Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Agar tidak terjadi debat kusir dan agar semua pihak memiliki parameter yang sama untuk mengukur frasa 'NKRI Harga Mati' maka pembahasan harus dimulai dengan kesepakatan atas definisi. Definisi yang dibuat harus melingkupi semua makna yang terkandung sekaligus mencegah makna diluar definisi agar tidak bercampur dan menjadi jelas maksudnya.
Saya mengawali dengan mendefinisikan ungkapan NKRI harga mati maknanya tidak boleh ada perubahan sistem ketatanegaraan maupun wilayah NKRI. NKRI artinya, sistem pemerintahan yang diadopsi 'harga mati', tidak boleh diubah dan dikotak katik. Sementara, kesatuan wilayah teritorial NKRI juga harga mati, tak boleh bertambah apalagi berkurang.
Kita lihat fakta sejarah negara Indonesia, apakah NKRI memang harga mati.
Dari bentuk sistem Pemerintahan, Indonesia pernah mengadopsi Undang-Undang Republik Indonesia Serikat, yakni sebuah Konstitusi Republik Indonesia Serikat atau lebih dikenal dengan sebutan Konstitusi RIS dimana konstitusi ini berlaku di Republik Indonesia Serikat sejak tanggal 27 Desember 1949 (yakni tanggal diakuinya kedaulatan Indonesia dalam bentuk RIS) hingga diubahnya kembali bentuk negara federal RIS menjadi negara kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak tanggal 17 Agustus 1950, konstitusi yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, atau dikenal dengan sebutan UUDS 1950.
Fakta sejarah ini, menunjukkan bahwa bentuk Negara ini pernah mengalami bentuk Negara Serikat dengan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahannya. Hal itu menjadi bukti, bahwa bentuk 'Negara Kesatuan' atau yang dikenal dengan NKRI, bukanlah harga mati. Harga itu bisa ditawar dan diubah, sesuai perkembangan zaman.
Adapun terkait kesatuan wilayah, NKRI juga bukan harga mati.
Pertama, peristiwa integrasi dan lepasnya Timor Timur (sering disingkat menjadi Timtim) menjadi bukti NKRI tak harga mati. Tim-tim adalah sebuah wilayah bekas koloni Portugal yang dianeksasi oleh militer Indonesia menjadi sebuah provinsi di Indonesia antara 17 Juli 1976 sampai resminya pada 19 Oktober 1999.
Pada 19 Oktober 1999, integrasi itu berakhir melalui Referendum yang menghasilkan kemerdekaan Tim tim kemudian dikenal Timor-Leste. Peristiwa ini terjadi pada era BJ Habibie, pasca Reformasi.
Fakta integrasi dan berpisahnya Timor Timur menjadi bukti NKRI bukan harga mati. NKRI bisa bertambah dan berkurang wilayahnya.
Kedua, peristiwa lepasnya Sipadan dan Ligitan di Era Megawati. Peristiwa ini, sekaligus membuktikannya bahwa NKRI bukan harga mati. NKRI harga nego, dan Indonesia kalah negosiasi dengan Malaysia di Mahkamah Internasional.
Penguasaan tambang di negeri ini oleh swasta, asing dan aseng juga menunjukkan jargon NKRI harga mati itu tak relevan. Dibawah Presiden Jokowi, kekayaan alam negeri ini justru diobral kepada asing dan aseng.
Sebenarnya, perubahan bentuk pemerintahan, wilayah dan bentuk Negara itu biasa saja terjadi, seiring perubahan denyut dan kehidupan masyarakat. Perubahan konstitusi (amandemen) juga biasa, seiring perkembangan zaman.
Hanya saja, yang perlu dipastikan bahwa perubahan itu harus menuju ke arah yang lebih baik. Karena itu, jika ada aspirasi perubahan negeri ini menuju ke arah Islam, menuju khilafah, sepanjang diridhoi oleh Umat Islam yang mendiami negeri ini, tentu bukan masalah. apalagi, Khilafah dalam konsepsi politiknya wilayahnya justru bisa meluas meliputi seluruh negeri kaum muslimin. [].
0 Komentar