tersebut tidak dilakukan Polri kepada Gus Nur. Tanpa menjunjung asas praduga tak bersalah, Penyidik Ditsiber Mabes Polri langsung menangkap Gus Nur, pada dini hari, tanpa mengindahkan kondisi psikologi keluarga yang ditinggalkan.

Tindakan Polri yang garang terhadap Gus Nur, tidak dilakukan kepada Ade Armando, Abu Janda, Deni Siregar, Dewi Tanjung dan gerombolan buzer rezim lainnya. Bahkan, dikasus penghinaan santri oleh Deni Siregar, dengan santunnya polisi menyebut telah mengirim undangan klarifikasi.

Prosedur yang dilewati, penerapan hukum yang tidak equal, tentu mencederai wibawa hukum dan aparat penegak hukum. Dalam kasus Gus Nur, Penyidik Polri melanggar dua hal : pertama, tidak melalui sejumlah tindakan yang semestinya dilakukan dalam penyidikan perkara pidana, dan kedua, tidak memberlakukan tindakan yang sama terhadap orang yang sama-sama diduga melakukan tindak pidana.

Jadi sah bagi publik berkesimpulan bahwa pada kasus penanganan perkara Gus Nur ini, polisi telah melakukan tindakan abuse of power. Sayangnya, tindakan ini bukan terkategori tindak pidana, namun tindakan yang jelas akan menggerus kepercayaan publik terhadap institusi Polri.

Padahal, kepercayaan masyarakat adalah modal sosial bagi Polri untuk melakukan tindakan penegakan hukum dan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Jika Polri tidak dipercaya masyarakat, akan menjadi beban tersendiri bagi institusi kepolisian.

Ada semacam perasaan publik, saat ini tidak takut dan khawatir dengan penjahat tapi justru khawatir dengan adanya penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum. Sebab, jika kejahatan dilakukan oleh penjahat masyarakat mudah mengadukannya kepada penegak hukum. Tapi jika penyalahgunaan wewenang itu dilakukan oleh aparat penegak hukum, akan kemana masyarakat mengadu ? [].

Posting Komentar

0 Komentar